ENTAH apa yang dilakukan dilakukan anak laki-laki itu. Kafka kecil saat itu membawa kayu panjang, ia temukan di bukit hutan tadi. "Buat apa kamu bawa kayu?" tanya Vanda kecil.
"Buat jaga kamu, Van. Nanti kalau ada harimau aku pukul yang kenceng. Kalau ada uluar juga ku pukul yang kenceng. Jadi nggak ada yang berani sama aku, nggak ada yang ganggu Tuan Putri." Vanda yang saat itu sedang memanjat pohon untuk memetik mangga jadi tertawa mendengar ide konyol dari Kafka. Manusia sok kuat, ya dia.
"Nih," kata Vanda sambil melempar buah mangga. Kafka dengan cekatan menerimanya. Kafka memilih duduk di sebuah batu besar untuk menunggu Vanda. Bukan. Bukannya Kafkka cowok bodoh yang membeiarkan sahabat ceweknya memanjat pohon sendirian. Akan tetapi, cowok itu sudah tahu bagaimana Vanda.
Tomboy, keras kepala, tidak suka dilarang. Cewek itu sudah biasa memanjat pohon, berenang di danau, bahkan sering kali jatuh sampai banyak luka-luka yang menghias tubuhnya. Vanda memang begitu. Pemberani. Kafka hanya bisa mengawasi tanpa berbuat lebih. Namun, Kafka juga masih memiliki sisi posesif kepada Vanda pada waktu tertentu.
"Kaf."
"Hm."
"Kamu bakal selalu sama aku nggak?"
"Iya."
"Sampai kapan?"
Kafka mendongak menatap Vanda. "selamanya mungkin. Kalau bisa kamu selamanya sama aku. Nanti kita nikah bareng. Mau nggak?"
"Nggaklah. Kamu, kan, tukang ngorok. Gak mau kalau harus nikah sama kamu terus harus tidur bareng tukang ngorok! Hahaha." Vanda mencoba untuk turun dari pohon dengan bajunya penuh akan buah mangga hasil petikannya. Anak perempuan it berlari meninggalkan Kafka. "Buahnya semua buat aku ya?!"
"Curang. Vandaaa!" teriak Kafka seraya bergegas turun dari dari atas batu besar. Mengejak Vanda yang nampak kesusahan karena penuh membawa mangga didekapan tubuh dengan baju sebagai wadah.
Dua anak itu berlari di tengah hutan. Tidak peduli meski sebentar lagi gelap akan memakan langit biru di atas. Juga sebentar lagi hutan akan menyalakan suara-suara hewan aneh. Dua anak itu benar-benar tidak peduli. Bisa saja mereka menginap di rumah pohon dan manikmati semilir angin dingin di hutan dan manikmati rembulan yang tengah duduk manis di langit ditemani ribuan bintang.
"Aduh," keluh anak cewek itu. Vanda tersungkur di tanah berkondisi becek. Bajunya penuh lumpur. Mangga hasil panennya tadi berhamburan ke tanah. "Aaaakh. Kotor semua."
"Kan, kan. Kualat sih."
Kelakar tawa Kafka terdengar menyebalkan di telinga Vanda. Puas-puas menertawai lebih dulu dari pada membantu Vanda. Anak lelaki itu membantu Vanda duduk di atas kayu bekas tumbang. Kemudian Kafka memungut mangga yang berjatuhan. Mengelapnya dengan baju sampai bersih. Meletakkannya dekat Vanda. Baju yang dikenakan keduanya telah kotor oleh bercak tanah. "Pisaunya tadi mana?" pinta Vanda.
"Ini," ujar Kafka memberikan kepada Vanda. Cewek itu mengupas mangga. "Awsh ...," ringis Vanda saat kulit tangan terluka karena pisau, juga disebabkan permukaan mangga itu licin. Darah dari tangannya membelai permukaan mangga. "Huft ... repotin mulu," keluh Kafka. Cukup banyak darahnya, Kafka memilih membawa jari Vanda ke dekat mulutnya. Ia sedot lalu lepeh kembali.
"Ah, cupu. Telen dong darahnya! Ayoo, berani nggak?!"
"Enak aja, emang aku vampir? Kamu, kan , bukan Nayla, nggak punya darah suci. Darah kamu mah najis." Kafka tertawa setelah mengejek Vanda. Membuat cewek itu kesal lalu melepas paksa tangannya dari genggaman Kafka. Mengusap darah itu ke pipi Kafka dengan perasaan kesal hingga bercak merah memanjang terlukis di pelipis hingga pipi. "Jangan sok. Kamu aja nggak seganteng Digo."

KAMU SEDANG MEMBACA
MADHAVA
Teen Fiction[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Madhava Catra Airlangga adalah cowok pendiam yang non ekspresif, namun berhasil menyabet kedudukan sebagai kapten basket. Ceritanya ia jatuh cinta diam-diam pada cewek tomboy dan galak. Vandana Dineschara sudah merebut hat...