MENELAN mentah-mentah kenyataan pahit dalam hidup memang tidak mudah. Bahkan, kenyataan pahit dalam hidup adalah hal yang mustahil untuk kita hindari dengan cara apa pun. Bukan mengeluh yang musti dilakukan, mungkin dengan cara menikmatinya adalah solusi baik. Walaupun bukan terbaik. Dan, siang usai kejadian gudang. Vanda dan Dhava kembali tak memiliki komunikasi sampai malam ini. Vanda pergi begitu saja tadi siang dari hadapan Dhava hanya melempar kalimat 'gue ke kelas duluan', itu saja. Respon Dhava tidak ditemukan. Hanya diam membiarkan Vanda melenggang jauh.
"Brengsek!" umpat Dhava lantang. Kepalan jari-jemari tangan kanan menerjang tumpukan bangku di depannya hingga ambruk. Menggemakan suara keras barang-barang yang mana berlomba jatuh menghampiri lantai. Tak hanya satu dua kali. Berkali-kali melakukan hal sama. Sampai warna membiru serta baretan merah singgah di atas kulit tangan. Tidak peduli sama sekali, dalam rungan sepi itu hanya ada Dhava beserta amarahnya yang meluap hebat.
Pintu apartemen terbuka usai menekan beberapa angka pin di pintu ia lakukan. Masuk ke dalam apartemen penuh remang-remang sebab hanya ada sedikit cahaya di sini.
Wujud perempuan bercepol tak beraturan duduk membelakangi ia tangkap di depan mata. Melamun di sana tanpa ada pergerakan atau kesadaran akan kehadirannya di tempat ini. Langkah cepat untuk mendekat, Dhava berlutut di depan Vanda.
"Van." Panggilanya lirih.
"Stay here, please!"
Saat Vanda memejamkan mata, air matanya kembali bercucuran. Menangkup wajah menggunakan kedua telapak tangannya. Tidak tahu harus melakukan apa. Namun, satu hal terlintas dalam kepala Dhava hanya untuk memeluk erat Vanda. Beranjak dari posisi berlurut untuk duduk di samping Vanda. Guna mengambil posisi nyaman memeluk cewek di hadapannya.
Sesak dan rasa sakit itu saling menghantam keras dada Dhava. Semakin memeluk Vanda, kesakitan makin mereka rasakan.
Yang merasakan, bukan hanya Dhava.
Dhava mengeratkan peluk, tak peduli bagaimana sakitnya. Serta menyapu halus kepala Vanda malam itu. Saling membawa mata terpejam untuk menikmati rasa sakit ini sampai membawa pula mereka berdua tenggelam jauh dalam tidur.
Kembali mengingat, maka rasa sakit kembali datang. Mencoba melupakan, maka rasa sakit kembali datang. Dan, kembali bersitatap, maka rasa sakit itu lagi-lagi kembali datang. Bukan hanya bahagia harus dinikmati, melainkan luka juga harus dinikmati meski menyakitkan yang akan di dapat bukan ketenangan.
Berjalannya jam dinding hingga pagi. Dhava dan Vanda hanya sesekali melempar tatap disela-sela sarapan pagi dengan roti bakar buatan Dhava. Cukup lama sibuk bergulat dalam pikiran, Vanda bersuara. "Gue jalanin hubungan ini tuh banyak sakitnya, tapi kalau nyelesaiin hubungan ini pun nggak ada bahagianya, masih tetap sakit karena nggak sama lo."
"Ya, jangan pergi."
─màdhavaňdá─
Seluruh pasang mata mengalihkan atensi ke ambang pintu kelas. Mendapati cewek berambut hitam legam dengan model rambut Waterfall Braid berjalan memasuki kelas lebih jauh beserta tatapan angkuh. Terus melangkah ke depan sampai pada bangku Dhava.
Adrian bangkit dari duduk. Tanpa pamit kepada teman sebangkunya, Dhava, ia langsung keluar kelas. Melewati Rebecca serta tatapan sinis ia arahkan secara langsung pada cewek menyebalkan ini. "Thanks, Adrian."
"Bukan buat lo. Gue cuma nggak mau deket sama nenek lampir," kata Adrian cepat. Dan segera berlari keluar kelas. Selain malas lama-lama meladeni cewek sarap ini, ia juga menghindari pukulan Rebecca. Berdecak kesal sampai menghentakkan kaki kesal.
"Dhavaaa," rengek Becca pada cowok yang tengah serius berfokus pada buku serta rentetan soal di atas beberapa lembaran kertas. "Apa?" jawab Dhava cuek.
"Ck. Kamu nih diem aja." Kotak bekal kombinasi warna kuning dan army Rebecca letakkan sedikit kasar lantaran masih menaruh kesal pada Adrian, cowok kunyuk super menyebalkan. "Nih, ku bawain bekal. Ada nasi goreng sama udang rebus. Suka udang rebus, kan? Aku masih inget banget."
"Lain kali nggak usah." Dhava kali ini menatap Becca. Mengalihkan titik pusat matanya yang semula hanya untuk latihan-latihan soal kini kepada Rebecca. "Nggak, nggak repotin kok kalau kamu merasa aku kerepotan bawa kamu bekal. Malah setiap hari aku mau buat kamu. Dengan senang hati. Sumpah, deh."
Tidak ada lagi perasaan kesal. Rebecca nyengir lebar menatap Dhava. Sekaligus mengangkat tangan membentuk inisial V mempergunakan jari telunjuk dan jari tengah. Rebecca dengan semangat 45 membuka kotak bekal. Mulai menumpukkan setiap butir nasi di atas sendok lalu menyuapkan angkutan nasi itu ke dalam mulut Dhava. Sesekali mengusap sudut bibir Dhava yang berminyak atau ada nasi di sana.
Tidak hanya Dhava. Rebecca juga mengangantarkan angkutan nasi di atas sendok ke dalam mulutnya sendiri. Pejaman mata karena perasaan yang malas dan muak menjadi satu Dhava lakukan, terlebih lagi saat Rebecca memaparkan kalimat, "em, by the way kalau ku makan pake sendok ini. Otomatis kita ciuman dong. Secara nggak langsung gitu, kan?" Begitu kiranya. Dilanjut tawa kecil.
"Iya."
Bukan. Bukan untuk menyetujui maksut Rebecca. Dhava menjawab demikian hanya untuk mempercepat dan mempersingkat dialog mereka berdua. Sejujurnya Dhava juga tidak menyetujui hal itu. Semakin kesini, Rebecca yang ia kenal dulu sungguh berbeda. Entah ini hanya perasaannya saja atau memang benar berubah. Madhava Catra Airlangga tak menyukai Rebecca Syinevaz dalam versi yang sekarang bersamanya. Sungguh.
"Aku, aku ke kelas dulu ya. Bye.. see you."
Melihat kedatangan Vanda dengan tumpukan buku dalam dekapan menarik Rebecca untuk bangkit dari duduknya. Berkedok pamit untuk kembali ke kelas, padahal ada misi akan ia jalankan. Sesuai usulan opini dari sahabatnya, Cakra. "Hai, Van!"
Setengah berlari. Rebecca berpura-pura sedang terburu-buru keluar kelas. Akan tetapi ... suara buku berhamburan di lantai menjadi pusat panca indera penglihatan sebagian manusia dalam kelas. "Ah, sorry. Maaf banget, ya. Nggak sengaja," ungkap Rebecca penuh penyesalan usai tak sengaja menghantamkan bahunya ke bahu Vanda. Ah, ralat. Dengan sengaja, bukan tidak sengaja.
Untung saja tidak sampai terhuyunng ke lantai. Vanda masih mampu menyimpan keseimbangan tubuhnya. Bukan lebay, akan tetapi aksi Rebecca bukan terbilang pelan. Cukup kasar dan kentara bila hal itu disengaja. Catat lagi, bukan tidak sengaja.
Jari-jemari Rebecca menarik cepat tangan Vanda di depan perutnya. Cukup memaksa. "Ngapain tangan kamu depan perut?" tanyanya sedikit kencang.
"Kenapa?! Aneh banget. Hamil kamu? Takut debaynya kenapa-kenapa, maka dari itu kamu langsung pegang perut? Iya, kan? Jangan ngelak, deh. Basi!" Nada bicara Rebecca mulai tidak santai. Emosi mulai naik ke atas permukaan. Sungguh mustahil untuk Vanda tidak panik dalam posisi seperti itu. Tidak ada pilihan lain selain melangkah pergi dari sana.
"Kamu pergi? Karena takut, kan? Takut kehamilan kamu kebongkar. Dasaaaar. Awas aja, aku nggak takut hancurin hidup kamu," teriak Rebecca. Bisikan mulut ke mulut mulai terjadi di kelas. Dhava berdiri dari duduknya mengahmpiri Rebecca di depan. Sudah seperti hilang kewarasan. "Vanda lagi datang bulan. Wajar kalau dia spontan pegang perut," katanya tegas.
"Dhav, percaya sama aku. Aku yakin dia hamil. Dia cewek nggak benar. Jelas lebih baik aku dari pada dia."
"Orang yang baik nggak butuh persetujuan orang lain kalau memang dia baik. Orang lain akan tahu dengan sendirinya."
"Dhava! Dengerin aku!"
"Buat lo semua di kelas. Jangan buat berita nggak bener ini ke sebar orang lain. Pake otak sebelum ngomong," kata Dhava dengan lirikan menuju Rebecca pada kalimat terakhirnya.
"Ih, Dhavaaaa. Kamu bakal nyesel nggak percaya ucapanku."
Di sana, Rebecca masih dalam pendiriannya sedang berusaha menyakinkan Dhava. Tidak ada lagi yang Dhava lakukan selain meninggalkan Rebecca dan kembali ke bangkunya. Meninggalkan tanda tanya besar dalam kepala beberapa siswa siswi dalam kelas.
Rebecca mengira hanya ia yang tahu Vanda hamil. Nyatanya.. tidak!
TBC. Tinggalkan jejak_
untuk kamu; terima kasih sudah membacaArqastic
KAMU SEDANG MEMBACA
MADHAVA
Dla nastolatków[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Madhava Catra Airlangga adalah cowok pendiam yang non ekspresif, namun berhasil menyabet kedudukan sebagai kapten basket. Ceritanya ia jatuh cinta diam-diam pada cewek tomboy dan galak. Vandana Dineschara sudah merebut hat...