'madhava; 23'

75 5 0
                                    

LENGGANGNYA kota bandung pagi hari meleluasakan Dhava menyusuri jalan raya pagi ini. Langit menyelimuti setiap insan pengendara bermotor dengan angin pagi bertemperatur tidak stabil, beberapa kali Vanda memberi gesekan cepat pada kedua telapak tangan guna menciptakan kehangatan. Di satu sisi, Dhava melirik cermin spion motornya. Cowok itu membiarkan kendali motor tak berada dalam genggaman, melainkan dengan gerakan cepat menegakkan badan. Mengambil alih dua telapak tangan Vanda. Ia selundupkan telapak tangan cewek itu dalam saku jaket.

Cewek itu? Hanya diam menetapkan garis pandangnya pada jalanan. Sejak menuruni lift apertemen lalu berjalan menuju basement dan menaiki kuda besi berdua sepanjang perjalanan, tidak ada ujaran lolos dari dua lisan insan yang sama-sama menyimpan sesuatu dalam kepala masing-masing itu.

Sekadar ramainya koridor sekolah menjadi pengiring jalan Vanda maupun Dhava. Anak muda laki-laki berjalan di belakang Vanda, sesekali membawa tangan di belakang punggung Vanda atau merangkul cewek itu kala beberapa siswa berlari dari arah berlawanan membawa bola untuk pergi ke lapangan. Entah harus bagaimana memulai obrolan. Tuhan nyaris sama menciptakan sikap Madhava Catra Airlangga dengan yang katanya kekasihnya selaku Vandana Dineschara.

Dua insan keras kepala.

Dua insan bertembok tinggi oleh gengsi.

Dua insan paling malas mencari topik jika tak ada hal penting. Maka lebih baik diam apa pun keadaan.

Dan, dua insan paling apatis.

Kegiatan membosankan dalam hidup, salah satunya adalah diam dibangku kelas dan mendengarkan meski tidak dengan seksama guru sedang bercerita. Bagus jika cerita itu seru atau lucu, jika garing dan sepi, otomatis mendapatkan bintang satu. Jalan terbaik; diam-diam bermain hp di loker, mencoret abstrak pada halaman akhir buku tulis, dan keputusan paling baik bagi penduduk bangku dekat dinding atau pojok dan belakang kelas adalah memilih tidur diam-diam.

Keputusan ke tiga menjadi pilihan terbaik bagi Vanda. Cewek itu membawa kepalanya merosok di atas meja lalu mulai menetralkan deru napas. Melayang bebas ke alam mimpi secara tenang dan damai.

Pletakk

Penghapus papan tulis menghantam meja Vanda. Tidak sampai mengenai kepala. Jenta berada di sebelah Vanda ikut genting. Sebenarnya tak hanya Jenta, satu kelas. Seluruhnya yang bermain ponsel diam-diam, berbicara sendiri, hingga terlelap oleh bunga tidur terkejut sebab guru paruh baya itu tiba-tiba mengeluarkan peringatan beserta nada tinggi. Jelas itu mengejutkan. Vanda satu-satunya manusia yang kini menjadi sasaran guru sebab semata wayang yang belum bangun. Terciduk tidak memperhatikan beliau bercerita.

Terkesiap bukan akan lemparan penghapus papan tulis, akan tetapi dengan tendangan Jenta di bawah meja. Cewek itu terbangun. "Keluar kamu dari kelas! Bukannya mendengar, asyik tidur. Cuci muka sampai merasa tidak ngantuk, baru boleh kembali ke kelas!"

Tanpa penolakan. Vanda keluar dari ruangan kelas, kepergiannya tidak luput dari garis pandang Dhava.

"Ck. Ngantukkk," keluhnya.

Berjalan lunglai sepanjang jalan. Suasana sepi hanya terdengar ramai dari lapangan. Kelas XI melaksanakan olah raga pagi. Tidak ada pilihan lain karena ia malas menyentuh air saat ini, Vanda memilih duduk di depan lab kimia yang mana berhadapan langsung dengan lapangan sepak bola. Menyandarkan tubuh lemas kemudian melingkarkan tangan di depan perut.

Rasa cemas kembali menghantam kala sebuah kenyataan pahit merasuki hidupnya. Kadang ia berpikir, bagaimana hiduya ke depan? Apakah Vanda harus menjadi single mother untuk anak tak bersalah ini? Apakah dosa besarnya hingga mendapat ujian seberat ini? Juga bagaimana nasibnya ke depan, sebab tidak mungkin Vanda tetap pergi ke sekolah dengan keadaan perut buncit. Sungguh mustahil.

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang