'madhava; 20'

97 6 0
                                    


HAL yang membuat murid senang selain bel pulang sekolah ialah bel istirahat. Di mana mereka semua diperbolehkan keluar kelas dengan tujuan apa pun, akan tetapi 9 dari 10 siswa di sekolah akan memilih untuk mengisi perut mereka di kantin, luar kelas, atau hanya dalam kelas. Berbeda dengan Vanda, cewek yang hari ini memilih menguncir sebagian rambutnya dan meyisakan anak rambut pada bagian kanan dan kiri pelipisnya, memilih tujuan berbeda dengan siswa- siswi lain saat istirahat kali ini. Pergi menuju perpustakaan untuk meminjam kamus bahasa.

Vanda berjalan di depan deretan kelas 12 bersama Jenta. Tahu helaan napas panjang, kan? Itu hal yang dilakukan Vanda sepanjang perjalanan. Sementara Jenta pun sibuk pula dengan matanya yang mengamati suasana sekolah istirahat ini. Bertepatan bel istirahat meraung sepenjuru sekolah, Dhava. Ya, Dhava. Cowok jangkung itu melangkah meninggalkan kelas dengan buru-buru, seperti khawatir dan ingin segera menemui seseorang.

"Lo nggak minat pinjam novel, Van."

Vanda menggeleng.

Dua pasang kaki berjalan menapaki setiap anak tangga perpustakaan. Jenta mengernyit bingung, sejak keluar dari kelas, cewek itu banyak diamnya dan melamun. Ya, memang Vanda tidak begitu banyak bicara, akan tetapi kali ini lebih dari itu. Jika dilontarkan pertanyaan, hanya gelengan dan anggukan dilakukan Vanda.

"Lo kenapa sih, Van?" tanya Jenta. Cewek itu berada di deretan rak novel. Sedangkan Vanda berdiri di deretan rak buku bahasa dekat jendela yang menampilkan lapangan basket yang bersampingan dengan taman sekolah. Bukannya mencari, Vanda diam seraya bersandar di samping rak. Menatap aktivitas di lapangan dan taman.

"Dhava?" monolog Vanda.

Raut badan Madhava Catra Airlangga tertangkap dalam kedua netra coklat Vanda. Berjalan di pinggir taman rindang karena beberapa pohon berjejer di sana. Tidak seorang diri, ada raut badan lain Vanda temui. Berjalan mundur karena menghadap Dhava. Cewek itu seperti terlihat bercerita dengan tangan merentang lebar menggambarkan sesuatu. Rambut tergerai indah, bando pink polkadot putih tersemat di kepala. Vanda jadi memiliki jawaban atas terkaannya beberapa menit lalu.

"Oh, lo buru-buru untuk ketemu sama cewek itu?" menolognya. Jika ada yang bertanya bagaimana perasaan Vanda saat ini, lebih baik jangan bertanya. Vanda sendiri tidak dapat menjabarkannya. Hanya diam terus memperhatikan.


       ─màdhavaňdá─

Dhava, hari ini aku udah masuk. Istirahat ku ke kelasmu. See you ...

Sial. Dhava jadi teringat beberapa hari lalu Rebecca mengumumkan bila ia diperbolehkan sekolah secara normal oleh kedua orang tuanya, asalkan selalu berada dalam jangkauan Dhava. Juga mengenai papa Rebecca kembali mengungkit tanggung jawabnya agar ia kembali menjalankan perintah sekaligus janji.

Berdentingnya bel istirahat. Adrian mengernyitkan kulit dahi dan menyerukan nama Dhava. Ingin menanyakan akan kemana cowok itu pergi sekaligus mengapa nampak sekali terlihat buru-buru.

Di sisi lain, Dhava menghentikan langkah penuh keterburu-buruan itu tatkala wujud Rebecca Syinevaz ia dapati. Menghela napas panjang untuk kembali melanjutkan langkah mendekat ke arah Rebecca. Berbeda dengan Dhava, tak terbantah sekali bagaimana raut Rebecca saat ini. Senang, senang sekali bisa satu tempat belajar bersama Dhava. Akan ada lebih banyak waktu untuk berdua.

"Aaaa, dong."

Rerumputan taman menjadi pijakan kedua kaki Rebecca, begitu pula dengan Dhava. Rebecca duduk di samping Dhava, di sebuah bangku taman. Sepertinya jika di rangkum akan menjadi buku karena seberapa banyak cerita telah Rebecca ceritakan sejak tadi. Dhava hanya menjadi pendengar yang baik.

"Kenapa malah kamu yang keluar? Kan, aku yang mau ke kelas kamu."

"Nggak apa. Lagi ada anak-anak ngerjain tugas, takut ganggu."

"Besok-besok boleh, kan?"

"Apa?"

"Ke kelas kamu."

"Jangan."

"Ih, Kenapa?"

"Jangan aja."

"Terus?"

Dhava meperhatikan Rebecca, cewek itu memberengut sebal, akan tetapi juga masih saja memasukkan sendok demi sendok es krim ke dalam mulutnya.

Bangkit dari duduknya. Dhava menyusuri jalan setapak diikuti Rebecca berjalan mundur karena menghadapnya. "Kasih dong alasan yang jelas, Dhava. Kamu mah selalu gitu, larang-larang aku tanpa alasan jelas." Rebecca membuang wadah es krim di tong sampah kemudian merentangkan kedua tangan lebar, meregangkan otot-otot.

"Gue yang ke kelas lo," final Dhava.

Rebecca berbalik badan. Kembali berjalan dengan posisi benar. Cewek itu beralih merngkul Dhava dari samping, menyandarkan kepala di bahu cewok itu. "Ku sayang kamu."

"Tahu."

"Kamu?"

"Juga." Dhava menjawabnya dengan malas. Membiarkan Rebecca bergelantungan di lengannya lalu berjalan berdua. Mengantar Rebecca menuju kelasnya.




TBC. Tinggalkan jejak_
untuk kamu; terima kasih sudah membaca





Arqastic

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang