'madhava; 28'

56 5 0
                                    

"PERMISI, Tan"

"Iya. Hati-hati, Cakra." Wanita itu melambaikan tangannya membalas lambaian Rebecca yang sudah duduk di motor Cakra seraya memeluk cowok itu. "Ready?" serunya. Pagi ini Cakra mengantar Rebecca menuju sekolah untuk pertama kali.

"Go." Rebecca menyahut semangat di belakang Cakra. Wajah Rebecca terlihat dari pantulan kaca spion. Terlihat perempuan itu menikmati setiap detik wajahnya di peluk lembut oleh terpaan angin. Sekali-kali Cakra menarik telapak tangan Rebecca agar mendekap erat tubuhnya.

"Becca. Love you.."

"Love you too .., Cakra."

"Becca. Kapan jadi pacar gue?"

"Cakra. Kapan berhenti tanya? We just friend."

"Guenya nggak mau."

"Oh ya?" Rebecca menyisir rambut Cakra dari belakang menggunakan jari jemarinya. Cowok itu tak mengenakan helm. "Kalau lo jadi pacar gue terus nggak ada yang jaga gue."

"Kok gitu?" Rebecca mengangguk. Membuat Cakra yang melihat itu dari pantulan spion seketika mengerutkan keningnya. "Lo mikir kedepannya nggak? setahun atau sampai tiga tahun kita jadian. Terus marahan putus. Lo benci gue, kita sama-sama asing dan hilang. Lo pergi jauh dan ... nggak bisa jaga gue lagi. Lo nggak bisa temenin gue antar gue ke sekolah sama jalan-jalan sore kayak biasa. Nggak bisa kayak gini lagi, Cak."

"Malah hubungan yang kayak gini aja rawan, Becca. Lo bisa pergi sewaktu-waktu karena hubungan kita sekedar sahabat, nggak erat selayaknya sepasang kekasih. Gue mau jaga lo selamanya, gue mau itu. Cuma gue yang bisa buat lo bahagia. Nggak ada yang lain." Tanpa sadar Cakra telah melenyapkan laju motornya di depan gerbang sekolah. Tidak lagi ada ucapan selain, "Bye." Dari Rebecca usai turun dari atas motor. Cewek itu tak membalas ujaran panjang dari Cakra.

Meninggalkan Cakra dengan perasaan tidak baik-baik saja. Tanpa Rebecca sadari, sebuah rahasia yang ia simpan membuat beberapa orang menanggung akibat keegoisan seorang Rebecca Syinevaz. Tetapi ia tidak tahu akan hal itu, hanya berpikir tentang dirinya. Selalu. 

Gedung kelas XI dan XII tidak menjadi sattu, tetapi saling berhadapan. Setelah merapikan tas di dalam kelas, Rebecca memilih keluar kelas karena waktu masuk jam pelajaran pertama masih setengah jam lagi. Menyangga kedua lengan tangan di pembatas balkon kelas. Banyak aktivitas yang ia lihat.

Masih pagi pun ada yang berdiri di tengah lapangan basket bersama beberapa teman lainnya dan saling memperebutkan bola. Ada pula yang sibuk dengan piket pagi hari, lalu beberapa guru berjaga di lobby depan memastikan murid-murid berpakaian rapi dan tidak melewati batas aturan yang ada. Lalu di beberapa depan kelas cewek-cewek berkumpul berbincang, ada pula yang hanya berdua perempuan dan laki-laki, yang itu pasti sibuk berpacaran. Seorang lelaki berlari mengelilingi kolam ikan, mengejar perempuan bebal yang merebut sapatunya. Berakhir dengan sepatu hitam hanyut di permukaan air kolam ikan. Ada saja.

Pengamatan Rebecca terhempas ke arah lantai dua. Di mana itu adalah kelas Dhava. Beberapa orang berdiri di depan kelas Dhava. Rebecca sama sekali tidak mengetahui siapa saja orang-orang itu. Yang ia tahu hanyalah keberadaan Vanda dan Dhava ada di sana juga. Nampak salah satu cowok yang rambutnya dibuat berjambul itu usai merangkul Vanda lalu mendorongnya ke arah Dhava. Membuat beberapa sorakan terjadi di sana.

"Ish. Awas!" Sekarang Rebecca meremat kuat rok sekolah.

Dhava menahan Vanda dengan senyum tipis, hampir cewek itu jatuh membenturnya jika saja Dhava tidak mengulurkan lengan. Dhava hanya melempar bungkus permen kepada cowok di depannya. Berjalan masuk dengan mulai menautkan jari jemari tangannya kepada jari-jemari milik Vanda.

Sudut pandang Rebecca tidak mengatakan bila mereka berdua bukan teman biasa sejak awal. Ada hubungan lain.

       ─màdhavaňdá─

Sosok perempuan dengan rambut panjang bergelombang yang nampak indah itu melambaikan tangannya ke Dhava. Senyuman lebar menyambut dengan tangan terulur hendak menggapai lengan Dhava untuk Rebecca gandeng. "Ganggu, ya?

"Sekalipun gue sibuk lo tetap maksa, kan?"

Rebecca cengengesan. Cewek berstelan celana jeans panjang dan knitwear putih itu menyandarkan tubuhnya ke bahu tegap Dhava juga enggan melepas lingkaran tangannya yang mana setia mengapit lengan Dhava. Keduanya duduk di kursi tunggu dan sesekali Rebecca bercerita atau bertanya-tanya kepada Dhava hal random. Dan cowok itu cukup berbicara seperlunya tanpa mau menanggapi lebih. Tujuannya kemari hanya memenuhi janjinya tempo dulu. Tidak lebih.

 "Atas nama Rebecca Syinevaz?"

"Saya." Rebecca berdiri dan menarik lengan Dhava. Dengan malas cowok itu berdiri. "Gue tunggu di luar aja. Masuk sendiri," kata Dhava sepelan mungkin. Sebab pada detik ini ia sedang berhadapan dengan manusia super sensitif dan tukang ancam. Juga egois. Nada bicara tinggi sedikit saja sudah salah di matanya. "Ahhh. Ikut masuk. Aku nggak akan mau masuk kalau kamu nggak ikut. Terserah."

"Re."

"Dhava."

"Fine."

"Kamu marah?"

"Enggak."

"Marah, kan?" See ... Dhava musti mengumpulkan banyak stok kesabaran jika berhadapan dengan Rebecca.

"Nggak marah. Masuk, gue temenin." Embusan napas pelan Dhava lakukan. Sedikit terpaksa ia membawa tangannya merangkul Rebecca agar mau masuk untuk menemui dokter. Mendapat perlakuan begini saja sudah membuat Rebecca senang bukan main. Karena Dhava adalah cowok cuek, dingin, dan tidak ada romantisnya. "Nggak, Dhav. Kamu marah. Muka kamu gituuu."

"Ya, harus gimana? Emang begini."

"Kesel, Ah. Nggak usah. Kita pulang."

"Becca. Harus check up hari ini."

"Kamunya gitu." Rebecca menarik jaket yang dikenakan Dhava. Merematnya kuat. Menatap cowok itu dengan mulut memberengut sebal. "Gue harus apa supaya mau masuk? Hm?"

Mendapat penawaran seperti itu tidak akan pernah Rebecca menyia-nyiakan kesempatan. Bibirnya mencetak sebuah senyuman miring. Rebecca berjinjit untuk mendekatkan mulutnya ke telinga Dhava guna berbisik sebelum menarik cowok itu masuk bersamanya. "Mau kamu sampai malam. Titik."

Usai dari itu. Naiknya jarum jam pada pukul 11 malam, bersamaan dengan naiknya seorang laki-laki ke dalam lift apartemen. Dhava menatap lorong sepi saat melangkah keluar dari lift. Cowok itu menekan beberapa angka untuk membuka password dan masuk. Cahaya ruangan masih amat cerah. Pertama kali masuk, menemukan Vanda duduk di sofa beserta buku pelajaran tengah ia baca di pangkuan.

"Kenapa belum tidur?"

"Nggak ngantuk.

Duduk di samping Vanda. Cowok itu menumpukan dagu di atas pundak Vanda. Mencium aroma wangi menenangkan kemudian memejamkan mata masih dengan posisi yang sama. "Dunia emang rumit ya, Van, atau tuhan yang jahat?"




TBC. Tinggalkan jejak_
untuk kamu; terima kasih sudah membaca

Arqastic

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang