'madhava; 02'

286 14 0
                                    

SUASANA kelas hampir setiap pagi akan terdengar suara teriakan-teriakan anak kelas yang pada berebut contekan pekerjaan rumah. Keliling dari meja satu ke meja lainnya untuk berburu dan membidik pertanyaan 'apakah sudah mengerjakan tugas?' lalu memalak hasil pekerjaan rumah yang sudah. Di pojok ada yang berkumpul mengerumuni satu buku, ada pula yang mengambil gambar dengan ponsel lalu kembali ke meja dan menyalin di tempat.

Berbanding terbalik dengan murid rajin. Mereka tak kelabakan mencari bahan contekan, melainkan hanya duduk santai di bangku dan senang hati memberikan hasil pekerjaannya. Ada juga yang memberikan hasil pekerjaan, akan tetapi dengan raut wajah tak ikhlas dan kesal tentunya. Susah-susah mengerjakan, sedangkan mereka dengan ringan meminta hasil tanpa harus berusaha. Dhava? Cowok itu tentu sudah menyelesaikan pekerjaan rumah juga tak segan-segan memberi contekan pada yang membutuhkan.

"Gue ikut lihat dong."

"Udah penuh bangku. Lo cari lain."

Vanda berjalan ke bangku paling depan. "Kalau di sini? Gue boleh ikut lihat?" tanya Vanda lagi kepada teman lainnya. "Penuh, coba ke yang lain aja lah."

Cewek itu menghela napas panjang dengan membawa buku kosong tanpa jawaban di permukaan kertasnya. Kini ia merutuki diri karena lalai tak mengerjakan tugas semalam. Vanda masih berusaha mencari. Sementara di sisi lain, Dhava melihat itu tidak mungkin hanya diam mematung di tempat. Cowok itu menepuk pundak Adrian. "Udah selesai nulis kan lo?"

"Udah."

"Mana buku gue?"

"Di Arul."

"Ambil."

"Dipinjem."

"Ambil. Kasih ke Vanda."

"Iye, iye." Adrian berdiri dari duduknya. Menghampiri Arul yang meminjam buku milik Dhava lalu mengambil alih secara paksa membuat Arul mengumpat dan menyerahkan kembali kepada pemilik. Dhava berdiri dari duduknya menghampiri Vanda, cewek itu terlihat berdiri di samping kumpulan anak-anak dan menulis jawaban seraya berdiri. Dhava meletakkan buku tulis miliknya di atas buku tulis Vanda. "Nih, punya gue."

Vanda menoleh. "Ng-nggak. Nggak usah."

"Dari pada lo harus berdiri."

"Nggak apa."

"Ambil aja. Lo tulis di bangku. Jangan berdiri gitu." Dhava masih terus menyodorkan buku kepada Vanda saat cewek itu juga terus menyodorkan buku ke Dhava. Tidak mau menerima niat baik Dhava. Terus seperti itu hingga Adrian datang dari arah belakang Dhava. "Mau pake punya gue, Van? Banyak lho jawabannya, nanti bel istirahat harus dikumpul jadi satu."

Cewek bersurai panjang itu menatap Adrian. Kembali mendorong uluran buku Dhava dan beralih mengambil buku tulis milik Adrian. "Gue pinjam punya lo aja. Gue pinjam dulu ya, Adrian. Thanks."

Adrian langsung merangkul Dhava yang sudah melempar tatapan tajam. Dhava hendak menepis rangkulan Adrian, akan tetapi Adrian menahan tangan. "Dari pada debat mulu, kagak kelar-kelar. Sini-sini duduk, gue jelasin maksut gue. Jangan maen emosi."

"Apa maksut lo?" tuduh Dhava di tempat duduk.

"Biarlah dia pinjam gue dulu. Ntar nih, waktu istirahat Vanda belum kelar nulis. Lo ambil kesempatan buat bantu dia, lo bantu nulisnya gitu. Paham nggak"

"Buktinya aja tadi dia nggak mau banget nerima punya lo, dari pada debat mulu. Keburu ada guru dateng. Tenang kali. Nggak akan gue tikung. Gue dukung sepenuhnya lo sama Vanda." Adrian memainkan kedua garis alis matanya naik dan turun. "Ya, menurut lo gitu. Kalau Vanda udah selesai gimana? Gue gampar." Dhava dengan wajah dingin dan juteknya memberi ancaman kepada Adrian.

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang