TANGIS tersedan serta teriakan histeris memenuhi ruang malam ini. Rebecca tak dalam rengkuhan siapa pun. Mama dan papa harusnya memeluk Rebecca saat ini. Namun, tolakan kasar dilempar Rebecca saat pendekatan hendak Mama lakukan. Menolak mentah-mentah kehadiran mama dan papa. Setelah mengetahui letar belakang hadir sosoknya di keluarga ini. Kebencian akan orang tuanya sebab menyembunyikan rahasia ini dan juga fakta terdapatnya hubungan darah antar Mama dan Vanda. Sedangkan ia bukan siapa-siapa.
Mama tenggelam dalam rangkulan papa. Menatap Rebecca di atas brankar yang masih terus meneriakkan nama Dhava dan memaksa serta meminta untuk bertemu Dhava. Alasan tak membiarkan Rebecca keluar ialah cerita dari Cakra tentang hubungan Dhava dan Vanda saat ini. Juga permohonan maaf dari Dhava telah pemuda itu sampaikan di depan mata orang tua Becca.
"Dhava!"
Tanpa kalian duga pun, kedua lengan Rebecca terkunci oleh borgol besi yang terpasang di sisi ranjang. Mungkin telah segila itu Rebecca dengan sosok Madhava Catra Airlangga. Entah kebaikan atau hal apa yang membuat Rebecca tenggelam dalam sosoknya. Iba sekali melihat penampilan cewek itu. Rambutnya berantakan sekaligus meta memerah dengan kucuran air mata tak henti. Jari-jari tangannya memerah karena kepalan juga lengannya ikut memerah akibat borgol melilit lengannya.
"Cakra! Help. Aku mau ketemu Dhava! Dhava udah tunggu aku di sana, Cak. Pleaseee, kamu jahat. Sama kayak mereka! Aaaaaaaa, tolooong!"
Di sana, Cakra menatap Rebecca. Sudut matanya telah menyimpan cairan bening berupa air mata. Kakinya melangkah pelan usai lama berdiam di sana. Namun berubah larian kecil menuju Rebecca. Memeluk cewek itu erat. Mengabaikan perasaan tidak baik-baik sajanya tentang perkataan Rebecca di basement sore tadi. Berhadapan dengan Becca, semua marah atau benci lenyap. Tak akan bisa jika berlama marah kepada Rebecca Syinevaz.
"Gitu kamu, Cak?! Kenapa kamu nggak peduli! Kenapa semu orang jahat. Nggak ada yang peduli sama aku. Kenapaaaa?!" Teriakannya menggelegar sepenjuru ruangan. Kaki Rebecca menendang-nendang kasur bahkan telah jauh dari kata rapi. Sprei berantakan disertai selimut terlentang sudah di atas lantai.
"Kalau tahu kayak gini.. ng-nggak akan kubuarin Vanda hidup, Dhav. Aku akan bunuh dia. Aku bunuh siapa pun manusia yang coba pisahin kita. Aku nggak mauuuu, aku maunya kamu!" Tangis hebat kembali dilakukan.
Rona pada Netra Rebecca memerah akibat terus menangis dan marah. Tak ada yang tahu bila sekujur tubuh Rebecca terasa sakit. Sungguh sakit. Tubuhnya terasa dilempar menghantam dinding keras berkali-kali. Dan ... tidak ada yang peduli, begitu persepsi di kapalanya. Padahal, banyak yang peduli akannya.
"Re, gue sayang sama lo! Harus pake bahasa apa lagi supaya lo tahu dan paham. Harus jungkir balik kayak apa lagi gue supaya lo jadi milik gue, supaya lo punya perasaan yang sama? Gimana?! Ajarin gue supaya gue bisa terlihat hebat di hidup lo, Re, kayak Dhava. Ajarin gueee itu. Gue mau itu, Re!" Cakra ikutan menangis di sana. Sama-sama tenggelam dalam kebingungan penuh kesesakan dan kesakitan.
"Harus pakai cara jahat dan licik apa lagi, sih, Re?" Suara Cakra mulai melirih tak sekuat awal tadi.
"Atau ...."
"Lebih baik kita mati bersama dari pada di dunia ini kita hidup tapi nggak sama-sama. Dari pada lo terus terobsesi sama Dhava dan gue nggak akan bisa miliki lo. Karena jika kita mati, nggak ada manusia yang memiliki lo, jika bukan gue, Rebecca." Bisikan Cakra memberi suasana diam dan senyap dari Rebecca. Tak ada lagi rotahan kasar dan terikan.
"Kita bahagia sama-sama di atas."
Cakra melepas pelukan itu. Menatap Rebecca. Tatapan sakit dan terlalu sulit untuk di jelaskan. Jika kalian mengira diamnya Rebecca untuk mencoba memahami ucapan Cakra. Kalian salah besar. Melainkan, vas bunga di nakas berusaha diraih Rebecca lalu melemparkan tepat di kepala Cakra. "Fuck!"
Pyar
Pecahan vas menggema di ruangan. Pecah berkeping keping usai mencium kasar kepala Cakra tadi. Mama datang menenangkan Rebecca sedangkan papa beralih ke Cakra. Mendekati cowok itu.
"Kenapa harus sama lo? Kenapa nggak gue lakuin itu sama Dhava aja?!" tanya Rebecca ditambah senyum miring. "Kamu di sini juga goblok. Aku banyak kasarnya sama kamu. Tapi kamu tetap di sini sama aku. Itu buat aku nggak suka. Aku risiiih! Kamu tahu itu! Pergiiii, kamu pergi!" Tak lama dari itu satpam datang mengusir Cakra. Menyeret keluar demi tak menciptakan kegaduhan di sini.
Cakra melepas paksa tangannya dari cekalan tangan satpam berbadan besar itu. Cowok itu menendang ban mobil di basement. Entah itu mobil siapa. Dan persetan dengan amukan pemilik mobil. Cowok itu kini menangis lagi dan lagi. Lebih keras tangisnya. Duduk di dekat mobil yang terus berbunyi itu. Jari jemarinya mencengkram surai hitam sekaligus berteriak histeris. "ANJING! KENAPA NGGAK ADA YANG PEDULI SAMA GUE! KENAPA TUHAN?! KENAPA LO BUAT HIDUP GUE BERANTAKAN KAYAK GINI!"
"BANGSAT!"
Darah bekas perlakuan Rebecca terhadapnya masih mengucur deras. Darah segar dari kepala bagian samping terlihat jelas di sana. Tak hanya itu, sebab pelipisnya ikut tergores pecaha kaca itu. Namun, semua rasa sakit hingga perih yang menggerogoti di kepala tidak sebanding dengan semua luka di hari ini. Dalam kepalanya tercantum; semua manusia jahat, dirinya sendiri jahat, tuhan jahat. Tak ada yang baik di dunia ini. Sungguh tak ada. Sialan.
Kini Cakra kehilangan semuanya hanya demi satu hal tak pasti. Cowok itu menerobos sebuah kesalahan untuk secercak cahaya kebahagiaan dalam ilusinya.
TBC. Tinggalkan jejak_
untuk kamu; terima kasih sudah membacaArqastic

KAMU SEDANG MEMBACA
MADHAVA
Ficção Adolescente[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Madhava Catra Airlangga adalah cowok pendiam yang non ekspresif, namun berhasil menyabet kedudukan sebagai kapten basket. Ceritanya ia jatuh cinta diam-diam pada cewek tomboy dan galak. Vandana Dineschara sudah merebut hat...