BENTANGAN langit mulai diselimuti warna hitam pekat, langit hitam merebut senja untuk ia kuasai seluruh alam semesta. Benda bulat memancarkan cahayanya dengan indah, sepertinya ia ingin menyombongkan wujudnya karena cantik. Ingin membuat setiap pasang mata manusia ketika melihat dirinya akan otomatis merekahkan senyum, begitu pikir bulan. Nyatanya tidak. Malam ini, ada seorang laki-laki menatap bulan bukan untuk menikmati wujud indah itu, melainkan ia menatap bulan kosong. Tidak ada perasaan menarik karena meski kedua bola mata itu terpusat pada bulan, tidak dengan pikirannya. Sebagian atas tubuh Dhava terlilit kain perban akibat luka di peristiwa rumah tua itu. Dua hari berlalu, entahlah bagaimana ia bisa bertahan di ruangan ini tanpa keluar. Bahkan kedua daun telinganya belum mendapat asupan kabar tentang bagaimana kelanjutan Cakra, serta bagaimana keadaan Vanda, dan Kafka.
Setelah yang terakhir kali ia ingat di mana Vanda menangis tersedan-sedan seraya mendekap Kafka karena tingkat kesadaran laki-laki itu mulai menurun dalam keadaan tidak baik-baik saja bahkanterlihat sangat buruk, tak ada lagi yang Dhava ingat. Kedua matanya terbuka sudah menampakkan ruangan serba putih beraroma khas obat-obatan. Jika kalian bertanya apakah Dhava tidak menemui Vanda? Yang ada di dalam kepala Dhava hanya ingin mereka semua dan ia butuh waktu sendiri-sendiri. Tak ada Dhava mendengar sedikit saja bagaimana kabar Vanda ataupun Kafka. Perasaan bersalah itu akan selalu ada dan menghantuinya. "Are you okay, Van? Gue harap gitu."
"I miss you."
"Maaf ...."
Kedua mata Dhava menghangat. Air mata itu seolah berdesakan untuk lolos dan semakin menampakkan wujud kesedihan Dhava pada malam ini. Ia memejamkan mata. Mengambil napas lalu ia embuskan. Dilanjutkan oleh jari-jemarinya yang mengusap kedua sudut mata. Pasokan udara dalam tubuhnya kian menipis, rasa sesak menghantam dadanya. Mendorong Dhava untuk menemui Vanda setelah dua hari. Apakah dua hari itu sudah cukup untuk Vanda ataupun Kafka memiliki waktu sendiri?
Berdiri dari posisi duduknya. Embusan napas panjang kembali dilakukan. Perlahan membawa langkah kakinya keluar dari ruangan. Pertama kali yang ia temui adalah dua pria berseragam hitam menjaga pintu. "Maaf, Den Dhava mau kemana?"
"Ketemu Vanda."
"Bapak suda-"
"Tolong telepon kakek sekarang. Gue mau ngomong."
Diberikannya benda pipih hitam kepada Dhava. Tak lama setelah itu terdengar suara dari benda pipih itu. "Kakek, aku mau ketemu Vanda."
"..."
"Kek. Aku mohon."
"..."
"Kakek yang bilang ke aku untuk menyelesaikan masalah dengan baik, sebagai seorang laki-laki harus bisa mengatasi segala masalah, harus dihadapi. Dengan cara kakek larang aku ketemu Vanda, ketemu Cakra. Kakek nggak buat aku bisa untuk neyelesein masalah ini. Kakek nggak mencerminkan segala hal yang kakek ajarin ke aku dari kecil. Secara nggak langsung Kakek minta aku untuk menggantung masalahku sendiri tanpa penyelesaian. Itu maksut Kakek?"
"Ck." Dhava berdecak kesal. Memberi ponsel itu kembali pada pemilliknya, Dhava kesal tanpa mau melanjutkan telepon itu.
"Kakek bilang, silahkan ketemu sama Vanda dan Cakra, Den. Untuk sekali ini."
Di tempat yang sama, namun di ruangan yang berbeda. Seorang cewek dengan wajah terhiasi oleh luka-luka dan setengah lengannya terlilit perban tengah mengusap surai hitam seorang laki-laki di atas brankar. Laki-laki itu terlalu nyaman beristirahat dua hari lamanya. Matanya terus terpejam, tubuhnya terus diam tanpa pergerakan, bahkan suaranya kini lenyap dari kenyataan hanya dapat Vanda ingat-ingat dalam ilusinya. Ia merindukan Kafka, sungguh. Ia rindu juga hidupnya yang dulu. Yang hanya akan bersedih karena tidak memiliki ayah, yang hanya sedih jika ditinggal Kafka sekolah karena tidak akan ada waktu bermain bersama lagi. Hanya itu, tetapi saat ini, jenis kesedihan dihidupnya makin banyak dan bermacam-macam.
"Get well soon, Kafka!"
"Iyi, Vindi." Vanda menirukan suara Kafka dengan nada dibuat-buat lalu terkekeh pelan. Tawa pelan itu untuk menyembunyikan suaranya yang sudah bergetar tiap kali melihat kondisi Kafka juga tiap kali bayangan kemungkinan jika Kafka pergi untuk waktu yang lama makin membuatnya takut. Mengangguk sesaat kemudian ia pamit, "Nanti gue balik lagi ya. Kayak biasanya. Selamat istirahat."
"Harapan gue tiap hari saat ini hanya berharap ketika gue melangkah masuk dalam ruangan ini, gue dan lo saling tatap, bukan Cuma gue yang selalu manatap mata lo yang terpejam. Kapan sih mata lo ke buka? Gue kangen."
Keluar dari ruangan, Vanda berjalan menepi di pembatas kaca lantai atas yang mana menghidangkan lantai dua dan tiga rumah sakit. Banyak orang berlalu lalang di rumah duka sekaligus bahagia ini. Embusan napas panjang beberapa kali ia lakukan. Hanya Kafka kini menjadi pusat kepalanya berpikir. Mana bisa ia ditinggal Kafka? Mana bisa? Rasanya terlalu sulit dan menakutkan. Dunia ini tidak semenyenangkan itu di sudut pandang Vanda. Bumi tidak seindah itu untuknya, tidak semenyenangkan itu untuknya, tidak juga akan selalu membuat Vanda tersenyum jika ia sendiri di bumi tanpa Kafka.
Seolah semesta memiliki kontrol menolehkan kepala Vanda untuk menghadap kanan. Pada saat itu juga kedua bola mata Vanda menghantam tatapan tajam dari seorang laki-laki yang sudah tidak ia lihat lagi keberadaannya beberapa hari ini. Tatapan mereka seperti tak berarti apa-apa lagi dalam benak Vanda. Berbeda dengan laki-laki yang berjarak sekitar 5 meter di depannya, baginya tatapan ini penuh kerinduan. Madhava Catra Airlangga merindukan perempuan itu. Ia ingin melakukan dekapan hangat, ia ingin kedua tangan mereka bersenggama penuh suka cita. Ia ingin kedua indra penglihatan mereka saling tatap kagum nan kasih sayang. Namun, yang Dhava dapat dari kedua bola mata Vanda adalah tatapan yang sulit untuk ia artikan. Hanya satu yang tersirat, sakit.
Apakah sekadar saling tatap saat ini menciptakan luka? Ketika dua bola mata kita ketika saling menatap telah punah rasa menyenangkan itu, datangnya adalah rasa yang menyesakkan. Aku ingin berdua bersamamu, namun semesta memberi peringatan keras.
TBC. Tinggalkan jejak_
untuk kamu; terima kasih sudah membaca
Arqastic

KAMU SEDANG MEMBACA
MADHAVA
Fiksi Remaja[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Madhava Catra Airlangga adalah cowok pendiam yang non ekspresif, namun berhasil menyabet kedudukan sebagai kapten basket. Ceritanya ia jatuh cinta diam-diam pada cewek tomboy dan galak. Vandana Dineschara sudah merebut hat...