'madhava; 16'

100 4 0
                                    

REBECCA telah sepenuhnya lenyap dari hadapan Dhava. Cewek itu masuk ke dalam rumah sementara Dhava masih diam di depan gerbang menatap ponselnya. Sebuah laman percakapan dengan Cakra menjadi titik fokus Dhava saat ini. Sebuah foto menampilkan dirinya dengan Rebcca di salah satu mall beserta pesan di bawahnya.


Masih berani jalan sama Rebacca, kan?
Gue pun berani sakitin cewek lo.


Sebuah pesan berupa foto kembali hadir di bawahnya. Perlahan jari Dhava menekan tombol dan bulatan mengunduh mulai berjalan secara cepat. "Fuck," umpatan secara spontan dia lakukan. Gambar dalam layar ponsel itu: Cakra tersenyum di sana, merangkul seorang cewek berselimut putih dengan sedikit bahu polosnya terekspos, matanya terpejam dalam cahaya remang-remang ruangan itu. Siapa pun melihat foto itu akan menilai bila cewek itu tak lagi dalam balutan busana, hanya selimut.

Dalam hitungan menit Dhava menancap gas ke tempat Cakra. Kebut-kebutan di jalan, lebih dari satu kendaraan menyorakkan klakson kepada pemuda yang sok berkuasa di jalanan umum. Menyelipkan motornya di antara kemacetan, meneorobos lampu merah, persetan jika ada polisi yang melihat. Tujuannya hanya akan menemui Cakra secepatnya.

Basement apartemen menjadi tempat pelabuhan Dhava. Tidak memarkirkan motor dengan benar, kala melihat sosok Cakra berdiri di dekat tiang. Smirk mulai nampak mendapati kehadiran Dhava, sesuai dugaannya. "Gimana kabar lo?" tanya Cakra. Senyumannya makin lebar, tidak terlihat ramah melainkan terlihat licik.

 "Maksut lo apa?"

 "Gue tau lo suka sama Vanda, gue tahu ketika gue ke kamar lo. Bisa dengan mudah gue kuasai kelemahan lo, Dhav." Membawa-bawa nama Vanda membuat Dhava menatap nyalang cowok itu. Cakra itu adalah cowok tidak  beradab dengan segala keegoisannya. Tidak segan-sega melukai seseorang hanya untuk mendapatkan apa yang ia amu. Dhava mencoba menekan amarahnya agar tidak melambung bebas hingga meluapkannya pada Cakra.

 "Nih."

 Cakra melempar sebuah foto seorang cewek dengan tespek ke permukaan tanah yang ditumbuhi rerumputan. Kemudian Cakra menginjak foto itu beberapa kali. Tespek itu hampir patah, foto tersebut juga menjadi kotor dan rusak. Menyadari siapa sosok perempuan di foto, Dhava mendorong Cakra. Meraih foto itu untuk melihat lebih jelas.

Ini ... foto Vanda yang ia letakkan di atas meja belajar beserta tespak yang kala itu ia dapatkan di rumah Vanda. Dan Cakra mendapati keduanya ada di dalam kamar Dhava. Apa maksut Cakra? Kenapa foto dan tespek bisa ada di tangan Cakra? Sialan. Firasat tidak baik terlintas di benaknya. Klip kejadian di rumah Vanda ketika ia membabat habis cowok beserta tuduhan di kepala resmi Dhava leburkan. Keyakinan mengenai siapa cowok yang menghamili Vanda itu ialah Cakra.

"Jelasin ke gue?!" bentak Dhava. Suaranya serak dan berat. Kilat kemarahan terlihat jelas pada wajah. Rahangnya mengetat juga kedua tangan telah terkepal kuat ingin segera membidik wajah Cakra tanpa memberi celah dan ampun. "Nggak usah bawa-bawa Vanda, bangsat!"

"Udah lihat foto yang gue kirim? Lo pasti bisa rasai gimana hancurnya Vanda saat tahu dia hamil. Sangat yakin gue, lo nggak akan biarin Vanda jatuh  apalagi bahaya di tangan gue. Karena gue sejahat itu kalau udah benci sama orang. Mau diam aja? Loser kalau lo Cuma diam kayak orang bego di sini." Dhava mendekat, menarik kerah Cakra erat dan kasar. Cakra berusaha santai menghadapi cowok ini.

 "Bangsat. Nggak usah sangkut paut masalah kita sama orang lain. Dia nggak berhak lo seret ke masalah ini! Jelasin apa tujuan lo? Hah?!" Intonasi bicara keduanya semakin meninggi satu sama lain. Kedua mata Cakra menatap makin angkuh.

"Siapa yang bilang dia punya hubungan sama masalah kita? Siapa?! Masalahnya di elo! Gue jadikan Vanda objek biar lo pergi dari hidup Rebecca. Supaya Rebecca benci sama lo. Semua ini salah lo, Dhav!" Cakra tidak lagi berada di kuasa Dhava, cowok itu mendorong kuat bahu Dhava. Cowok itu lemas mendengar kenyataan buruk.

"Gue yang hamilin Vanda. Kalau otak lo masih lemot."

Tawa ringan Cakra lakukan setelah kembali mengucapkan sebuah fakta mengejutkan itu. Seakan terdengar sebuah petir menggelegar keras dan  menakutkan dekat di telinga saat mendengar ungkapan Cakra. Dhava benar-benar tidak habis pikir dengan cowok itu. Kepalan tangannya sudah dihiasi keringat dingin. Jangtungnya berdebar. Pasokan udara seolah pergi dari sekitarnya. Selaput bening pun ikut-ikutan menghiasi mata. Dhava mencapai pada titik puncak kelelahan akan semua ini, kepalanya mendadak pusing. "Mau lo apa?" tanya Dhava pelan.

"Nikahin vanda dan pergi tinggalin, Becca."

Pada intinya, ketika mengetahi Dhava sedang memiliki hati dengan salah satu cewek, segala cara Cakra lakukan untuk mencari tahu cewek itu dan menyusun rencana menuju kehancuran untuk hidup Dhava. Kemenangan hanya akan berada dalam genggamannya. Harus.

"Karena ini tujuan gue. Di mata Rebecca lo harus terlihat jadi cowok brengsek dan benci sama lo. Gue bisa dapat kepuasan dari Vanda, and then ... gue bisa beruntung memalingkan hati Rebecca untuk gue. I'm genius. Tugas lo cuma menikah sama Vanda, cewek yang udah kotor..

 ... karena lo pantas dapat bekas."

 "Bangsat!"

Bugh

Dhava langsung menyerang Cakra. Melambungkan kepalan tangan ke wajah cowok itu  degan kekuatan sepenuhnya. Sementara Cakra hanya diam di serang Dhava. Tangannya mencoba menahan dada Dhava, namun Dhava sudah terlihat sangat marah. Emosinya tinggi juga semakin membabi buta.

"Gue capek, Cak! Lo ... yang bunuh mama papa! Lo yang buat hidup gue hancur! Tapi di sini seolah-olah lo yag paling sakit," ungkap Dhava dengan penuh penekanan dan suara  bergetar hebat. Punggungnya naik turun akibat napas yang tidak teratur. Cowok itu manaiki tubuh Cakra, menarik kerahnya sangat erat. Kepalan tangan cowok itu bergetar. Dadanya sesak dan perih menahan tangis. Tidak lagi melanjutkan pertengkaran itu. Setetes air mata luruh membasahi permukaan pipi. "Lo bawa-bawa orang yang bersalah di masalah kita. Sebenarnya lo atau gue sih sumber masalahnya?!"

"Nggak usah lebay!"

Cakra bangun dari tempat. Mendorong Dhava dan memukul pelipis cowok itu hingga yang menjadi sasaran sempoyongan akibat serangan Cakra. Kepala Dhava membentur motor cukup keras. Percayalah jika ada luka terbuka lebar di kulit kepala Dhava. Cairan merag mulai mengalir membasahi rambut beserta rasa nyeri di kepala memeluknya. "Terserah lo, intinya gue lempar pilihan itu."

Cakra mengangkat jari telunjuk. "Pertama, lo pergi dari hidup rebcca dan menikahi Vanda." Kemudian mengangkat satu lagi jari tengahnya. "... yang kedua, atau lo harus siap berhenti hidup!" Cakra menyisakan jari tengah yang masih berdiri sendiri di antara empat jari jemari lainnya untuk menunjuk Dhava. Melempar cowok itu dengan simbol fuck sebagai ancaman.

Sebelum pergi Cakra menendang tubuh Dhava.  "Lo pilih itu, ya. Gue tunggu."



TBC. Tinggalkan jejak_

untuk kamu; terima kasih sudah membaca






Arqastic

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang