'madhava; 34'

67 4 0
                                    

MENAUTKAN satu persatu kancing baju rumah sakit yang melekat di tubuh Dhava Vanda lakukan satu persatu. Kondisi cowok itu memulih cukup baik meski lilitan perban masih senantiasa ada di area pundak hingga belakang leher. Usai menyelesaikan pekerjaannya, Vanda merapikan surai hitam cowok itu menggunakan jari jemarinya. Begitu lembut.

"Gue sayang dia, Van."

"Siapa?"

"Dia."

Telapak tangan cowok itu berlari menangkup perut Vanda yang mana cewek itu tengah berdiri di depannya sementara Dhava duduk di atas brankar. Catat, Vanda masih berstatus seorang pelajar berumur 18 tahun. Masih sangat menjadi hal ganjil tatkala ada seorang memberi sapuan halus pada perutnya juga menyebut-nyebut manusia kecil di dalam sana. Sosok manusia kecil tak berdosa dan yang tak pernah Vanda inginkan hadir dalam tubuhnya.

Sungguh. Vandana Dineschara jarang sekali menyapa manusia kecil notabene darah dagingnya sendiri, apakah ia menjadi berdosa? Selalu mengabaikannya dengan sengaja karena rasa takut dalam dirinya lebih membabi buta timbang rasa sayangnya dengan dia. Ketika Dhava menyentuh perutnya, spontan tepisan pelan ia lakukan. "Kenapa?" tanya Dhava.

Vanda hanya menggeleng kaku.

"Ada apa?"

"Enggak."

"Enggak baik-baik aja maksut lo, kan?"

"Gue ke toilet."

Kepergian Vanda tak dibiarkan oleh Dhava, melainkan cowok itu menarik lengan Vanda agar tetap di depannya. Tidak boleh sedikit saja melenggang pergi, ia tahu Vanda hanya beralibi untuk menghindar. "Lo masih takut terima dia di hidup lo? Tapi gue nggak takut terima dia di hidup gue." Masih mengenggam lengan Vanda, cowok itu lagi menarik Vanda makin dekat tanpa jarak membangun pelukan antara ia dan cewek itu. Pelukan erat Dhava lakukan.

Karena posisinya lebih rendah membuatnya mampu menyandarkan kepala di antara bahu dan dada Vanda dengan nyaman. Tangannya menyapu halus pinggang belakang Vanda memberi ketenangan, juga beberapa kali mencium permukaan bahu Vanda karena sedikit terekspos di mata. "Dia malaikat kecil kita."

"Apa pun tentang dia akan gue pertaruhkan, sekali pun nyawa." Tanpa ia sadari, malaikat kecil itu juga bagian dari diri Dhava, sebab Cakra adalah ayah sebenarnya dari anak tak bersalah itu.

"Apaan sih lo, ngaco banget kalau ngomong."

Vanda mendorong pelan Dhava dari rekatan tubuhnya. Cewek itu menatap langit kamar dengan jari jemarinya mengusap bawah mata untuk membendung hal yang tak semestanya tak terjadi. "Naik sana," perintah Vanda seraya menepuk kedua kaki Dhava agar naik ke atas brankar. "Iya ...."

"Mau makan apa?" tanya Vanda

Dhava tak menjawab pertanyaan itu, melainkan mengucapkan kalimat di luar topik. "Sampe lupa."

"Apa?"

"Udah baikan kita?"

"Nggak tahu."

"Kalau di sini, berarti udah baikan."

"Up to you."

"Kalau terserah gue, udah baikan."

"Serah."

"Terakhir kali kita berantem di apartemen. Gue pulang, nggak sama lo. Maaf.."

"Maaf terus. Di hidup lo setiap hari lebaran hah?"

"Nggak."

Hening kembali.

"Andai gue ayahnya. Pasti anaknya ganteng," celetuk Dhava saat ruangan mulai hening. Vanda duduk di kursi sebelah brankar usai menaikkan selimut hingga perut Dhava dan menaikkan sedikit kasur atas. "Random banget sih." Heran cewek itu.

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang