DANAU meluas lebar membelah daratan seraya dipeluk erat oleh puluhan pohon menjulang tinggi di sekitarnya. Hawa menjelang suara adzan magrib diiringi senja menyapa di sore ini menemani dua insan yang tengah berlari di tepi danau. Perempuan berjaket boomber hitam dilengkapi celana boyfriend high waist sibuk melajukan kedua tungkainya agar tidak dapat dikalahkan dengan larinya seorang pemuda berkaos abu dan jeans hitam.
"Bye, Sayang."
"Najis!"
Namun, Kafka dengan kecepatannya berhasil mengalahkan laju lari dari Vanda. Cewek itu kalah telak. Usai mencapai garis finish, Kafka berputar balik dan berjalan cepat dengan lompatan. Bak seorang anak kecil yang diberi upah kembalian hasil membeli telur di warung. Meski hanya seribu, sangat berharga.
Memutar badan riang dengan tangan terombang-ambing di udara Kafka lakukan. Cowok itu memberi wajah mengejek untuk Vanda, bahkan kedua telapak tangannya naik di sebelah kanan kiri kepala lalu kepala menggeleng kanan dan kiri. "Lambannyee, tak bergune pun," ejeknya menggunakan bahas melayu.
"Sialan!"
Vanda berlari menggapai Kafka. Tidak akan bisa sebab cowok itu ikut berlari menjauhinya. Kafka memilih berhenti, membiarkan Vanda menabrak tubuhnya dari depan. Bukannya akan memukul Kafka. Cewek itu malah memeluk Kafka. Tak lama hanya sesaat. Melepas pelukan itu, maka Vanda lanjutkan memukul pelan dan mendorong cowok itu.
"Sombong banget jadi orang!"
"Yah... kalau jadi kucing gue meong, meong, dong!"
"Paan sih!" Vanda melambungkan beberapa kerikil ke arah Kafka. Mendumel karena merasa tidak lucu akan candaan cowok itu. Tetapi tetap saja Vanda tertawa mendengarnya. Bukan, bukan karena ungkapan diluar nalar lelaki itu, namun ekspresi yang diberikan Kafka. Sangat menyebalkan. "Gue masih punya hati untuk gak cemplungin lo ke danau ya, Kaf!"
"Iya, Sayang!"
"Kafka!"
"Apa, Sayang?!"
Wajahnya menahan untuk tak tersenyum bercampur wajah jutek. Vanda mengejar Kafka kembali di bawah senja yang akan segera pergi. Dulu mereka memiliki harapan untuk tak ingin kata 'kita' diantara mereka segera pergi. Jika bisa, ingin selamanya bersama, tanpa terkecuali. Ya, hanya semoga ....
Lalu dulu ...
Saat kecil pun, Kafka pertama kali membawa Vanda ke rumah pohon dekat danau. Yang mana kini menjadi tempat kesenangan mereka berdua. Vanda kecil kala itu mengerahkan seluruh tenaganya. Mendorong anak laki-laki berusia 2 tahun di atasnya di atas ayunan. Ayunan yang jika di dorong, otomatis bergerak maju di atas permukaan air danau. Sedikit mengerikan di mata Kafka, apalagi ketika malam.
"Van, pelan dong!"
"Harus kencang, supaya enak."
Wush
Wush
Gerak ayunan makin kencang. Membiarkan Vanda melakukannya dan membiarkan ayunan membawa tubuh Kafka maju dan mundur dengan ketakutan meronta sedangkan Vanda dengan gelora tawa. Vanda terus mendorong ayunan yang menggantung diranting besar sebuah pohon. Bukan menghentikan ayunan itu, melainkan Vanda berlari ke arah lain.
Vanda memilih duduk di pinggir jembatan kayu penghubung pulau kecil di tengah danau dengan tepi danau. Tersenyum di tempat melihat ayunan Kafka masih bergoyang cukup kencang. Berbeda dengan air muka Vanda, Kafka mencebik kesal di atas ayunan. "Awas aja ya."
"Iya, awas."
Putaran bola mata malas Vanda lakukan. Kakinya bermain di atas air. Membentuk garis-garis abstrak dan menciptakan gelombang kecil nan lembut di danau. Melihat raut berubah dari wajah Vanda, Kafka merasa ada yang tidak baik-baik saja dengan Vanda. Ia memanggil Vanda dengan nada ceria. "Van, aku di sini, bukan di bawah. Liat atas dong, tuh burungnya banyak yang terbang cari makan," ceritanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
MADHAVA
Fiksi Remaja[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Madhava Catra Airlangga adalah cowok pendiam yang non ekspresif, namun berhasil menyabet kedudukan sebagai kapten basket. Ceritanya ia jatuh cinta diam-diam pada cewek tomboy dan galak. Vandana Dineschara sudah merebut hat...