TIDAK ada gerak dari Vanda. Bukan ia tidak mau membela, akan tetapi menuduh atau hingga marah tidak jelas bukan akan memperbaiki. Mungkin, semakin rumit terkaan dalam kepala ini. Berusaha tidak terlalu memusingkan hal ini. Isi dalam kepala terus Vanda ajak untuk berpikir positif. Mungkin saja cewek itu adik pungut Dhava, tetangga, atau apa pun terserah.
Meski kini sudah merujuk pada jam istirahat ke dua, kantin masih dalam kondisi ramai. Siswa siswi beragama islam usai menjalankan ibadah di masjid, kebanyakan akan berlari menuju kantin sebab jaraknya tidak begitu jauh. Vanda mengambil duduk di meja kantin dekat pintu. Di ikuti Adrian dan Jenta.
"Jadi, lo juga nggak tahu?"
"Nggak." Vanda menggeleng. "Lo kan temennya."
"Walaupun temen, sahabat, sampe kalau kenyataan bilang gue bokap tirinya Dhava. Nggak akan tuh anak berubah, tetep jadi manusia tertutup. Jarang cerita masalah pribadinya. Selalu simpen sendiri." Adrian menarik satu ciki di atas meja untuk ia suap. "Lo, Jen?"
"Ya, apa lagi gue. Gimana sih lo, Yan!" Jenta memutar bola matanya malas. Memilih merosokkan kepala di atas meja kantin dan fokus pada ponsel pintar. Entahlah, hari ini Jenta nampak sekali tak memiliki semangat hidup. Selalu lemah letih tanpa tenaga.
"Gue bantu cari tahu."
"Kenapa?"
"Gue garis keras lo berdua."
"Iya gitu?"
"Pasti. Tenang. Tunggu. Keep calm, kawan."
"Serah, deh, Ndri. Gue juga nggak begitu peduli."
"Kenapa?"
"Gue percaya Dhava."
Salah satu sifat buruk Vanda perlu kalian ketahui. Selalu mempercayai orang dekatnya. Catat, hanya orang dekat. Mau berbuat seburuk apa orang itu kepada Vanda ketika ia tahu tidak dari mata sendiri melainkan dari omongan orang lain, ia tak akan percaya. Hal itu tak lantas membuatnya percaya jika tidak tokoh utamnya yang menerengkan kejadian sebetulnya. Baik ia mengarang atau berkata jujur, asalkan mendengar langsung dari sang empu, Vanda seketika mengangguk setuju dan mempercayainya.
Adrian berpindah duduk di samping Vanda. Menawari cewek itu ciki di tangan dengan paksaan. Membuat Vanda mengernyit heran akan perilaku Adrian. Vanda mendorong bahu cowok itu saat Adrian terus memutus jarak antaranya. Mendepetkan bahu ke bahu Vanda. Ketika Vanda bersikeras mendorong Adrian, bersamaan dengan itu ia mendapat Dhava masih bersama cewek lain hendak memasuki kantin.
Vanda berbalik badan. Menggeser letak bokongnya ke mendekati Adrian, memutus jarak seperti yang Adrian lakuka kepadanya tadi. "Gue janji kok."
"Apa sih?"
"Cari tahu soal mereka."
Terserah apa kata Adrian. Sampai di apertemen Dhava, cewek itu meletakkan sepasang sepatu di rak dengan tatanan rapi. Pulang tadi, Vanda tak langsung pulang. Harus menyelesaikan tugas kelompok di kelas bersama teman lain. Dhava memilih menunggu. Namun, tanpa diketahui cewek itu. Dhava tidak menunggu begitu saja di sekolah, akan tetapi memanfaatkan waktu yang ada untuk mengabtar Rebecca pulang. Kembali ke sekolah menjemput Vanda kemudian.
Mengenakan pakaian rumahan, Vanda keluar dari kamar langsung mendapati Dhava berkutik di dapur.
"Lagi apa?"
"Makan. Lo juga? Kita makan bareng."
"Udah."
"Di mana?"
"Kantin. Sama Jenta sama Adrian. Karena ada urusan sama temen baru lo itu waktu istirahat, kan? Jadinya telat makan," tanya Vanda.
─màdhavaňdá─
Suara adzan maghrib telah memenuhi suasana sore ini. Langit mulai menyemburkan warna barunya yang lebih gelap. Seorang anak laki-laki berusaha membuka gerbang dengan kekuatannya sendiri tanpa dibantu. Anak laki-laki itu mendapati kakaknya sedang berdiri di dekat ring basket. Menatapnya dengan sengit. Dhava kecil kala itu tersenyum kepada sang Kakak. "Masuk yuk, Bang. Udah maghrib. Sholat sama Papa, pasti papa sama mama udah nunggu kita."
"Udah selesai anterin Becca? Ha?"
"U-udah."
Bugh
Bola basket yang awalnya tenang di himpitan lengan anak laki-laki berkaos lekbong tersebut seketika meluncur keras mengenai perut Dhava. Cukup keras hingga membuat Dhava meringis sakit.
"Cakra!"
Peringatan dari ibu membuat Cakra kecil menoleh cepat. Lia, ibu Cakra dan Dhava datang dari pintu garasi. "Ma! Dhava nggak mau ngalah sama aku. Kan tadi aku yang mau antar Becca pulang. Pas Dhava baru datang les, Becca terus mintanya di antar pulang sama Dhava, nggak mau sama aku!" jelas Cakra dengan nada yang terkesan membentak. Dia cemburu.
"Masalah itu aja? Besok kan bisa main lagi sama Becca, Cakra. Minta maaf sama Dhava sekarang."
"Nggak. Dhava suka rebut Becca dari Cakra. Cakra nggak mau minta maaf. Mama sama papa juga lebih sayang sama Dhava. Cakra yang sayang cuma Bi Iyem." Cakra mendekati Dhava yang terduduk seraya memegang perutnya. Bukan untuk menolong, melainkan menendang kaki Dhava kencang lalu berlari memasuki rumah, tidak lupa menutup pintu kencang hingga menimbulkan bunyi.
"M-maaf, Bang Cakra!"
Kepingan kisah masa lalu Cakra dapatkan berkelebat di kepala tiba-tiba. Di mana ketika ia terbakar diri sebab melihat Becca lebih memilih di antara Dhava kala itu dibanding dengannya. Dan, Dhava pun tidak menolak atau memilih mengalihkan Becca ke dirinya.
Catat. Cakra memang egois.
Cakra ikut duduk di bangku kosong sebelah Rebecca seraya mengulurkan tangan untuk menyerahkan es krim greentea kesukaan Rebecca. Semilir angin sore menerpa wajah keduanya. Memeluk wajah mereka dengan lembut. Suasana taman yang ramai otomatis menarik kedua sudut bibir Rebecca, menatap anak-anak kecil yang berlari riang dengan tawa tanpa beban. Mereka belum merasakan kejamnya dunia orang dewasa. "Becca ..."
"Apa, Cakra?"
"Suka es krimnya?" tanya Cakra. Rebecca menoleh dan mengangguk. Kembali membawa lidahnya menjulur menyentuh es krim itu.
Sementara Rebecca sibuk memperhatikan suasan taman. Cakra sibuk menatap Rebecca dari samping. "Kalau es krim aja lo cuekin bisa leleh, gue lo cuekin bisa lelah." Kata-kata itu terdengar seperti candaan, namun Rebecca merasa tersindir dengan hal itu.
TBC. Tinggalkan jejak_
untuk kamu; terima kasih sudah membaca
Arqastic

KAMU SEDANG MEMBACA
MADHAVA
Teen Fiction[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Madhava Catra Airlangga adalah cowok pendiam yang non ekspresif, namun berhasil menyabet kedudukan sebagai kapten basket. Ceritanya ia jatuh cinta diam-diam pada cewek tomboy dan galak. Vandana Dineschara sudah merebut hat...