'madhava; 08'

122 6 0
                                    

PASUKAN  murid laki-laki dengan balutan jersey basket yang melekat pada tubuh atletis mereka itu berkumpul di lapangan sore ini untuk latihan. Ekskul basket SMA Pradana telah hampir menyempitkan sebagian isi lemari piala dengan jerih payah mereka yang mana benar-benar patut diberi applause. Beberapa bulan lagi mereka akan kembali memperebutkan piala di ajang perlombaan tingkat sekolah menengah atas.

"Came on, Dhava. Kenapa teknik basket kamu hancur begini. Ada masalah apa?" tanya pak Adi yang menjadi pelatih ekskul basket di sini. Pria paruh baya yang sejak tadi memperhatikan dari tepi lapangan langsung turun tangan menegur Dhava setelah sejak tadi hanya diam dan memperhatikan.

Madhava Catra Airlangga, kapten basket SMA Pradana. Selama mengenal sosoknya yang sudah diberi kepercayaan sampai saat ini menjadi kapten basket, ini adalah saat pertama Dhava mengecewakan Pak Adi. Biasanya Dhava cukup memuaskan dalam sekedar latihan, bahkan saat bertanding. Dhava sangat fokus dan serius dalam berbagai aspek di sekolah.

Cowok itu berjalan mendekati Pak Adi. "Maaf, Pak. Saya kurang fokus." Tangannya menggaruk leher belakang dan menundukka kepala. Merasa bersalahan karena tidak fokus.

Adrian yang memperhatikan jadi memiliki pemikiran untuk saat ini tentang Dhava yang tiba-tiba hilang fokus. Pasti si doi menjadi dalang di balik ketidak fokusan Dhava. "Ck, bagaimana, Dhava? Belum pernah kamu hancur begini. Liat lutut kamu berdarah karena jatuh. Oke, untuk latihan sore ini cukup sampai sini saja. Kalian bisa pulang," tuturnya. "Satu lagi, minggu ke depan kita libur dulu, refresfkan pikirkan kalian. Setelah itu baru kembali latihan! SEMANGAT!"

"SIAP, PAK."

Mulai tadi awal, saat melakukan tembakan untuk membobol ring. Dhava terjatuh karena terpelintir. Pasti kaki cowok itu keseleo, juga lututnya meloloskan darah merah akibat goresan dengan permukaan lapangan. Intinya Dhava latihan sore ini benar-benar lalai, hingga melukai dirinya sendiri.

"Ternyata Vanda berhasil memporak-porandakan hati lo," cibir Adrian diiringi tawa mengejek. Mengenai perubahan sikap Vanda dengan segala terkaan ribut di kepala. Vanda terlalu banyak diam dan melamun, bahkan kedatangan Dhava seolah sebuah ancaman besar hingga menciptakan gerakan cepat menghindar dari Vanda. Cewek itu sangat aneh belakangan ini.

Solusi terbaik yang terlintas di kepalanya ialah musti menuju ke rumah Vanda. Ketukan pintu sebanyak tiga kali dilakukannya saat telah sampai di rumah Vanda usai latihan basket tadi. Tak ada jawaban lalu ketukan pintu ke lima membuahkan hasil baik. Pintu terbuka sampai menimbulkan wujud Vandana Dineschara beserta wajah pusat pasi tampak nyata. "Van..," ucap Dhava khawatir.

"Kenapa?" tanya Vanda. Sebuah usaha menormalkan deru napasnya Dhava tangkap dari gerak-garik cewek itu. Namun, Vanda berusaha tetap berdiri menanggapi tamu yang datang ke rumahnya. Gadis cantik bersurai hitam legam yang mana kini mengenakan hoodie hitam menatap Dhava, tatapannya layaknya mayat.

Tatapannya sayu dan nampak lemah. Wajahnya putih kini semakin putih dan pucat.

Akan saja Dhava mengambil alih lengan Vanda. Bersamaan dengan itu, Vanda luruh tubuhnya ke lantai. Kesadarannya melayang ke udara. Terkejut akan hal itu, Dhava sigap membawa tubuhnya merendah untuk menatap Vanda. Menepuk pelan pipi cewek itu. "Jangan bercanda." Pada suasana seperti ini pun Dhava masih memiliki perkiraan jika semua ini hanyalah prank atau tipuan belaka.

Tak mendapat hilal akan segera sadar atau kebohongan pura-pura pingsan misalnya, belum kunjung terlihat. Mulailah Dhava merasa ini sungguhan. Cowok itu segera mengangkat tubuh Vanda ala brydal style di depan tubuh tegapnya. Usai berdiri tegak dengan bawaan besar di depan tubuh, suara sesuatu jatuh terdengar. Membawa kepada Dhava untuk berusaha menunduk.

Demi apa pun! Dhava tak menderita rabun dekat, rabun jauh, silinder, atau bahkan katarak. Tetapi, kini kedua matanya menangkap benda pipih kecil sedikit panjang di lantai teras. Sepertinya jatuh dari dalam saku hoodie Vanda. Dhava juga bukan orang yang bodoh sampai tidak mengerti nama plus fungsi akan benda tersebut.

Ia paham.

"Te-tespek?"

Sebuah tespek kecil tercoreng dua garis merah jatuh di permukaan ubin yang dingin kala malam itu.


     ─màdhavaňdá─


'Get well soon'

Kalimat berasal dari goresan tinta hitam di atas permukaan lengan sempat Vanda peroleh tadi pagi. Mengingat-ingat kejadian terakhir kali Vanda alama apa? Maka hal itu menciptakan asumsi di kepala Vanda mengenai siapa yang meletakkan tubuhnya di atas kasur karena seingatnya ia sedang menemui Dhava di depan rumah, juga siapa dibalik satu kalimat tiga kata dari goresan tinta jadi tercipta di atas permukaan kulit sebab ia ingat betul tak pernah mencoret tangannya sendiri.

Vanda baru sampai di bangku, suara guru telah menyambut kelas pagi ini. Tidak memulai pelajaran di kelas, melainkan guru berstatus wanita itu menggiring kelas Vanda untuk menuju lab biologi sekaligus mengingatkan untuk tak lupa membawa buku. Berjalan ramai-ramai ke laboraturium biologi satu kelas. Vanda bukanlah cewek rajin atau semangat soal urusan keluar kelas hingga akan memimpin jalan di depan. Cewek itu berjalan santai di belakang. Berbeda dengan jenta, cewek itu paling semangat soal urusan belajar di luar kelas.

Jika tidak melakukan pembelajaran di kelas, otomatis susunan duduk acak tak sama seperti di kelas. Teserah akan duduk di mana saja asalkan mampu mengikuti materi dengan baik.

Berjalan paling akhir juga membuat Vanda masuk laboraturium paling akhir pula. Umpatan dalam hati ia lakukan kala semua bangku penuh, menyisakan satu tepat di sebelah cowok jangkung putih pemilik nama Madhava Catra Airlangga. "Segera duduk untuk mulai pelajaran. Cepat-cepat," titah guru wanita usai masuk.

Langkah pelan membawa Vanda terpaksa duduk berdua bersama cowok itu. Tidak berdua, lebih tepatnya duduk berdekatan dalam sebuah meja berisikan lima orang. Dua saling berhadapan dan satu lagi di tengah. Adrian duduk di seberang Dhava. Memperhatikan dua sejoli yang tidak kunjung menemukan titik terang akan hubungan baik dan jelas. Raut wajah susah seperti bapak-bapak beranak lima sibuk berpikir mencari pekerjaan untuk menafkahi anaknya Adrian dapatkan dari Dhava. Beralih ke Vanda, raut wajah canggung plus tak nyaman Adrian peroleh dari Vanda juga.

Tanda tanya besar bercokol di atas kepala Adrian mengenai Dhava. Guru yang menjelaskan materi di depan siswa siswi terpaling dari perhatian Dhava. Ia duduk tegap melipat kedua lengan tangan depan dada, pandangannya lurus menatap meja. Sesekali memijat lamat-lamat pangkal hidung. Tadi, saat di kelas hal serupa Adrian tangkap diam-diam dari Dhava.

Beban hidup bagaikan saling berdesakan dalam kepala hingga tak tertahankan helaan napas berat dilakukan kedua lubang hidung Dhava beberapa kali.

Percayalah tidak hanya Adrian, melainkan Vanda merasakan juga perubahan sikap Dhava. Cewek itu memiliki kesamaan sifat dengan Dhava, tidak mau mengambil kepedulian atas apa pun terjadi di sekitar kecuali bila hal itu penting baginya. Tidak pernah sekali pun Vanda memperhatikan sikap lelaki di sampingnya karena memang merasa bila Vanda tak akan ada urusan atau bahkan hingga hubungan bersamanya. Akan tetapi sekarang, semenjak Dhava berubah menatapnya, mencari waktu untuk dekat, menciptakan perasaan spontan dari Vanda untuk memperhatikannya

Merasakan hal berbeda dari Dhava.

Hari ini tidak seperti biasanya.

Bel pulang sekolah berdenting nyaring beberapa menit lalu. Vanda berlari, baru sampai di wilayah pintu parkiran, namun motor hitam besar yang ditumpangi Dhava telah lebih dulu menjauh dari gerbang sekolah. Berhasil menciptakan helaan napas panjang dari cewek berseragam tak sesuai aturan, kemeja putih telah lolos dari dalam apitan rok abu-abu. Tak membawa tasnya menyelempang di punggung, akan tetapi dibawa di tangan karena buru-buru menyusul Dhava. Lo kenapa sih, Dhav? Pertanyaan itu berasal dari dalam hati Vanda.




TBC. Tinggalkan jejak_

untuk kamu: terima kasih sudah membaca






arqastic

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang