'madhava; 52'

59 5 0
                                    

MENGINJAK hari ke-15 nama Madhava Catra Airlangga selalu terisi dengan huruf 's' pada kolom keterangan absensi kelas. Alasan melakukan itu saat peristiwa rumah tua terjadi, pada hari ke-16 wujudnya sudah kembali nampak di sekolah. Masih sama seperti sebelumnya, berjalan berdua bersama Adrian. Sudah hampir 6 tahun Dhava mengenal Adrian. Terlalu egois rasanya apabila Dhava tak menceritakan kejadian beberapa waktu lalu, secara menyeluruh juga termasuk tentang Kafka. Kesal bukan main Adrian tatkala kedua telinganya mendengar penjelasan Dhava. Tidak menyangka apabila Cakra berbuat senekat itu. Yang ia tahu, kini Cakra sudah resmi menjadi tahanan tanpa ada keringanan, itu semua atas kemanuan Kakek. Perihal keadaan Vanda, tidak sedikit pun Dhava ungkap mengenai hal itu. Adrian sebatas tahu mereka masih baik-baik saja dan hanya ada sedikit problem.

"Yakin lo?"

"Iya."

"Kondisi lo juga penting."

"Gue baik-baik aja."

Lama tidak mengenakan jersey basket, sore sepulang sekolah tidak langsung pergi ke rumah. Melainkan memilih menghabiskan waktu untuk latihan. Rasanya untuk saat ini, selain mencoba menyibukkan diri dengan hal yang ia suka seperti bermain basket atau menjajah habis buku pelajaran sekolah, tidak ada lagi tempat untuk ia bisa merasa senang. Lemparan botol air mineral dari Adrian diterima cepat oleh Dhava. Cowok itu pun meneguk air di dalam botol hingga tersisa setengah. Tiba-tiba saja dadanya terasa sesak, segera ia jauhkan botol itu dari jangkauan mulutnya. Memejamkan mata sejenak untuk mengumpulkan pasokan udara. Tidak pernah tidak, selalu ketika kepalanya mengingat Vanda, perasaan sesak itu mendatanginya.

Sepulang dari sekolah, salah satu rumah yang ia rindukan kembali didatangi oleh Dhava. Semesta seperti sudah berencana. Dari pinggir jalan didapatkannya wujud Vanda berjalan seorang diri, mengenakan jaket coach coklat seraya memperhatikan bawah dan menendang-nendang pelan kerikil yang dilewatinya. Sama sekali tidak menyadari keberadaan Dhava di depan rumahnya. Sampai tinggallah beberapa langkah Vanda mendongak membuatnya terdiam beberapa saat. Menemukan wujud Dhava tepat di depannya. Keduanya hanya diam, lalu yang terjadi selanjutnya hanyalah Vanda berlalu membuka pintu pagar seraya mengucap, "Permisi."

"Van."

"Kenapa?"

"Gue di sini lho."

"Gue nggak mau ketemu sama lo. Lo paham kan?"

"Ya, tapi alasan yang lo beri masih kurang jelas bagi gue. Lalu, malam itu ketika gue peluk lo, kenapa lo juga peluk gue? Dan besok sorenya tiba-tiba lo berubah. Apa yang mau lo maksut, Van? Gue bukan peramal yang bisa tebak isi hati lo, bisa tebak pikiran lo, bisa tebak apa mau lo. Gue nggak bisa."

Sepenuhnya Vanda menghadap Dhava, ia menatap lekat Dhava. Tatapan lekat dari cewek itu seolah semakin menarik keduanya untuk terjerumus lebih dalam ke dalam perasaan yang memang masih ada, namun perasaan itu berusaha untuk ditepis keberadaannya. "Gini ya, Dhav. Awal mula masalah ini cuma tentang Cakra ke gue, yang ternyata masalah itu bukan tentang gue tapi hanya tentang lo sama Ckara. Keberadaan gue cuma sebagai umpan, bukan benar-benar terlibat dimasalah kalian berdua. Setelah tau semuanya, Cakra suruh lo untuk tanggung jawab karena gue hamil gara-gara kakak lo. Tapi, Dhav, gue udah nggak hamil. Terus untuk apa lagi kita sama-sama?"

"Vanda, bukan tentang itu. Tapi gue deketin lo karena gue punya perasaan tentang lo, perasaan yang udah gue punya bahkan gue yakin sebelum lo kenal sama Cakra. Gue sama lo juga bukan karena permintaan Cakra, itu kemauan diri gue sendiri. Gue ikhlas untuk itu semua, mau lo hamil atau nggak saat itu. Lo masih akan dan selalu menjadi objek perasaan gue. Yang lo pikirkan itu semua salah."

"Oh ya?"

"Iya," jawab Dhava tegas.

"Oke. Dan, satu hal yang musti lo ingat. Nggak semua perasaan suka harus bersama objek perasaan itu sendiri. Bagaimana perasaan lo, itu urusan lo. Gue Cuma akan bilang terima kasih sudah menjatuhkan hati lo untuk cewek seperti gue. Tapi maaf, perasaan lo nggak bisa ada di sini sama gue. Gimana lanjutannya terserah. Mau lo buang perasaan lo atau tetap ada." Vanda pamit masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Dhava sendirian bersama kegelapan malam dan cahaya lampu remang-remamg pinggir jalan. Gue nggak bisa menyangkal adanya perasaan gue sama lo, tapi gue masih bisa menyangkal keinginan gue untuk nggak terus sama lo, Dhav. Kita ... terlalu berbahaya.

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang