'madhava; 37'

46 5 0
                                    

"UNTUK periksa kandungan."

Percakapan di rumah sakit dengan salah satu suter yang menjaga pasien atas nama Madhava Catra Airlangga beberapa hari silam melekat kuat di kepala. Kepingan demi kepingan puzzle mulai memenuhi papan tanda tanya besar dalam kepala Rebecca. Rebecca kerap kali membawa garis pandangnya terpusat pada Vanda penuh kecurigaan. Juga menatap perut cewek tersebut yang mana tak menampakkan tanda seperti dalam kepalanya.

"Ada yang di tanya?"

Suara gesekan antara lantai kelas dan kursi menolehkan seluruh kepala siswa di kelas. "Apa ada yang ditanyakan Rebecca?" tanya guru perempuan di depan saja. Kedua alisnya naik menatap cewek tersebut. Sementara sang empu hanya menggeleng. "Saya izin ke toilet, boleh?"

Guru pemilik nama Raini tersenyum pelan, lantas mengangguk memberi izin. "Permisi," kata Rebecca saat melewati Bu Raini.

9.40 a.m.

Menatap tajam jam yang melingkar di pergelangan tangan. Rebecca mempercepat langkah untuk segera ke lapangan saat ini, katakanlah jika ia bohong untuk izin pergi ke toilet. Melainkan pergi ke lapangan karena hari ini adalah jadwal kelas Dhava olah raga. Ada hal yang ingin ia lakukan saat ini. Berkaitan dengan kecurigaan cewek itu terhadap Vanda.

Tengah-tengah pijakan kaki di tangga Rebecca terhenti. Menjumpai Vanda berlari di bawah sana. Tidak ingin tertinggal, membuat Rebecca mempercepat langkah menuruni anak tangga dan pelan-pelan mengekor di belakang. Tidak sampai masuk dalam toilet. Vanda berdiri di lorong kecil. Menyandarkan punggung di pintu gudang.

Uhuk uhuk!

Dapat melihat secercah wujud Vanda dari balik dinding sebrang. Cewek itu menunduk kelelahan. Salah satu tangannya menangkup di depan mulut, tangan lainnya lagi di depan perut. Menciptakan gerakan spontan dari Rebecca untuk menangkup mulutnya dengan kedua telapak tangan.

"Nggak mungkin."

"Ini cuma rekayasa."

Rebecca mencoba menolak fakta akan dugaan-dugaan ini. Entahlah ini fakta atau bukan, yang jelas Rebecca tak mau dugaannya ternyata jelas adanya.

"Van, kenapa?"

Dhava datang.

"Nggak. Cuma keram."

Di sana, Vanda meringis sakit seraya kedua tangan masih setia di depan perut. Di sana, ada juga Dhava usai berlari dari arah lapangan untuk menghampiri Vanda. Cowok itu berdiri di depan Vanda dengan tangan yang ikut berada di depan perut cewek itu. "Kita ke rumah sakit. Gueー"

"Dhav, jangan," sergah Vanda. Sergahan cewek itu tidak lagi menciptakan sumber suara khawatir dari Dhava. Hanya ada diam dan tatapan mengernyit. "Gue baik-baik aja. Lo panik malah buat orang-orang curiga."

"Gue takut kenapa-kenapa."

"Perut gue juga biasa kram, nanti sembuh sendiri."

"Jangan sepelein sakit."

"Gue nggak sepelein."

"Van, come on."

"Dhava! Stop lo kayak gini. Ini tubuh gue, urusan gue. Lo nggak ada haknya. Gue yang tahu soal diri gue sendiri." Vanda menunduk. "Balik aja ke lapangan. Pak Joko pasti nyari lo," perintahnya bernada pelan.

"Lo kenapa?!" Dhava menarik Vanda masuk ke dalam gudang untuk menghindari mata orang bila ada melewati radar mereka. Awalnya Vanda terpaku di tempat sebab tak mau mengikuti cowok tersebut. Hal lain terjadi tatkala Dhava menatap begitu dingin dirinya juga menyeret Vanda masuk dengan paksaan yang terasa begitu kasar.

"Vanda, i care about you. Sejak malam itu kita ketemu di jalan, 8 tahun lalu. Gue tertarik sama lo, kita ketemu di smp gue mulai sering perhatikan lo, dan kita ketemu lagi satu sma gue udah resmi jatuh cinta sama lo. " Vanda menatap Dhava dengan serius, begitu pun sebaliknya. Cowok tersebut menjeda ucapannya, mencoba untuk menetralkan napas yang entah mengapa tiba-tiba memburu. "Apa pun tentang lo, udah menjadi urusan gue. Karena secara lo udah masuk dunia gue, Van. Sejak lo usap darah gue di halte. Dulu.."

"Niat lo yang kayak bercanda. Digue enggak."

Mengambil alih di sisi lain. Rebecca berjalan mendekati radar kedua orang itu. Berdiri di depan jendela Gudang yang tertutup oleh tumpukan barang bekas serta bangku bekas. Minim celah untuk ia melihat situasi di dalam, hanya dapat sangat sedikit celah karena barang-barang sialan di balik jendela gudang. Meski begitu, Rebecca masih dapat menangkap bagaimana suara di dalam sana.

"Tapi..," ujar Vanda sengaja ia jeda untuk memilah kalimat yang benar sebelum mengungkap. Dhava bukan mendapat nada biasa kala Vanda mulai membuka suara, mamun nada lirih nan pedih ia dengar. "Untuk bisa lanjutin ini, Gue bingung."

       ─màdhavaňdá─

Tak ada tanggapan lain lagi dari Cakra. Cowok berjaket varsity hitam berjalan menjauh mendekati sebuah permaiman basket. Mulai menembak benda bulat itu ke dalam ring di atas sana. Melakukan hal yang sama berulang kali. Berusaha mencetak point sebanyak mungkin. Di sebelah ada Rebecca dengan kerutan di dahi tengah memperhatikan Cakra. Meletakkan prasangka bingung pada cowok ini. Pasalnya, sejak tadi Rebecca sibuk bermain ponsel tanpa memperhatikan dirinya. Cowok itu juga meletakkan prasangka curiga jika Rebecca sibuk saling berbalas pesan dengan Dhava.

Sore ini Cakra kembali membawa Rebecca ke timezone.

"Kamu kenapa si, Cak?"

Cakra mulai mempercepat bidikannya hingga nampak makin brutal di mata Rebecca. Masih diam tanpa ada jawaban. Memilih untuk tidak ambil pusing, Rebecca ikut melakukan apa yang dilakukan oleh manusia di sebelahnya. "By the way, aku curiga deh, sama Vanda. Kamu tahu Vanda, kan? Cewek yang sama Dhava di rumah sakit waktu itu. Dia masih sekolah, masih sma, belum juga lulus. Kamu tahu? Aku curiga..

.. dia hamil."

Deg!

Entah kenapa, namun debaran jantung Cakra tak lagi santai. Menoleh cepat menatap Rebecca. Salah satu alisnya naik diikuti kulit dahinya mengerut membentuk beberapa lipatan. "Lo tahu?"

"Kamu tahu?"

"Becca tahu dari mana? Hm?"

"Tunggu. Kamu udah tahu soal ini? Please.. jawab aku, Cakra." Rebecca mendekati laki-laki itu. Tangannya naik ke depan dada Cakra sekaligus menerjang Cakra dengan tatapan memintanya. Cakra sendiri diam menatap Rebecca dengan jarak tak sampai dua jengkal telapak tangan. Salah satu sudut bibir ia tarik membentuk senyum miring. Mulai membuka suara dengan volume pelan dan terlewat santai. "Gue rasa, lo cari tahu sendiri supaya lo benar-banar percaya. Mudah kok, nggak susah untuk cari tahu itu. Dan, satu hal yang perlu kamu tahu, Becca. Dhava nggak se-perfect, baik, tulus seperti yang kamu kira selama ini."




TBC. Tinggalkan jejak_
untuk kamu; terima kasih sudah membaca

Arqastic

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang