'madhava; 36'

63 5 0
                                    

DUA remaja yang masih mengenakan seragam sekolah abu putih itu turun dari motor. Vanda menolehkan kepalanya ke samping kanan maupun kiri, melihat suasana sekitar yang penuh dengan huru-hara suara kendaraan. Sore menjelang magrib, Dhava tidak langsung membawa Vanda pulang, akan tetapi pergi ke tempat ini. Tempat yang penuh grafiti atau gambar-gambar dari pilox. Di bawah jembatanfly over ternyata ada tempat seperti ini, yang mana hal itu membuat Vanda menatap speechelss.

Tiba-tiba saja Dhava memasangkan sebuah masker hitam untuk Vanda. Tak lupa menguncir rambut cewek itu. Membuat Vanda diam di tempat dan membiarkan Dhava melakukan apa yang ia mau. "Nih," kata Dhava sembari meluruskan tangan yang menggenggam satu botol pilox. "Lo gambar di tembok yang kosong. Sesuka hati lo. Maskernya jangan di lepas."

Dhava pun memakai masker hitam yang sama seperti Vanda. Cowok itu juga mengeluarkan beberapa pilox dengan warna yang berbeda. "Lo tadi bawa pilox ke sekolah? Dih. Cowok yang katanya paling pintar di sekolah, nyatanya bisa juga ke sekolah nggak bawa buku."

Dhava hanya terkekeh pelan. Selanjutnya yang terdengar hanya suara kendaraan yang saling sahut menyahut untuk meminta diberi jalan karena macet. Dhava maupun Vanda sama-sama sibuk menciptakan banyak garis di dinding supaya mampu membentuk gambar atau grafiti indah.

Vanda, te amo

Grafiti besar dan keren itu mampu membuat Vanda yang baru saja membawa tubuhnya mendekati Dhava dibuat terkesima. "Te amo. Itu apa?" tanya Vanda dengan kerutan di dahi. Vanda tidak mendengar jawaban sedikit pun terdengar dari mulut Dhava. Hanya diam. Hingga Vanda memukul lengan cowok itu. "Coba translate. Ada teknologi dipakai."

Segera ia mencari kemana tadi menyimpan ponselnya lalu segera membuka aplikasi berlambang 'G' pada layar ponsel. Menyusun huruf di sana untuk mencari arti tulisan yang telah dirangkai oleh Dhava di dinding.

"Vanda ... aku mencintaimu." Vanda membacanya pelan dengan kedua sudut bibir yang seolah memaksanya untuk melebarkan sayap membentuk senyum indah. Di sisi lain, Dhava berusaha tetap cool di hadapan Vanda. Meski ia sudah dipaksa untuk melebarkan senyum, namun ia tahan. "Serius?"

"Bohong."

"Kirain."

"Ya, serius dong, Van." Cewek itu terkekeh pelan yang terkesan manis di penglihatan Dhava. Kedua kaki Vanda berjalan mendekati Dhava lalu menggenggam lengan laki-laki itu seraya memusatkan kedua netranya menatap netra Dhava. "Lo dulu gengsi ya buat nyatain perasaan ke gue?" tanya Vanda yang mana disahuti dengan anggukan kecil oleh Dhava.

"Sekarang, tembok gengsi kita udah runtuh?"

"Sepertinya."

Vanda berdecak kecil sembari menghembuskan napas pendek. Cewek itu menarik ke bawah masker yang Dhava kenakan. "Gue benar-benar menyesal milih lo. Tapi gue tetap coba jalanin. Sedih atau senang endingnya, itu resiko.

... gue siap terima."

"Jadi?" Dhava mengangkat kedua alisnya.

"Lo mau pergi silahkan, tapi gue tetap di sini. Jadi ketika lo pergi dan butuh gue lagi. Lo akan tai gue tetap di sini. Nggak kemana-kemana."

Senyuman kecil dari Dhava mengundang tanya Vanda. "Kenapa lo senyum?" Dhava menggeleng kecil dan menjawab, "gue selalu nyaman dekat sama lo. Boleh kasih gue ciuman?"

"Boleh," jawab Vanda cepat. Seringaian kecil perempuan itu lakukan. Cup. Bukan, bukan suara cup yang Dhava dapatkan. Melainkan suara plak. Tamparan pelan dari Vanda, Dhava dapatkan sore ini, bukan sebuah ciuman romantis seperti bayangannya. "Ngarep lo." Dhava berusaha sabar.

"Van."

"Ya?"

Dalam hitungan detik, air muka Dhava berubah serius dan menatap Vanda semakin dalam. Tatapan hangat sekaligus membingungkan. "Gue nggak suka ketika lo serahin gue gitu aja ke Becca tanpa persetujuan. Gue bukan barang bekas yang bisa lo terima dan buang semaunya. I'm yours. Sekarang, situasi apa pun, selalu, dan selama-lamanya."

       ─màdhavaňdá─

Beberapa hari ini cukup tenang. Akan tetapi, kembalinya Rebecca ke sekolah, kata tenang tak lagi ada artinya dalam kehidupan Vanda. Jenta menarik tangan Vanda untuk keluar kelas mengingat tiga menit lalu, suara dentingan bel pertanda istirahat menyeruakkan satu sekolah. "Ayo, kantinnya keburu rame tuh," kesal Jenta saat Vanda terlalu santai.

Jenta terpaksa menghentikan langkah tatkala bersamaan ia keluar dari kelas, ada seorang cewek masuk menerobos. Sempat berhenti sejenak di samping Vanda seraya mengulurkan senyum manis. Hanya itu kemudian beralih lagi membawa kedua tungkainya berjalan menghampiri Dhava. Bohong jika Dhava tidak terkejut akan kedatangan Rebecca, sebab cowok itu akan seberusaha mungkin tak membawa Rebecca kemari. Mengingat ia satu kelas dengan Vanda. "Ngapain ke sini?" tanya Dhava pada intinya.

"Nggak boleh? Cuma mau makan siang di sini, aku bawa double." Rebecca menepis pundak Adrian sebagai bentuk pengusiran agar ia duduk di samping.

"Ogah."

"Minggir."

"Ini meja gue."

"Meja sekolah."

"Tapi sekarang ini hak gue."

"Emang aku peduli?"

"Aelah. Gak ada abisnya debat sama nenek lampir." Adrian berdiri kasar. Dengan sengaja menabrak Rebecca yang mana cewek itu tepat berdiri di depannya. Rebecca mengaduh kesal serta melaporkan sikap Adrian kepada Dhava. Tidak ada yang dilalukan Dhava. Hanya menatap Adrian, namun cowok itu melempar tatapan tajam. Kedua jari telunjuk dan tengahnya membentuk simbol V untuk di arahkan ke depan dua bola matanya kemudian berlanjut ke arah Dhava. "Lo dalam pantauan gue."

"Hush.. hush ...."

Rebecca mengepakkan tangan untuk mengusir wujud Adrian dari radarnya. Pastinya tidak mau kalah, Adrian menepis kasar tangan Rebecca. "Bacot lo."

Kedua sudut bibir Rebecca Syinevas resmi merekah sempurna membentuk senyum manis usai berhasil meengusir Adrian dari tempat duduknya. Cowok itu sekarang duduk di kursi guru. Biar cowok itu duduk di kandang singa Rebecca tidak peduli, asalkan ia bisa dekat dengan Dhava tanpa ada manusia penganggu.

Mulai membuka kotak makan berwarna oren dan coklat. Sandwich dua potong beserta dua kotak susu coklat ada dan tertata rapi di dalam sana. Ada hal membuat Dhava mengernyit heran. Sebuah foto kecil hanya bergambar kepala kepada ditusuk di sana dengan tusukan gigi kecil, bukan masalah sebenarnya. Yang mwnjadi masalah, itu adalah foto dirinya. Lalu di potongan sandwich ke dua, foto Rebecca. Cih, lebay. Sangat terlihat konyol di mata Dhava.

"Apa coba?"

"Ya .... biar romantis aja hehe." Rebecca terkekeh.

"Gue nggak suka orang yang romantis."

"Kok gitu?"

"Emang gitu."

"Terserah. Aku bakal tetep jadi romantis buat kamu aja tapinya." Rebecca menyodorkan potongan sandwich. Wajah terpaksa Dhava senantiasa hadir ketika Rebecca terus mengoceh di sampingnya. Memakan lamat-lamat roti sandwich itu. Sebenarnya enak, tetapi jika seseorang yang menemani Dhava makan adalah Vanda akan terasa jauh lebih nikmat. "Bec, Cakra suka sama lo."

"Tahu."

"Lonya?"

"Tetap kamu."

"Kalau gue nggak?"

"Kamu tahu apa yang akan terjadi, Dhav. Gara-gara ada Vanda, kan, kamu begini? Emang cewek itu harus dibasmi ya supaya kamu kembali kayak dulu, suka sama aku? Oke aja. Ku lakuin," kata Rebecca dengan senyuman lebar juga telapak tangan kanannya menepuk beberapa kali pipi Dhava. "Itu easy."

Embusan napas dilakukannya. Ini yang sulit. Dhava berhadapan dengan dua manusia paling egois di muka bumi. Gue pasti bisa lewatin semua, buat Vanda.



TBC. Tinggalkan jejak_
untuk kamu; terima kasih sudah membaca

Arqastic

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang