'madhava; 06'

139 6 1
                                    

KELAB malam selalu penuh akan manusia gila yang ingin memuaskan gelora nafsu atau menyimpan sejenak kesulitan hidup dalam larutan minuman keras dalam gelas kecil. Atau hanya sekedar mengisi waktu kosong dan mencari pengalaman saja datang ke tempat ini. Jika ditanya mengapa Vanda datang kemari? Opsi dua berisi, 'menyimpan sejenak kesulitan hidup dalam larutan minuman keras dalam gelas kecil' adalah tujuan yang cewek itu bawa dalam genggaman saat menapaki tempat ini.

Ini kali ketiga Vanda datang kemari. Kali pertamanya saat merasa orang-orang senang mabuk ketika ada masalah menciptakan rasa penasaran untuk dicicip. Efek teler dan mengawang yang didapat sehabis minum-minum dipercaya bisa menyanggah masalah yang dihadapi hanya sementara waktu. Namun tetap saja, hal tersebut bukanlah solusi tepat menyelesaikan masalah hingga akarnya. Meski alkohol hanya dapat meredakan tekanan dalam janga pendek, itu mampu melegakan perasaan Vanda. Dan ia tahu efek yang di dapat tidak baik, tetapi tetap saja dilakukan.

Sampai pada titik lupa daratan bersama seorang lelaki di sampingnya. Vanda membelai kepala dengan kepalan tangan beberapa kali. Sementara di satu sisi, Cakra mulai memiliki kesadaran kembali meski masih di bawah keadaan tak baik-baik saja dari efek alkohol yang di pesan bersama Vanda tadi. Menegakkan kembali tubuhnya, Cakra merangkul Vanda ke dalam pelukan dan sang empu hanya diam menurut. Cakra menumpukan dagu di atas pundak Vanda. "Miss you, Becca."

"Fuck destiny. You have to be mine."

Vanda mendorong tubuh Cakra dan membawa kedua telapak tangan untuk menangkup wajah Cakra. Perlahan sentuhan itu teralih menjadi sebuah belaian sayang. Cakra yang terjebak dalam keadaan mabuk jadi makin terbuai akan hal manis itu. Lalu Cakra mengangkut Vanda ke dalam sebuah kamar kosong di lantai atas klub malam. Perlahan angin membawa kembali pintu kamar inap tertutup dan yang terjadi selanjutnya..

...hanya mereka yang tahu.

Awal pertemuan yang manis antara mereka tak selalu pula baik-baik saja. Hingga kisah tragis mungkin akan mereka dapatkan. Bagaimana pertemuan manis itu? Terjadi ketika suatu malam Vanda menatap pantulan wujud tubuhnya di cermin. Mengenakan dress hitam di atas lutut serta jaket denim kemudian mencepol rambutnya asal. Setelah berkutik di dalam toilet, Vanda memilih keluar untuk kali pertama ia masuk dunia baru ini. Bersamaan satu langkah keluar toilet, Vanda menabrak seorang lelaki yang membuat tatapan keduanya sempat terkunci beberapa saat.

Menyadari tidak semestinya terjadi. Vanda mengucap, "sorry."

"Nggak masalah." Cowok itu tersenyum ramah ke arahnya diikuti uluran tangan. "Kenalin, gue Cakra."

"Gue Vanda." Jawaban dari Vanda masih terdengar canggung dan cewek itu beberapa kali menarik dressnya sedikit ke bawah meskipun ia tahu ini adalah hal sia-sia. Cakra menaik turunkan kepala sebagai tanda mengangguk kemudian membawa lengan kanannya naik merangkul tubuh Vanda. Sedikit risih, tetapi tak ada penolakan yang Vanda lakukan makin menciptakan senyum lebar dalam kepala Cakra. Tuhan seperti memperlancar aksinya. "Kayaknya lo masih newbie di sini. Bareng gue aja."

"Bareng?"

"Lo ... kesini mau mabuk, kan?"

Samar-samar Cakra merasakan anggukan cewek itu. Tidak langsung membawa Vanda lupa akan daratan, melainkan cowok itu menarik lengan Vanda untuk berkeliling. Bertemu sebuah papan panah, Cakra mengajak cewek itu singgaj sejenak. Berdiri di belakang Vanda dan mengarahkannya untuk menembak sebuah panah kecil tepat sasaran. Cakra mengenggam tangan Vanda juga berdiri di belakang Vanda dengan posisi begitu dekat. "Good girl."

Vanda tersenyum mendengarnya.

Cakra menarik kursi dekat meja bar untuk Vanda duduk dan memanggil pramutama bar. Sebuah jawaban 'Siap' Cakra dapatkan usai memesan dua bir kepada pramutama bar. Berbingcang biasa selayaknya orang baru berkenalan, kemudian pesanan datang. Cakra mengulurkan satu gelas untuk Vanda yang mana hal itu di terima dengan sedikit ragu oleh Vanda. Vanda menciun aroma bir tersebut sebelum meneguknya.

Reaksi sedikit meringis karena pahit Cakra dapatkan dari Vanda. "Pait, ya? Emang gitu kalau awal, tapi kalau sering nanti juga nyaman sendiri. Bisa bikin lo kecanduan." Selama berbicara, Cakra terus mengambil kesempatan berkontak mata dengan Vanda. Berusaha mengambil alih dunia cewek itu. Ibu jari Cakra naik, mengusap sudut bibir Vanda lembut. "Ntar boleh kita ketemuan lagi, gue ajak coba semua jenis alkohol. Kita mabuk bareng. Okay?" ajak Cakra sembari manaikkan dua alisnya.

Antusias.

Cewek itu tersenyum miring. "Of course."

Cakra melumat bibir bawah kemudian tersenyum manis pada perempuan di hadapannya. Begitu pula dengan Vanda. Keduanya hanyut dalam senyuman berbahaya itu, yang tak seharusnya terjadi. "Will.."


     ─màdhavaňdá─


Hitungan tanggal semakin melangkah ke depan. Hari-hari Vanda lalui usai peristiwa kotor kala itu hanya diam di kamar. Merenung dengan isi kepala melalang buana ke mana saja. Selimut abu melingkup tubuh cewek itu sekaligus derai air mata berulang kali meleleh ketika kejadian pelik beberapa hari lalu menimpanya terus berenang di kepala. Memikirkan betapa buruk kondisinya saat ini juga bagaimana nantinya masa depan kelam menyambut. Tak ada laki-laki yang mau menyentuh bahkan mengajak Vanda ke dalam sebuah hubungan jika tahu bagaimana kondisinya sekarang. "Tuhan ... s-sakit."

Bukan. Bukan sakit fisik yang Vanda rasakan. Batin perempuan itu kini tak baik-baik saja sebab tertoreh sebuah luka tanpa penyembuh dan terus teringat sampai kapan pun selama ia masih hidup di bumi.

Ponsel hitam di permukaan lantai terus mendapat tatapan dari sang pemilik. Puluhan pesan bahkan paggilan tak terjawab dari salah satu kontak dengan nama 'kafka' juga tentunya kontak tanpa nama memiliki lebih dari 50 panggilan tak terjawab. Oh, lebih tepatnya sengaja tidak menerima semua notifikasi itu. Sebab cewek itu selama kurang lebih 2 minggu 'off' dari ponsel.

Sekadar mengenakan hotpants jeans dan kaos putih kusut membalut tubuh. Rambut tak tertata rapi juga kantung mata hitam menghias area bawah matanya. Bangkit dari posisi tidur, cewek itu duduk di pinggir ranjang, menatap jendela depan rumahnya dengan sedikit menyipitkan kedua mata kala terduduknya baskara di atas langit menerjang hingga menyilaukan mata. Dan, suara perut Vanda terdengar membuatnya bangkit dari duduk, berjalan lunglai ke depan rumah usai satu minggu lamanya tak memijak luar seraya mencepol rambut asal saja, asalkan tak terurai bebas.

Tukang bubur ayam seberang jalan dekat rumah menjadi tujuan Vanda. Hirupan udara sejuk ia dapatkan.

"Aih Neng Vanda, mau pesen bubur ayam?"

"Iya, Mang. Satu, ya."

"Pas pisan. Ini baru jadi, Neng." Pria paruh baya itu menutup styrofoam berisi bubur ayam untuk Vanda. Dan ucapan dari tukang bubur langganan Vanda itu mengundang keheranan. "Baru jadi gimana?"

"Tadi sudah ada yang bilang ke saya, suru buat bubur ayam terus kirim ke rumah Neng Vanda. Eh, Neng Vanda nya malah mampir ke sini."

"Siapa, Mang?" tanya Vanda. Berbagai dugaan seolah mulai membentuk ranting yang bercokol di mana-mana.

"Aih, Neng. Mamang nggak tahu namanya. Pokoknya mah pake motor item, terus ya Neng. Setiap pagi Mamang lihat dia duduk di depan rumah. Neng Vandanya kamana? Ke luar kota? Hampir dua minggu Mamang nggak lihat." Usai menjelaskan kebingungan Vanda, kini terkaan mengenai siapa orang itu tertera jelas di kepala.

Sebuah klip peristiwa mengingatkan Vanda kembali. Mengenai beberapa hari lalu, Vanda mendapati Dhava berdiam diri di atas motor dan di bawah rintik hujan yang makin deras usai mengetuk pintu rumahnya, namun tak memperoleh jawaban barang sekali saja.




TBC. Tinggalkan jejak_

untuk kamu; terima kasih sudah membaca






arqastic

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang