'madhava; 39'

56 4 0
                                    

TERJADI satu ikatan dalam kasamaran yang tidak jelas. Orang lain mengira Vanda serta Dhava memiliki ikatan lebih dari seorang teman. Pada kenyataannya tidak ada ikatan secara jelas antara dua insan itu. Segala sikap Dhava membuat mereka seolah ada ikatan. Tapi tidak.

Wujudnya di depan cermin berdiri tanpa ada pergerakan sekitar 15 menit sejak tadi. Hanya mengenakan tank top putih juga rok seragam sekolah. Rata permukaan perutnya tak lagi ada, kini yang terlihat ialah tak lagi ada rata di perut melainkan mulai terlihat bahwa ada malaikat kecil tumbuh dalam rahimnya.

Hoodie abu polos membalut tubuh cewek berpostur tubuh sedang, tidak tinggi juga tidak pendek. Melangkah lunglai ke luar rumah. Segala praduga buruk bagaimana ia datang ke sekolah melayang bebas menghantui di ruang kepala. Berbagai alasan pula coba ia kumpulkan di kepala untuk diberikan kepada guru ketika ditanyai mengapa hoodie abu ini membalut tubuhnya. Mengingat salah satu aturan skolah tak boleh mengenakan jaket tanpa izin sakit.

Turun dari angkutan umum. Vanda meragukan langkah kakinya untuk masuk ke dalam pekarangan sekolah. Pasalnya, beberapa guru berjaga di gerbang. Mencegat bak polisi pinggir jalan. Menepikan siswa siswi minim akhlak dengan hobi melanggar peraturan sekolah. "Tunggu. Sini kamu.."

Ah, benar saja. Baru akan beberapa langkah memasuki gerbang, seruan peringatan dilakukan oleh salah satu guru. Mengipaskan tangan ke bawah sebagai bentuk memanggil serta menghampiri. Vanda mendekat sekaligus wajah memelas.

"Kenapa, Bu?"

"Jaketnya di lepas. Ini sekolah tempat belajar, bukan gaya-gayaan. Cepat," katanya penuh perintah.

"Tapi, Bu, maaf. Saya lagi nggak enak badan, tapi harus tetap masuk. Boleh ya, Bu?" tanya Vanda. Berusaha sopan dan memberi keyakinan akan alasannya. Terlihat menghela napas, guru itu mengangguk dan memberi kesempatan Vanda lanjut membawa langkah kakinya ke dalam sekolah.

Di waktu yang sama, namun dari arah berbeda. Dhava memberi kecepatan lebih pada langkah kakinya. Menepis jarak antara ia dan Vanda agar memiliki radius lebih dekat. "Van.."

Menoleh.

Tidak ada sahutan apa pun. Hanya mata yang memandang Dhava dalam diam seraya tak lagi membawa langkah kaki berjalan. "Kenapa pucat?" tanya Dhava yang terdengar tenang di telinga. Tangannya membelai perlahan serta menyenangkan. Harusnya Vanda merasakan kalimat terakhir itu 'menyenangkan', akan tetapi kali ini terasa menyakitkan. Ia memejamkan mata saat permukaan pipinya tersentuh oleh permukaan tangan Dhava. Dadanya terasa nyeri seketika. Ketakukan kembali membelai mental perempuan malang tersebut.

Perlahan pun Vanda menurunkan tangan dan menggeleng. Nampak sekali kelemahannya. Membuat hati Dhava semakin teremas rasa khawatir. "Nggak apa gue."

"Van.."

"Beneran."

"Nggak. Gue seperti bisa merasakan kalau lo nggak baik-baik aja, Van. Selalu ngerasain itu. Apalagi saat gue yang jadi tokoh jahatnya. Tapi, gue nggak bisa apa-apa. Sakit, tapi lebih sakit di elo." Akh! Suara teduh cowok itu menyebalkan. Vanda ingin memberi pukulan super agar suara dan wajahnya tak dapat lagi menyayat hatinya yang mana telah ia jahit rapi untuk tak tergoda akan pesona manusia ini. Tetap saja. Selalu gagal. Selalu.

"Gue ke kelas duluan."

"Searah."

"Gue ke toilet."

"Ikut. Gue tunggu di depan."

"Dhav."

"Di sini. Selalu. Semoga.."

"Apaan sih lo."

"Maaf kalau lo bosen gue selalu bilang maaf. Kalau bisa gue mau ngomong itu setiap hari sama lo. Maaf ya.." Dhava menyimpang dari topik percakapan tidak jelas menjadi semakin tidak jelas.

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang