'madhava; 07'

125 5 0
                                    

SEGALA tindakan bengis Vanda torehkan kepada Dhava usai peristiwa Sangga kala itu. Reaksi yang Dhava timbulkan pun di luar kepala Vanda. Cowok itu tetap diam tak membalas, tetapi tak membuat Vanda batal karena merasa iba. Malahan cewek itu semakin tidak segan menyakiti. Yang kala itu dilakukan : membebaskan angin dalam ban sepeda motor Dhava hingga rencana untuk mengantar pulang Vanda batal, ada juga ketika malam-malam Dhava datang dengan niat baik unuk membantu Vanda mengerjakan tugas sekolah malahan Vanda berteriak di depan rumah jika Dhava adalah maling sampai cowok itu hampir di hakimi masyarakat. Lalu ada lagi cerita Dhava yang harus kelimpungan mencari Vanda saat ia pergi ke toilet sebentar sepulang sekolah, cewek itu hilang begitu dalam pikiran Dhava, pada kenyataannya Vanda telah dalam perjalanan pulang seorang diri. Tak segan-segan bahkan Vanda mampu melayangkan tendangan bebas pada kaki cowok itu saat Dhava dalam mode menyebalkan.

Beberapa kejadian itu telah berlalu lebih dari dua minggu usai peristiwa mengerikan di koridor sekolah antara Madhava Catra Airlangga dan sosok Sangga Mahardika. Aksi pembelaan Dhava bukan membuat hubungan semakin rapat dengan Vanda, melainkan menciptakan jarak yang makin terulur jauh.

Vanda menghindar selama satu minggu, kemudian seakan di telan bumi selama dua minggu. Lenyap begitu saja tanpa kabar yang terdengar. Tidak ada yang tahu keberadaan cewek itu. Setiap bel pulang sekolah mulai menyusuri seluruh telinga siswa dan siswi, bukan rumahnya sendiri menjadi tujuan utama Dhava pulang, namun rumah Vanda. Duduk di depan teras rumah mulai saat teriknya matahari siang sampai mentari tenggelam dalam lautan malam. Jika tak mendapati batang hidung Vanda, maka ia pulang lalu esok kembali lagi dengan niat sama.

Tetap hasilnya nihil. Tidak menemukan Vanda.

Dua minggu berlalu ...

Semesta benar-benar menenggelamkan Vanda. Dan, setelah hari kesekian mengunjungi rumah Vanda dan pulang dengan hasil nihil dan hati kosong, cowok itu lagi-lagi melenyapkan suara mesin motor dan berhenti di depan pagar pekarangan Vanda. Berlari masuk ke dalam pekarangan rumah itu saat mendapati Vanda menggenggam selang air lalu di arahkannya pancuran air itu ke setiap tanaman yang ada.

Ekspresi biasa saja dilakukan Vanda karena sudah mengetahui bila Dhava kerap kemari, sementara Dhava melekat dengan ekspresi lega bercampur terkejut. Namun tak begitu kentara dengan wajah Dhava yang selalu nampak dingin atau biasa saja. "Van..," cicitnya.

"Apa?"

"Kemana aja?"

Vanda berjalan menjauh dan menutup saluran air lalu berlanjut menggulung selang. "Bukan urusan lo."

"Van."

"Ada apa?"

Gue kangen. Dhava menunduk, menggaruk alisnya sebentar sebelum berusaha merangkai kata-kata lain. Tetapi, cowok itu menarik ransel yang ia tumpu di punggung. Mencoba mengambil sesuatu dan Vanda mengamati gerakan Dhava. "Ini, rangkuman selama kurang lebih atau hampir tiga minggu lo nggak masuk."

"Ada tugasnya juga. Bisa lo pelajari supaya nggak ketinggalan." Buku bersampul coklat dan beberapa kertas Hvs penuh soal-soal beserta jawaban Vanda terima dalam genggaman tangan. Melihatnya dengan tatapan tertegun. "Seniat ini lo?" tanya Vanda saat melihat isi dalam buku tulis tersebut.

"Cuma ngisi waktu luang, sekalian bantu lo."

"Gue kirim makanan ke sini. Lo makan, kan?"

Vanda kembali menatap Dhava. "Nggak. Udah basi."

"Oh. Sorry."

"Bukan salah lo. Gue aja tahunya telat." Vanda mengangkat buku di tangannya. "Ininya gue terima. Sebagai bentuk gue hargai usaha lo bantu gue. Juga permintaan maaf karena makanan yang lo kirim, lambat gue tahu sampai basi. Ini bukunya gue bawa dulu, ya? Gue balikin secepatnya. Makasih banget." Vanda tersenyun tipis.

"Kalau gue kirim makanan lagi, lo tahunya nggak telat, lo makan, kan?"

"Ya, kalau gue mau."

"Kalau lo mau?"

"Kalau pun mau, nggak akan gue makan. Gak butuh makanan dari lo juga."

Air muka Dhava sedikit tersakiti, namun berusaha tetap biasa saja. Vanda memang setak mau itu untuk Dhava mendekatinya. Dan hal itu malah membuat Dhava semakin ingin mendekati.

"Kapan masuk sekolah?" tanya Dhava. Jari jemari laki-laki itu pelan tapi pasti naik merangkum sebelah wajah Vanda dengan penuh sayang. Keduanya tenggelam dalam tatapan yang lama kelamaan semakin dalam. Tatapan yang Dhava rasakan penuh kesenangan, akan tetapi Vanda merasakan tatapan itu penuh akan kepedihan, sebab tidak seharusnya Vanda berdebar layaknya sedang jatuh cinta (?) "Gue jemput besok."


       ─màdhavaňdá─


"Vanda sakit apa? Hari ini masuk, berarti udah sembuh, kan? Semoga sehat selalu ya Vanda." Penuturan dari guru pengajar sekaligus wali kelas Vanda mengundang lipatan kulit pada dahi cewek itu karena bingung. Lalu, senggolan tangan dari Jenta cewek itu dapatkan. "Dhava yang buat surat selama hampir 3 minggu lo sakit, aslinya sih Alfa. Cuma karena surat palsu dari Dhava, lo nggak jadi dapet Alfa," jelas Jenta.

"Serius lo?" tanya Vanda.

"Iyaa, zeyeng."

Selepas mendapat jawab pasti dari Jenta. Sorot matanya bergerak mengarah ke belakang, menggapai wujud Dhava dalam penglihatan. Cowok itu tengah fokus menulis juga dengan air muka yang senantiasa datar atau terkadang sangat dingin. Helaan napas panjang Vanda lakukan sesaat setelah mengalihkan pandangannya dari Dhava.

Hari ini awal masuk Vanda setelah mengosongkan bangkunya di kelas cukup lama. Beberapa tugas harus segera ia selesaikan juga dengan beberapa ulangan menyusul harus segera dipenuhi. Cukup atau bahkan sangat membantunya sebuah rangkuman pelajaran yang Dhava berikan kepada ia. Tidak meminjam lama buku pemberian Dhava, melainkan Vanda mengambil gambar setiap halaman buku ke dalam memori ponsel.

Laju kaki semakin dipercepat saat melihat Dhava mulai mendekati motornya. Vanda berusaha menggapai langkah kaki Dhava, akan tetapi sulit dan tertinggal cukup jauh dengan lautan membeludaknya lautan manusia dengan tujuan bergegas pulang. Seruan namanya terdengar mengalihkan Dhava kepada sumber suara. Cowok putih jangkung itu menatap Vanda dan mengerti maksut kedatangannya kala Vanda mengulurkan tangan yang menggenggam buku krem.

"Makasih banyak."

"Udah?"

"Gue foto."

"Ambil aja."

Vanda nampak berpikir. "Janganlah. Gue balikin."

Tidak mau menciptakan peedebatan antara ia dan Vanda. Cowok itu menerima uluran buku kemudian menggapai lengan Vanda ketika perempuan itu hendak menjauh. Akan tetapi, gerakan terkejut dari Vanda dilakukan sekaligus menarik kasar lengannya. Tatapan cewek itu seolah terdapat ketakutan terpancar.

"Sorry." Ntahlah apa tujuan Dhava meminta maaf kepada Vanda. Ketika melihat raut wajah perempuan itu, spontan saja kata maaf ia lontarkan dengan pelan.

Teringat saat seharian ini Dhava atau setiap 30 menit sekali Dhava akan membawa kedua sorot matanya menatap Vanda. Ah, mungkin kata-kata itu terlihat lebay, intinya sering. Dan, Vanda hari ini jauh lebih banyak diam dan melamun di bangkunya. Melihat Jenta asik bercerita kepada Vanda. Gadis itu hanya diam menjadi pendengar yang baik, atau malah raganya ada namun pikirannya tak ada saat itu. Kosong.

"Ada masalah?" tanya Dhava. Pertanyaan yang terlontar tak mendapatkan maunya. Vanda memilih melangkah pergi seraya memasukkan kedua tangan dalam saku jaket denim penuh coretan dari pilox hitam. Punggung kecil itu terus terikan oleh sorot mata Dhava hingga lenyap.




TBC. Tinggalkan jejak_

untuk kamu; terima kasih sudah membaca






arqastic

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang