KORIDOR masih dan selalu seperti hari-hari biasanya ketika pagi. Sorak-sorai mulut saling bersahutan. Ada yang saling menyapa satu-sama lain sudah seperti tidak bertemu lama, kemudian di sisi lain juga terdengar sorai heboh cowok-cowok brandalan sekolah, seperti; menggoda cewek-cewek, sibuk bertanya tugas sekolah, hingga seluk beluk hal di muka bumi pun menjadi pembahasan.
Tiba-tiba sorai itu kian keras merasuk menembus daun telinga. Vanda bersamaan dengan itu melewati perkumpulan tersebut, hanya melirik dengan malas. Langkah kaki berbalut sepatu converse hitam yang telah lusuh itu terhenti begitu seorang lelaki mendapat dorongan dari teman-temannya yang heboh tersebut. "Hai," sapanya.
"Vanda, Vanda. Sangga mau confess lo, tuh."
Teriakan lelaki kribo hitam mengundang banyak atensi orang-orang untuk melihat atau hanya lewat tanpa singgah. Sangga Mahardika cukup mampu mengambil banyak mata dengan kebaradaan wujudnya, tidak begitu tampan tapi cukup bisa mengambil perhatian. Baik karena gombalan rese juga ulahnya di sekolah. Bukan cowok pendiam, tetapi tengil. Bukan cowok sederhana, tapi banyak gaya. Satu lagi, bukan cowok setia, tapi cowok dengan seribu gombalan dan kebiasaan bergonta-ganti pasangan.
Vanda masih diam saja. Menunggu apa maksut sebenarnya cowok itu dari mulutnya sendiri, bukan mulut orang lain. Seperti biasa, Vanda dengan muka judes, tetapi jika sudah mengenalnya, tidak seperti itu. Lemparan buket bunga di tangkap oleh Sangga. Cowok itu setengah berjongkok di depan Vanda, sebagaimana mestinya seorang cowok tengah menyatakan perasaan kepada cewek. "Gimana, Van? Lo milik gue sekarang, yes or no?"
Vanda memutar bola matanya malas melihat buaya ini sedang melakukan aksi untuk menjadikan dirinya sebagai sasaran berikutnya. Jangan harap itu bisa terjadi. Vanda hanya menampakkan wajah datar tanpa ekspresi. "Sorry. Gue nggak bisa."
Vanda akan membawa kedua tungkainya melangkah pergi dari sana. Namun, Sangga segera mengapit tangannya di lengan Vanda. Membuat cewek itu terpaksa menghentikan jalannya dan kembali berbalik. "Apa?"
"Lo nolak gue?" Sangga tak percaya.
"Lo paham."
"Kenapa?"
"Kita nggak pernah kenal, cuma tahu."
"Nggak jadi masalah, kan? Why not?"
"Masalahnya digue."
"Apa coba?"
"Gue nggak semudah cewek lain yang bisa lo mainin. Bisa masuk dalam daftar mantan sampah lo itu. Gue bukan mereka, gue juga bukan tipe orang yang main-main soal hubungan. Lo salah orang." Vanda memberi penjelasan.
"Gue tobat. Selesai."
"Ada banyak cewek, kok, tapi bukan gue."
"Gue tanya lagi. Yes or no?"
"Lo tahu, Sangga. Maaf."
"Jual mahal banget lo jadi cewek."
Kembali diam tidak ada gubrisan dari Vanda akan celotehan dari cowok itu kepadanya. Bukannya tidak mau melempar balasan, akan tetapi ia ingin mendengarkan sampai selesai apa saja hal yang akan dikatakan Sangga. "Tinggal jadi pacar gue, ribet banget. Sebelumnya, nggak ada yang bisa nolak gue. Cuma lo cewe sok dikejar." Sangga masih memaksa. Cengkraman tangan ia lakukan kepada Vanda, membuat sang empu memaksa untuk terlepas dari cengkraman itu. Namun, bukan terlepas malah semakin kuat.
"Oh, gue tahu. Lo sok jual mahal supaya kesannya tuh lo yang paling di kejar sama cowok-cowok gitu? Termasuk sama Dhava, kan? Bitch, ya ... lo ternyata?" ledeknya. Gelora tawa meledak dari teman-teman Sangga.
Cewek ini adalah satu-satunya manusia yang bisa menolak pesona Sangga. Jangankan Sangga, Dhava yang notabene lebih di atas dirinya saja ditolak. Sangga tidak habis pikir dengan cewek ini. Vanda semakin menatap tajam cowok di hadapan setelah melontarkan ucapan menohok. Hal itu membuat para siswa atau siswi yang menonton keduanya, spontan dibuat melongo dengan apa yang Sangga lontarkan dari mulutnya. "Iya, nggak, Van? Diam aja, nih."

KAMU SEDANG MEMBACA
MADHAVA
Teen Fiction[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Madhava Catra Airlangga adalah cowok pendiam yang non ekspresif, namun berhasil menyabet kedudukan sebagai kapten basket. Ceritanya ia jatuh cinta diam-diam pada cewek tomboy dan galak. Vandana Dineschara sudah merebut hat...