'madhava; 51'

70 5 0
                                    

SETIAP manusia akan egois pada waktunya. Akan melakukan apapun untuk suatu hal yang mereka inginkan. Baik dalam bentuk baik atau buruk. Semua itu akan ada masanya. Seperti perasaan remaja ketika mulai menjatuhkan hati, sekecil atau sebesar apapun perasaan egois itu akan ada. Contohnya egois untuk tetap menyukai seseorang meski itu hal yang menyakitkan. Dhava pun tahu, ketika ia menatap Vanda, rasa sakit dan bersalah itu menyambutnya. Namun, Dhava tidak peduli dan tetap egois akan menemui Vanda sekali pun cewek itu mungkin tidak akan menyukai kehadirannya sekarang. Ia tidak peduli. Yang ia pedulikan hanya apakah ia baik-baik saja? Bodohnya, jelas vanda tidak baik-baik saja untuk saat ini.

Mengingat kedaan mereka saat ini, terlebih lagi dengan kondisi Kafka.

Koridor rumah sakit saat malam akan selalu terang benderang. Akan tetapi, satu ruangan rawat yang sudah ada di depan Dhava telah gelap, hanya ada sela cahaya masuk dari jendela yang mana gorden tidak tertutup sempurna. Dhava bisa melihat itu dari jendela kecil pintu kamar rawat. Kamar nomer 155 mulai terbuka tatkala jari jemari Dhava mengenggam gagang pintu dan mendorongnya perlahan. Ia tidak akan membuat ruangan ini benderang, biarkan gelap.

Membawa langkah masuk. Meskipun gelap, Dhava masih mampu melihat keadaan ruangan ini. Juga melihat Vanda tertidur pulas di atas brankar. Menarik jarak antara mereka untuk semakin dekat. Mulai ia lihat lebih jelas wajah perempuan itu. Beberapa hari tanpa berbincang dan tanpa melihatnya, hal itu bagai kumpulan waktu lama dan membuatnya sangat merindu. Telapak tangan Dhava menyapu halus surai hitam perempuan yang masih dan sepertinya selalu akan memiliki tempat sendiri dalam semestanya.

"Gue kangen lo, gue kangen kita."

"Bisa gue jadi milik lo lagi?" Dhava terkekeh. "Mustahil ya?"

Menumpukan lutut untuk bisa merendah dan menyetarakan tinggi keduanya. Terbelai lembut surai Vanda kemudian oleh jari jemari Dhava. Mendarat lembut pula kecupan Madhava Catra Airlangga pada bandara berwujud Vandana Dineschara. Mendekatkan wajahnya dengan wajah perempuan ini. Ia dekap tidurnya, ia dekap raganya secara dekat, ia salurkan kehangatan untuk perempuan kesayangannya. Kepada perempuan ini, ia jatuh cinta berkali-kali, namun sulit mengutarakan secara jelas. Apabila mengamati secara jelas wajahnya dalam keadaan tertidur pulas, seolah dunia kembali damai dalam kesementaraan.

Pergerakan membuka mata dan tolehan kepala dilakukan Vanda. Cewek itu nampak terkejut, namun pada detik selanjutnya mereka saling menatap. "Maaf gue masuk tanpa izin."

Vanda masih memusatkan kedua bola matanya pada sosok tegap Dhava. Cowok itu tidak lagi mendekap Vanda seperti tadi, ia langsung menegakkan badannya. Tetapi jari jemarinya melekat pada pundak Vanda.  "Van ...," panggilnya pelan dan lambat.

Merubah posisinya menjadi duduk. Menatap  Dhava sebentar lalu menatap jendela luar, langit sepenuhnya gelap. Remangan cahaya bulan dan bintang saja mampu terlihat, meski hanya dari sela gorden. Tidak ada tanggapan dari panggilan Dhava. Kemudian terdengar lagi panggilan, "Vanda."

Cewek itu menoleh, untuk menatap Dhava dan untuk menyalakan lampu kecil di atas nakas. "Kenapa?" Akhirnya itu adalah jawaban dari Vanda.

"Boleh duduk sama lo?"

"Boleh."

Sedikit memajukan posisinya, yang terjadi selanjutnya Dhava duduk di brankar. Tepat di belakang Vanda. Jadi, tidak ada yang namanya saling menatap. Yang ada hanyalah Vanda menatap jendela luar, sedangkan Dhava menatap punggung dan surai hitam Vanda. "Masih ada yang sakit ya?" Sepertinya itu bukan pertanyaan yang cocok untuk di lemparkan dalam percakapan canggung ini. Dhava menunduk untuk merapalkan sumpah serapah dalam hatinya. Untuk memulai percakapan kembali, hanya itu pertanyaan pembuka satu-satunya terlintas di kepala.

"Iya."

"Kafka suka kesini?"

"Nggak."

"Berarti gue yang pertama?"

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang