RAPALAN sumpah serapah rasanya tak henti mencelos dari bibir Kafka sore ini. Hingga meneriakkan 4 huruf berawalan "F" ( dalam bahasa inggrisーred ) mungkin sudah lebih dari puluhan kali terdengar oleh nyamuk yang lewat. Cowok itu menurunkan penuh kaca mobil. Sesekali berteriak pada para pengendara jalan yang mana menjadi penghambat laju mobilnya sehingga tertinggal oleh jeep hitam di depan sana. "Woi! Tolong cepat dong, Mas. Saya buru-buru!" teriak Kafka.
"Gak lo doang yang punya urusan woi!"
Lirikan singkat hanya dilakukan oleh Kafka. Kembali menginjak gas mobilnya dan menyalip beberapa pengendara motor. Jalanan mulai lenggang karena tujuan mobil itu tak lagi ada pada padatnya jalan raya. Banyaknya pohon pinus di kanan dan kiri serta jalanan menanjak menjadi pemandangan selanjutnya setelah keramaian jalan dan manusia. Suara khas dari tonggeret mulai terdengar keras. Mobil di depan sana belok ke arah kanan, melewati jalan bebatuan.
Yang ada di kepala Kafka saat ini, para laki-laki itu bukanlah orang biasa. Untuk memupuk tuntas kecurigaan, Kafka terus melajukan mobil melewati tempat di mana mobil jeep itu terparkir dengan laju cepat. Sungguh, ketika menemukan ponsel Vanda di trotoar halte yang mana setelah ia melihat kaki didorong paksa masuk ke dalam mobil jeep diikuti pria besar. Cowok itu memiliki keyakinan besar bila sosok yang di bawa masuk secara paksa itu ialah Vanda. Tubuh Kafka seolah jatuh lemas. Isi kepalanya mendadak berat dan kosong jika memang benar itu Vanda.
Memasa bodohkan mobilnya terparkir sembarangan. Kafka menyugar rambut dan berjalan melewati jalanan menanjak. Sampai ia melihat lagi mobil jeep hitam terparkir di depan rumah tua. Rumah tua dengan model memanjang ke samping, sebagian atapnya sudah hilang karena runtuh. Samping kanan rumah itu diselimuti oleh semak belukar dan terdapat pohon besar di samping kiri rumah. Beserta ayunan di sebelah pohon dengan tiangnya yang sudah berubah warna akibat karatan.
Di sisi lain, Dhava berdecak kesal karena jalanan cukup macet. Ia menatap layar benda pipih miliknya, menyajikan sebuah peta online untuk mendapatkan keberadaan suatu tempat yang diberikan oleh Cakra kepadanya. Setelah mendengar penuturan Adrian yang mana sempat melihat wujud Vanda dekat sekolah kemudian di waktu bersamaan mendapati pesan dari Cakra. Ada terkaan tak baik dari kepalanya.
Jalanan panjang ia ikuti sesuai perintah dari peta online itu. Jalanan semula ramai kian lenggang, sunyi, begitu sepi, dan tenang. Hawa khas dari hutan menyambutnya karena sejak memasuki wilayah asing ini, Dhava membuka sepenuhnya kaca mobil di samping. Melihat objeknya di peta online, ia telah sampai di tempat yang Cakra berikan. Turun dari mobil, menatap sekeliling hanya penuh pohon pinus.
Membawa kedua langkah kakinya melewati rerumputan liar. Ia berhenti di depan rumah tua. Sejak sampai di depan rumah. Seluruh tubuh Dhava langsung merasa kosong, tak berdaya. Namun, secepat kilat pada detik selanjutnya ia kembali pada keadaan semula usai tertegun itu. Ia berlari masuk.
Suara tawa Cakra mengisi kesunyian usai suara langkah cepat Dhava beredar di atas lantai kayu. Tawa Cakra tercipta sebab tumbangnya tubuh Dhava di lantai kayu, kakinya menghantam tangga kecil di pintu masuk. Langsung kedua tangan cowok itu mengusap kasar tangannya akibat terkena lantai kayu yang kotor tersebut. Dua anak buah Cakra spontan melakukan gerakan mencekal kedua lengan Dhava seperti seorang polisi pada tawanan. Mencegah Dhava untuk mendekati Cakra dengan seorang cewek cantik di samping.
Vandana Dineschara duduk melantai di samping Cakra. Rambut cewek itu dicepol tak beraturan. Tangannya lurus ke depan dengan kondisi terikat, kemudian di lengan bawah cewek itu ada goresan panjang menyalang, mengambil cepat atensi Dhava dari jauh. Sekaligus bekas darah di sudut bibir hingga memar membiru di bawah mata kiri Vanda.
"Lepas!" ronta Dhava dari dua pria di samping. Menyebalkan. Cowok itu mau mendekati Vanda. Tidak akan ada ampun dari mulutnya untuk Cakra bila cowok itu melakukan hal di luar nalar yang gila kepada Vanda. Karena sejak awal, cewek itu sedikit saja tak pernah ada sangkut pautnya dalam lingkar masalah keluarganya. "Cakraa!" bentak Dhava.
KAMU SEDANG MEMBACA
MADHAVA
Ficção Adolescente[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Madhava Catra Airlangga adalah cowok pendiam yang non ekspresif, namun berhasil menyabet kedudukan sebagai kapten basket. Ceritanya ia jatuh cinta diam-diam pada cewek tomboy dan galak. Vandana Dineschara sudah merebut hat...