'madhava; 10'

162 7 0
                                    


"SHIT," umpatan keras Dhava lakukan. Air di sekitarnya ikut andil dalam amarahnya. Memukul air hingga menyebabkan cipratan bebas ke mana saja. Setelah mengucapkan kalimat semacam ancaman untuk Dhava, Vanda pergi bersama cowok tanpa nama sebab ia tidak tahu namanya. Ah, jangan lupakan juga Dhava yang sibuk berpikir keras soal insiden itu. Cowok yang bersama Vanda nampak benar-benar tidak tahu maksut Dhava marah-marah seperti tadi pagi, begitu pun Vanda. Beberapa pertanyaan bercokol di kepala;

Apakah benar laki laki itu yang menghamil Vanda?

Kenapa Vanda biasa saja pada lelaki itu setelahnya?

Mengapa hubungan mereka seolah baik-baik saja?

Sebenarnya ada apa antara mereka?

Pusing memikirkan hal tersebut adalah yang yang Dhava landa. Mentari sudah tenggelam dua jam lalu. Dhava masih dalam posisi setengah badan terendam air kolam renang. Telanjang dada, hanya berbalut celana pendek. Kepalanya naik, kedua lengan bertumpu di pinggir kolam. Dalam diamnya, terkadang Dhava perpikir. Ada harap-harap bahagia ketika hubungannya dengan Vanda semudah dalam bayangan. Jika di pikir, Dhava dan Vanda dapat saling mengisi keterkosongan ruang masing-masing.

"Andai ...," gumam Dhava.

Semua ada tapinya. Ada rahasia tersembunyi di antara mereka berdua yang mana hal itu menjadi lika-liku bagi Dhava dan Vanda. Tinggal bagaimana mereka melewatinya dan bagaimana garis takdir tuhan, apakah mereka punya garis takdir sama atau tidak. Itu saja.

Sentuhan tiba-tiba Dhava dapatkan. Semua warna dan pemandangan sekitarnya lenyap berubah gelap. Sebuah telapak tangan menutup kedua penglihatannya dari belakang. Dhava melepas tangan itu. Berbalik badan. "Becca?" ucap Dhava. Panggilan favorit itu menerbitkan senyum merekah dari sang empu, cewek berambut sebahu dan curly pada bagian bawahnya. Ia datang kembali dengan segala permasalahan yang akan datang. Pasti ....

Tuhan ... Desahan Dhava lakukan dalam hati. Apa lagi ini? Dua manusia itu menampilkan ekspresi berbeda. Rebecca Syinevaz dengan kesenangannya bertemu kembali bersama lelaki yang ia cintai, berbeda dengan Dhava dengan sikap biasa saja. Meski dalam hatinya tidak terdeteksi kesenangan.

"Gimana kabar kamu?"

"Baik." Dhava naik ke permukaan.

Cewek itu menempatkan handuk kecil di pundak Dhava. Tangannya bermain pada area pipi Dhava dengan senang tentu juga perasaan rindu membuncah. "By the way, aku kembali dan perasaannya masih sama. Janji kamu masih sama juga, kan?" tanya Rebecca. Harap jawaban 'iya'.

Tuhan, ingin sekali Dhava mengatakan 'itu dulu, bukan sekarang'. Tidak, tidak akan bisa ia mengatakan hal itu. Lalu bagaimana? Mungkin akan bersandiwara dalam ruangan penuh kebohongan. Tapi, dengan mencari waktu yang tepat mengatakan sejujurnya. Karena juga mengingat keadaan Rebecca.

"Mungkin."


       ─màdhavaňdá─


Semua pergerakan dan segala kesukaan Dhava. Mungkin akan juga menjadi kesukaan Rebecca. Ketika mengetahui Dhava memiliki kepiawaian dalam bidang olah raga, lebih tepatnya bola basket. Lantas pemikiran untuk bisa bermain bola basket terlintas dalam benaknya. Rebecca merengek kepada Dhava untuk meminta di ajari, tetapi terus penolakan yang ia dapatkan. Tidak ada izin resmi dari Dhava membuat Vanda mengerucutkan bibir sebal.

Dan, ketika cowok jangkung itu berlalu masuk ke dalam rumah untuk membuang cairan dalam kantung kemih. Meninggalkan Rebecca di lapangan depan rumah. Cewek itu tersenyum lebar. Kedua telapak tangan meraih benda bulat yang terlantar di lantai lapangan. Mencoba membidik bola ke ring, gagal. Bidikannya melenceng tidak lurus dan begitu buruk. Mengingat juga masih pemula.

"Ish. Susah!"

Rebecca menjauh lalu bersiap berlari ke dekat ring dan melakukan shooting seperti pemain-pemain basket pro yang mana pernah ia melihatnya di explore instagram tanpa teknik yang tepat. Ya, karena ia tidak tahu soal itu.

Brugh

"Awsh ...," ringis Rebecca ketika kaki sialan ini entah mengapa membiarkannya terjatuh. Tidak bisa untuk di ajak kompromi. Telapak tangannya tak sampai berdarah, tetapi lecet kemerah-merahan begitu pula dengan kedua lututnya. Di satu sisi, Dhava menuruni tangga rumah menuju taman. Langkahnya dipercepat kala menampakkan wujud Rebecca di tengah lapangan tengah kesakitan. Selama perjalanan, Dhava mengumpati bodoh kepada Becca. Ngeyel ...

"Udah dibilang, kan? Diam aja di pinggir. Lakuin hal yang bermanfaat, bukan nyusahin. Paham?"

"Iya ... maaf. Kan cuma pengen bisa, terus main bareng sama kamu. Salah, ya?"

Dhava menjawab cepat, "Salah."

"Ck, judes banget sih."

Dhava menggendong Rebecca ke tepi lapangan. Duduk di rerumputan dengan tangannya memeriksa luka-luka gesekan di tubuh Rebecca. Meski terlihat tidak bersahabat setiap kali dengan Rebecca, cowok itu masih tetap Dhava yang sama seperti dulu. Yang selalu menyayangi Becca, menjaga Becca, memantau Becca demi keselamatan cewek itu. Lubuk hati Dhava berucap, 'Gue tetap sayang sama lo, tapi nggak bisa cinta sama lo. Cuma Cakra yang bisa miliki lo seutuhnya. Harus.' Dhava mengusap kepala Rebecca. Ada yang sedang tidak baik-baik saja di sini juga harus mendapat penyelesaian sesegera mungkin.


         ─màdhavaňdá─

"Sorry."
Kalimat maaf tidak juga rehat. Terus diucapkan. Pulang sekolah, Vanda tidak pulang ke rumah. Memilih berkunjung lebih dulu ke rumah Kafka. Luka memar tertoreh dekat garis rahang Kafka. Membersihkan kembali luka dibibir cowok itu.

Dua orang itu duduk di atas kasur. Vanda menatap dekat penuh fokus wajah Kafka. Sang empu tak kalah fokus menatap cewek di hadapannya. Kafka menahan napas sejak tadi. Rasanya ia akan mati sebentar lagi. Detak jantungnya berpacu tidak normal. Selalu begitu saat posisi sedekat ini dengan Vanda. "Pas di pukul deket mulut, gusi lo berdarah?"

Tidak. Kafka tidak sanggup. Lantas cowok itu mendorong Vanda. "Dikit doang, kenapa? Udah gini aja obatinnya. Nggak parah juga lagian."

"Merasa bersalah gue," kata Vanda. "Beneran dikit berdarahnya?" Pertanyaan ktfembali dilakukan.

"Iya. Kenapa sih? Khawatir banget lo. Emang mau lo apain?" tanya Kafka. Cowok itu merapikan kotak P3K untuk di simpan kembali dalam nakas dekat kasur. Kafka selalu begitu, tidak pernah serius ketika mendapat pertanyaan saat ia sedang tidak baik-baik saja. "Gue jilat," kata Vanda judes.

"Ngeri ...."

"Apaan sih lo." Vanda melayangkan pukulan kepada bahu Kafka. Tidak mengaduh sakit, melainkan Kafka tertawa melihat Vanda memberengut kesal. Vanda memilih berbaring di kasur dengan tangan menekan tombol remote guna mencari siaran televisi yang menarik di mata. Sejujurnya, bibir cowok itu perih sekali juga rahangnya ngilu untuk di buat cakap-cakap. Tapi, Vanda tidak boleh tahu tentang hal ini. Kamu masih jadi orang favoritku, Van. Selalu.




TBC. Tinggalkan jejak_
Untuk kamu; terima kasih sudah membaca





Arqastic

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang