WAKTU pemeriksaan luka Dhava. Suster beserta lengkap seragamnya berdiri di depan cowok itu dengan membiarkan Dhava tak melekatkan sehelai kain pun pada tubuh bagian atas. Sementara Vanda menatap jendela kamar. Bukan ada apa-apa, pengalihan dari hal di depan yang mana hal itu tak seharusnya ada di depan mata. "Harus buat banyak gerak, supaya nggak kaku juga nggak sakit. Itu aja sih. Besok boleh pulang."
Kembali mengenakan pakaiannya, baru Vanda bisa membawa kepalanya menoleh lurus ke depan sepenuhnya. "Suster, kalau mau check up kandungan, di mana?" Pertanyaan cowok itu menggemparkan seluruh alam semesta dalam dunia Vanda. Menggerutkan kening beserta perasaan was-was.
"Ada, daerah lantai dua. Memang siapa?"
"Istri saya."
"G-gimana?" Suster perempuan itu bingung sendiri bersamaan terkejut yang secara alami mendatanginya. Mengingat ia tahu biodata remaja di depan ini masih menyandang status sekolah menengah atas, bagaimana bisa bersamaan dengan itu memiliki status sebagai suami?
"Boleh tolong antar?"
Mencoba netral. Suser tersebut tersenyum serta mengangguk ramah. "Boleh. Saya tunggu di depan, ya."
Dhava menolehi kepala pada Vanda dan mengangguk. "Yuk. Lo belum pernah, kan?"
"Nggak usah."
"Kenapa?"
"Nggak. Gue nggak mau."
"Ada gue."
"Gue nggak suka dipaksa.
"Gue nggak suka ditolak."
"Ini anak gue! Bukan anak lo," sentak Vanda kentara tersulut emosi dengan sikap pemaksaan dari Dhava. Vanda mengalihkan garis pandangnya, tak manatap Dhava karena marah kepada laki-laki tersebut. Tanpa meminta persetujuannya, Dhava melakukan hal itu. Ingat, mereka tidak memiliki hubungan apa-apa. "Gue ayah angkatnya, gue juga berhak atas dia."
"Sejak kapan? Gue nggak pernah setuju soal itu."
Dhava terdiam sesaat. "Van, please. Buat kesehatan dia juga kok. Salah gue peduli sama orang yang gue sayang? Salah gue peduli sama baby-nya? Salah banget? Kalau salah, gue minta maaf. Tapi, gimana caranya biar lo mau check up, gue temenin."
"Kita masih sekolah," ucap Vanda penuh lirih. Matanya menatap Dhava khawatir akan semua manusia yang akan tahu statusnya suatu saat nanti. Bagaimana para manusia jahat dan berisik itu jika tahu ada gadis yang tak lagi berstatus virgin pada usia remaja di sekitarnya. Sungguh, Vanda takut.
Deg.
Tatapan penuh takut dari Vanda meremas sakit hati Dhava. Cowok itu menepuk permukaan kasur di sebelahnya. Diikuti Vanda duduk di sebelahnya. "Gue yakin, lo cuma korban dalam masalah ini. Meskipun gitu, lo harus bisa hadapin, Van. Nggak akan terus sembunyi dari kenyataan, kan? Kita jalan sama-sama, gue cover lo di depan, apa pun masalah yang dateng ke hidup lo. Gue yang akan maju duluan jadi tameng."
"Panah-panah yang nyakitin lo, akan gue tepis pakai tameng gue. Udah pernah janji gue ke elo, jagain Vandana Dineschara sampai kapan pun, di mana pun, selama tuhan masih memberi gue napas di dunia." Iya, Dhava memberikannya tameng dari depan untuk memberi perlindungan, akan tetapi ia lupa jika Vanda masih bisa mandapat panah menyakitkan itu dari belakang sebab Dhava hanya melindunginya dari depan. Tidak dari belakangnya.
─màdhavaňdá─
Bau khas obat-obatan rumah sakit menyeruak bebas merasuki kedua indra penciuman sepanjang Vanda berjalan bersama Dhava. Selesai bercakap panjang lebar, Dhava dengan keberuntungannya berhasil membawa Vanda untuk check up kehamilan pertama kali.

KAMU SEDANG MEMBACA
MADHAVA
Teen Fiction[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Madhava Catra Airlangga adalah cowok pendiam yang non ekspresif, namun berhasil menyabet kedudukan sebagai kapten basket. Ceritanya ia jatuh cinta diam-diam pada cewek tomboy dan galak. Vandana Dineschara sudah merebut hat...