'madhava; 26'

64 4 0
                                    

Sorry. Gue ke apartemen besok, ada urusan sama kakek di rumah. Jangan lupa makan

NOTIFIKASI hadir di layar benda pipih pintar tersebut. Vanda menggerakkan jari jemari di atas keyboard membentuk kalimat 'iya, lo juga' lalu menekan kirim agar segera tersampai kepada Dhava. Sebuah insiden lapangan tadi siang, kembali berpusar di kepala. Vanda tidak sepenuhnya menyalahkann Dhava. Melainkan merasa bahwa dirinya yang salah entah bagaimana alasannya. Dikepala Vanda hanya ada kata 'gue yang salah, bukan mereka' itu saja.

Vanda masih dapat kembali melihat mentari tersenyum kepada semesta. Setelah semalam berada di apartemen sendiri sebab yang katanya Dhava sedang ada urusan dengan kakeknya. Selama dekat dengan Dhava, Vanda belum pernah tahu bagaimana keluarga cowok itu. Saat semalam memberi tahu hal tersebut, satu fakta yang Vanda tahu hanya Dhava yang tinggal bersama Kakek karena kedua orang tuanya telah pergi ke dasar bumi tanpa nyawa.

Dengan celana jeans pendek, kaos abu beserta muka bantal. Vanda berjalan ke pintu. Setelah daun pintu tersibak sepenuhnya, Dhava datang. Masuk ke dalam apartemen. Tidak ada kata selain 'asallamualaikum' dari liang mulutnya. "Waalaikumsallam," jawab Vanda. Berdiri di belakang sofa tempat Dhava duduk.

"Kenapa muka lo?"

"Berantem sama preman, nolongin ibu-ibu."

"Udah sarapan?" tanya Vanda. Hanya ada anggukan yang ia dapatkan dari cowok itu.

"Maaf yang di lapangan," kata Dhava. Menoleh ke belakang kemudian terdengar tepukan di sofa dari tangan Dhava. Isyarat untuk meminta Vanda duduk di sebelahnya. Duduknya Vanda di sebelah Dhava, cowok itu melempar bantal sofa di atas pangkuan Dhava dan merebahkan kepala di atas sofa itu. "Bukan salah lo atau Rebecca."

"Kenapa bisa kenal sama Rebecca?"

"Dia yang ajak kenalan."

Selama lima menit tak ada suara setelah itu. Dhava semakin khawatir kepada Vanda. Merapalkan sumpah serapah ketika Rebecca telah berhasil menemui Vanda entah bagaimana caranya. Keadaan semakin mendesak Dhava, musti bergerak cepat sebelum semuanya semakin buruk. Sama-sama diam di posisi masing-masing. Bohong sekali Vanda merasa baik-baik saja. Posisi Dhava seperti ini, debar jantungnya tidak bertugas secara normal. Perasaan yang selalu dirasakan bagi setiap insan ketika kasmaran.

"Maaf," katanya lagi. Dhava menyampingkan badan, memeluk perut Vanda dan membenamkan wajah di sana.

"Baby-nya baik, ya?"

"Pasti cowok. Kalau cowok itu mirip sama ibunya. Dia pasti kuat kayak lo. Love you ..."

"Van?" Panggilan kepada Vanda tidak ada jawaban. Dhava merasa aneh dan mendongak. Mengonverensikan posisi menjadi bersila menghadap Vanda. "Lo marah?" tanyanya lagi.

Vanda membawa kepalanya menoleh cepat dan tersenyum getir. "Nggak." Ia menggeleng untuk menyakinkan. "Lakuin aja apa pun semau lo, sampai capek. Gue nggak akan usik hubungan lo sama Rebecca. Gue juga tetep bertahan di sini, meski gue tahu.. bertahannya gue itu bertahan untuk terluka."

─màdhavaňdá─

"Gu bingung deh hubungan lo sama Dhava." Vanda saja bingung, apalagi jenta yang hanya melebarkan telinga dan duduk sebagai pendengar yang baik, bukan tokoh utama dalam masalah. "Lo bingung, apalagi gue? Stress kali." Vanda menghela napas.

"Lo, sih. Ngomong aja ke Dhava. Lo minta penjelasan gitu. Dari pada harus main tebak-tebakan siapa tuh cewek, kan? Lo nggak cemburu apa?"

"Nggak. Biasa aja."

"Iyain aza."

"Gue maunya dia jelasin, bukan gue tanya. Nggak peduli. Dia yang bilang cinta sama gue, artinya gue yang ada dihatinya. Apapun opsinya gue pilihan dia, tuh cewek cuma jadi pengalihan," tutur Vanda.

"Orang tuh bisa bilang cinta, padahal perasaan aslinya biasa aja. Nggak ada yang tahu hal itu, Van. Cuma Dhava yang tahu." Jenta memberi opini.

"Gue percaya sama dia. Bisa aja tuh cewek cuman jadi saudara, karena ada satu dan lain hal. Dhava belum bisa cerita sama gue. Right?"

"Iyain aza. Semoga aja perasaan percaya lo sama Dhava dapetin buah baiknya. Bukan malah nyakitin diri lo sendiri karena terlalu percaya." Jenta merangkul Vanda erat dan berjalan di koridor lantai atas. Usai mengisi perut di kantin.

Melipirkan bola mata ke ujung koridor kelas XI membuat Vanda berhenti sejenak. Dari tangga turun dua orang, Dhava dan Rebecca berjalan bersamaan. Beserta lengan Rebecca mengapit lengan Dhava. Berhenti sejenak, Rebecca mengusap bibir Dhava dengan senyum merekah sempurna. Terlihat bahagia.

Bergitu pun Jenta. Ikut berhenti di sebelah Vanda. Menyadari pula akan hak yang menjadikan Vanda tak melanjutkan perjalanan. Tidak ada komentar. Jenta hanya diam membiarkan. Ingin rasanya mencabik wajah Dhava. Persetan dengan ketampanan itu.

Dari luar Vanda menilai mereka bedua bahagia. Tetapi yang Dhava rasakan jauh dari kata itu. Ia tidak bahagia di sana, ia tidak nyaman dengan sikap Rebecca yang berubah drastis beberapa tahun ini, benar-benar tida suka disituasi saat ini. Yang Dhava inginkan hanya kembalinya mama papa dan memiliki kekasih seperti impiannya. Sudah ada, Vanda.

Namun, Dhava tidak becus membangun hubungan dengan Vandana Dineschara. Dan, setiap kali Dhava merasakan perlakuan manis dari Rebecca tanpa ia menolaknya, wajah Vanda berenang di kepala, ekspresi jutek, ekspresi tersenyum, dan eskpresi jeleknya saat tidur. Dhava selalu suka. Hal itu memberikan efek spontan Dhava mengucap, Maaf ....

Terjadi pula saat pulang sekolah. Sebagian seragam Vanda lolos dari apitan rok sekolah. Cewek itu membawa tas ransel di tangan karena buru-buru menggapai langkah Dhava yang sudah pergi terlalu cepat. Cowok itu bersama Rebecca di boncengan. Pulang bersama dan melupakannya. "Kapan sih lo jujurnya, Dhav? Gue nggak akan marah kalau lo jujur sama alesan yang masuk akal," gumamnya di sela sayatan-sayatan hati yang perih dalam dada.


TBC. Tinggalkan jejak_
untuk kamu; terima kasih sudah membaca




Arqastic

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang