'madhava; 53'

64 4 0
                                    

ATAS permintaan Kafka yang membuat Vanda ada di sini. Sedang bergegas memasuki gerbang sekolah. Sudah lengkap seragam dan entek-entek atribut. Turun dari angkutan umum dengan cukup semangat dan harapan baru, Vanda di sekolah barunya berharap senantiasa baik-baik saja. Mencoba kembali memulai dengan baik dan benar hidupnya. Perkara statusnya, tidak jadi masalah karena ketika drop out beberapa waktu lalu. Ayah Kafka selaku wali murid Vanda meminta agar sekolah juga kembali merahasiakan berita buruk itu, juga meminta tidak mencantumkan keterangan atau sebab Vanda harus mendapat drop out. Dengan beberapa pertimbangan dan diskusi, pihak sekolah mengabulkan. Hingga di sekolah barunya ini, semua masa lalunya tidak ada yang boleh mengetahui, tidak boleh juga ada yang membahas atau membuka peti itu.

Tempat barunya jelas jauh berbeda dari yang dulu. Vanda kurang menyukai tempat ini karena memang beradaptasi dengan hal baru bukan suatu kesenangan baginya. Meskipun dalam hidup akan selalu ada siatuasi yang di mana mengharuskan kita saling beradaptasi dengan hal-hal baru. Tetap saja itu sulit. Beberapa cewek pun memberi sambutan hangat atas kedatangannya. Tersenyum tulus menyambut sapaan itu, menciptakan kerinduan pada diri Vanda terhadap Jenta. Iya Jenta, temannya sejak sekolah menengah pertama. Namun kini, tidak lagi satu sekolah. Mengajak ke kantin bersama dan sesekali mengajak sholat berjamaah di masjid sekolah. Hari kian melangkah maju dan berganti. Kabar mengenai Kafka, laki-laki itu belum diperbolehkan pulang dengan alasan yang Vanda sendiri tidak tahu.

Setiap kali pulang sekolah, Vanda tidak bergegas pulang. Melainkan menuju rumah sakit. Rela membawa isi tas berat berisi pakaian ganti dan beberapa pekerjaan rumah lainnya untuk ia laksanakan di rumah sakit. Bersama Kafka dan sekalian menemani laki-laki tersebut. "Rumusnya pahami dulu kali, baru kerjain. Usaha dulu baru gue bantu," kata Kafka tanpa menolehkan kepala untuk menatap Vanda. Ia sibuk mengupas apel, bukan untuk Vanda saja apelnya. Untuk mereka berdua lebih tepatnya.

"Ck, bilang aja males bantu."

"Usaha dulu, bukan malas bantu."

"Nyenyenye."

"Malah gitu."

Di sini Kafka yang sakit, jika ditelaah lebih dalam yang sepatutnya mengupas kulit buah-buahan kemudian menyuapkannya pada yang sakit adalah yang menjenguk. Akan tetapi disini tidak. Kafka notabene sebagai pasien malah yang mengupas buah sendiri dan menyuapi manusia yang sedang menjenguknya itu. Seharusnya terbalik, tapi dihiraukan. "Van, lo harus baik-baik ya. Yang baik hidup di bumi, kalau mereka gak baik masa lo ikutan gak baik. Nanti siapa yang baik? Jadi harus tetap baik, oke?"

Vanda masih menunduk, tapi ia mendengarkan pesan Kafka seraya berdehem saja. "Lo ... marah gak sama Dhava? Lo benci gak sama Cakra?" Masih tanpa menoleh. Vanda merasa tidak perlu menatap Kafka karena ia merasa tidak ingin menatapnya.

"Marah sama Dhava gue. Benci juga sama Cakra. Tapi gue gak mau balas jahat, biarin. Biar dapat balasannya sendiri. Semua kebaikan akan ada balasan kebaikan juga, begitu juga sama kejahatan. Kalau soal balasan itu nggak harus dari kita juga, biar tuhan yang urus gimananya. Tuhan tau yang baik, Tuhan jelas lebih punya rencana baik untuk kita."

"Gitu?"

"Iya ...," jawab Kafka. Saat mendapati Vanda sudah menatapnya, ia melayangkan suapan potongan apel ke dalam mulut cewek itu. "Setiap pulang sekolah lo kesini ya? Mau?" tanya Kafka. Telapak tangannya mendekap separuh pipi kanan Vanda. Dalam dekapan tangannya, Vanda mengangguk. "Iya."

Hingga setiap harinya pada pukul 3 sore, kamar inap Kafka tidak hentinya menerima suara. "Assallamualaikum, Kafka jelek. Gue dateng," teriak Vanda. Mendorong daun pintu lalu melangkah masuk dan melempar tas ransel miliknya di atas sofa. Langsung menghampiri Kafka atau memunguti makanan apapun di kamar cowok itu.

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang