'madhava; 30'

81 4 0
                                    

TUJUAN kemari untuk menjelaskan kepada Dhava. Vanda ingin break terlebih dulu. Setelah pulang sendiri dari kediman Dhava kemarin, belum aada sepatah kata yang dilakukan mereka berdua. Lalu Vanda berpikir, mungkin keduanya hanya butuh waktu untuk memperbaiki masalah yang ada dengan menyendiri. Agar bisa kembali bersama dan bahagia, itu pun jika semesta dan tuhan memberi izin.

 "Tahu Dhava dimana nggak?" tanya Vanda pada Adrian yang sedang duduk di tangga bersama Beni dan yang lainnya. "Sana, di ruang ganti," jawab Beni lebih dulu. Vanda mengguk lalu pergi.

"Bego, kenapa lo jawab?" serang Adrian.

"Dih, emang gue salah? Bener, kan?"

"Ada Rebecca, Bebek! Tolol lu."

"Anjーgue lupa."

Adrian segera mengikuti Vanda dari belakang. Di sebuah lorong untuk menuju gudang dan ruang ganti, cowok dengan jersey itu melihat Vanda hanya diam di depan pintu tanpa membawa kakinya melangkah masuk. Adrian membawa pelan kakinya melangkah.

Apa yang kini di tangkap oleh matanya sungguh hal yang menjijikkan. Rebecca dan Dhava terlihat saling bercumbu di dalam sana. Gerakan tiba-tiba dari Adrian yang menutup kedua mata Vanda dari belakang dengan kedua tangan mengejutkan vanda. "Lo siapa?" tanyanya pelan.

"Adrian."

Vanda menghela napas. "Gue udah lihat, Ndri. Percuma."

"Lo keluar, Van. Tunggu gue di luar."

"Ndri."

"Van, dengerin kalau gue bilang."

Vanda keluar dari sana. Menjauhi radar berbahaya itu. Kepergian Vanda membuat Adrian bersiap-siap melangkahkan kakinya masuk. Sangat tidak menyangka sahabatnya seburuk ini di belakang. "Buruk banget lo berdua pilih tempat. Mau gue pesenin hotel sekalian?" Adrian berusaha santai. Dhava spotan mendorong Rebecca terkejut akan kedatangan Adrian di sini.

Bugh

Amarahnya untuk ia tahan lepas juga. Adrian menerjang Dhava dengan kepalan tangan sekuat tenaga. Dhava luruh menghantam lemari di belakangnya. Adrian menarik baju Dhava untuk duduk menghadapnya. Tidak hanya kepala cowok itu yang pastinya sakit, melainkan darah segar juga mengalir dari hidung.

"Vanda baru ... aja lihat kelakuan busuk lo sama Rebecca. Bagus malahan, lebih cepat lo berdua putus. Lebih cepat juga Vanda lepas dari cowok goblok kayak lo. Gue tahan, Dhav, tangan gue buat nggak nonjok lo. Semenjak dateng Rebecca, lo berubah banget. Bukan cowok yang bisa lagi menghargai cewek. Lo mainin Vanda, lo selingkuh sama Rebecca.

Selingkuh itu bukan hal yang normal. Karena Cuma orang yang nggak normal yang tega selingkuh."

Andri menghempaskan Dhava. "Jangan lo sentuh Vanda kalau lo belum lepas nih Cewek," katanya menunjuk Rebecca yang mana masih diam sekaligus terkejut, bingung dengan apa yang terjadi. "Emang anjing lo berdua! Sama-sama nggak waras."

       ─màdhavaňdá─

Suara petir diikuti derasnya air yang turun dari langit membasahi bumi menghambat beberapa orang untuk pergi kembali ke rumah masing-masing. Siswa siswi yang mana baru saja menyelesaikan kegiatan ekskul memilih duduk di lobby menunggu hujan reda. Berbeda dengan yang membawa jas hujan atau mobil, sudah pergi ke rumah dan dengan bebas menerjang hujan.

Vanda menyandarkan tubuhnya salah satu pilar dekat pintu keluar. Tangannya terlipat di depan dada. Hawa dingin menyelimuti kulitnya tanpa izin. Hingga tepukan tangan di pundak membuatnya menoleh.

Adrian dengan keringat yang terpampang di area wajahnya saat ini berdiri di samping Vanda. Cewek itu menangkap kedua tangan Adrian yang terkepal nampak sedikit bergetar. "Lo kenapa?"

"Nggak apa-apa." Adrian mencoba untuk tersenyum dan seperti tidak terjadi apa-apa. "Gue antar pulang, ya?"

"Nggak usah, deh. Gue bisa pulang sendiri," tolaknya pelan. Vanda menepuk lengan Adrian. "Lo tadi ngapain nyuruh gue pergi? Kan gue mau ngomong sama Dhava."

"Bisa lain kali."

Dari dalam lobby Rebecca dan Dhava datang. "Eh, Vanda. Kasih tau temen kamu, jangan seenaknya mukulin Dhava. Nggak ada apa-apa tiba-tiba main pukul. Ingetin tuh temen kamu, dasar aneh," sambar perempuan itu tiba-tiba. Vanda sama sekali tidak menanggapi perempuan itu. Fokus matanya terpusat pada Dhava. Wajah cowok itu terluka. Pelipis matanya sobek dan bekas darah di dekat hidung masih bisa terlihat oleh mata.

"Lo yang freak. Anjing."

Adrian tidak mau kalah. Melihat Dhava diam saja tanpa mau menjelaskan atau membuka suara semakin saja amarah Adrian muncul kembali.

Bodoh.

"Kalau lo masih mau berantem di sini terserah. Gue pulang," kata Dhava pada Rebecca. Hanya itu yang keluar dari mulutnya.

"Ih, kamu tuh diem aja." Rebecca di tarik paksa oleh Dhava dan pergi ke parkiran. Hujan mulai reda sisa rintik yang masih setia ada. Dhava pulang bersama Rebecca. Diakhiri dengan Andri merangkul Vanda untuk pulang bersamanya.

Rasa sakit yang setiap malam berusaha ia tepis, keesokannya selalu kembali terbuka. Menyiksanya habis-habisan tanpa tahu harus berbuat apa.

       ─màdhavaňdá─

Setelah beberapa saat hanya ada hening antara dua insan itu. Plak. Pertama kali yang terdengar adalah suara tamparan dari Vanda untuk Dhava. Cewek itu sedikit mengibaskan tangannya sebab perih. Selain tangan yang bergetar sakit, hatinya tak kalah melihat peristiwa di ruang ganti lapangan indoor basket sekolah.

"Ngomong kalau mau selesai. Jangan buat gue bingung."

Masih tidak ada jawaban sejak Vanda melontarkan segala isi hatinya pada cowok itu. Berusaha menetralkan deru napas, cewek itu terkekeh pelan. "Lucu banget. Nggak ada yang di mulai di sini, tapi gue minta untuk selesai. Aneh banget, kan?" tanya Vanda.

Tatapan Dhava terus tertuju pada Vanda. Ada dua manusia yang sedang sama-sama sakit di sini.

"Lo pikir gue seneng liat lo ciuman sama Rebecca? Lihat lo jalan sama Rebecca. Nggak peduli ada gue. Cuma maaf-maaf. Kalau lo terus ngomong maaf tanpa ada perubahan, yang lo lakuin bukan mangakui kesalahan, cuma memanipulasi orang. Goblok banget gue terus bertahan di sini!" Vanda berbalik badan, menatap langit ruangan. Berusaha sekali untuk tidak mengalirkan air mata di depan Madhava Catra Airlangga. Sangat bodoh jika terjadi. Bahkan, di akhir kalimatnya, suara Vanda mulai terdengar lirih untuk menahan tangisnya.

"Lo maunya apa, Dhav? Bilang aja."

"Vanー" Dentingan suara telepon mengisi ruangan ini. Ponsel itu berada di atas sofa depan Vanda. Otomatis kedua netra cewek itu mendapati nama yang tertera di layar ponsel. Nama 'Rebecca' tertera jelas di sana.

Tahu embusan napas panjang? Hal itu kini dilakukan oleh Vanda. Meraih lebih dulu ponsel tersebut dan memberikan kepada Dhava. "Nih, ada yang telpon."

"Vandaー"

"Angkat aja. Nggak usah pikir gue." Kembali berbalik badan, tak mau lama-lama menatap Dhava. Menatap cowok itu akan semakin membuatnya sakit hati.

"Malam ini gue di rumah dulu. Jangan lupa makan."

Tangannya meraih jaket di atas sofa lalu kembali berjalan mendekati Vanda. Mencium surai hitam cewek itu dari belakang kemudian menyempatkan diri memberi sapuan halus dengan sayang kepada perut Vanda. "Baby-nya sama bundanya harus terus sehat. Jangan pikirin Rebecca, itu biar gue yang urus."

Bukan malah tenang, saat lenyap tubuh Dhava dari pintu apartemen. Vanda lepas kendali. Menangis sejadi-jadinya di sana seraya melempar semua barang yang ada di sekitarnya. Vas bunga dari kaca menjadi sasaran pula. Pecahan beling berceceran di lantai diikuti Vanda duduk di lantai. Tangannya mencengkram pecahan kaca itu. Menciptakan bercak merah dan lumuran darah menyelimuti tangan.

"Bajingan!" teriaknya dan melampar pecahan kaca ke sembarang arah. Vandana Dineschara masih sangat sulit untuk keluar dari hubungan menyakitkan ini.




TBC. Tinggalkan jejak_
untuk kamu; terima kasih sudah membaca

Arqastic

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang