GUSAR ketika dulu menolak mentah kedatangan seseorang yang mencintai kita. Lalu tiba di mana orang itu tak lagi sering menampilkan wujud tubuh mereka di dekat kita. Ada perasaan berbeda yang Vanda rasakan. Sepatutnya ia biasa saja atau harusnya ia merasa senang, tidak ada lagi pengusik.Vanda selalu terlihat sendiri. Jangan pikir ia tidak memiliki teman. Jika kalian berpikir demikian, maka salah besar karena meskipun memiliki teman. Sendiri lebih membuat Vanda nyaman tanpa merasa aneh, malu, atau canggung bepergian sendiri. Seperti waktu ini. Dari toilet seorang diri lalu panggilan guru menghadang Vanda untuk tidak langsung pergi ke kelas, melainkan musti menjiplak langkah guru wanita menuju kantor. Menunjang Vanda dengan sebuah pernyataan minta tolong dibawakan tumpukan 3 buku-buku tebal ke perpustakaan sekolah dengan segera.
Menjajaki kaki keluar dari ubin kantor. Vanda memutar bola matanya kala mendapati seorang cewek berteriak kesal mengejar cowok di depannya. Bukan rahasia lagi, dua orang itu berpacaran. Seorang ketua ekskul rohis menjalin hubungan dengan wakil ketua ekskul pramuka. Selain sama-sama anggota inti dari salah satu ekskul, mereka juga famous sebab menjalin hubungan yang kalau kata gaulnya ialah long distance religion-ship.
Meski sangat besar rintangannya. Vanda sedikit iri melihat mereka berdua. Tahu-tahu terbesit sebuah pemikiran; andai ia tidak mengenal Cakra. Tidak menutup kemungkinan hubungannya dengan Dhava akan baik-baik saja, tidak ada salah paham yang terjadi. Sial. Vanda menggeleng, menepis jauh pemikiran semacam ini. Sungguh, tidak seharusnya Vanda berangan-angan demikian. "Apaan sih." Vanda menggeleng sekali lagi lalu menatap ke arah depan lurus.
Deg
Seperti lesatan tombak ke dada. Kilat mata Vanda menerjang sebuah sorot mata Dhava. Tatapan itu tidak dingin atau tajam yang terkesan akan membenci Vanda usai kalimat yang Vanda akui tidak enak terdengar di telinga ia lempar saat di rumah Vanda kala itu. Tapi, tidak ada. Dhava menatapnya biasa saja. Walau begitu, percayalah ada dua orang yang sedang tersakiti di sini.
Ada jarak sekitar enam meter membatasi mereka. Tidak ada yang berjalan mendekat atau menjauh. Hingga waktu terus berjalan. Pada detik ke sepuluh, kedua tungkai Dhava perlahan melangkah mundur dan berbalik badan lalu pergi. Menemukan sosok Vanda di ujung koridor membatalkan langkah maju cowok itu dan memilih mencari jalan lain. "Maaf," gumam Dhava pelan dalam jalannya. Entah apa maksut itu.
Embusan napas ia lakukan. Sampah botol plastik teronggak bebas di lantai menjadi sasaran Vanda. Menendang sampah itu ke sembarang arah dengan perasaan tidak baik-baik saja. "Sadar kok, gue nggak pantas," monolognya. Kembali membawa langkah kakinya berjalan lurus menuju perpustakaan di lantai dua.
Entahlah akan kemana tadinya Dhava dan memilih berbalik badan tak lagi meluruskan jalannya. Cowok itu kembali lagi ke kelas dan Vanda menemukan cowok itu duduk bersama Adrian dan beberapa anak kelas lainnya dari persimpangan jalan menuju tangga lantai dua. Ekor mata Vanda ia bawa melirik Dhava. Tanpa sadar seseorang buru-buru menuruni tangga bersamaan dengan Vanda naik.
Suara buku jatuh menggema bebas mengudara. Mengingat seberapa tebal buku itu, suara yang timbul akibat meluncur bebas di lantai, tidak santai masuk ke dalam telinga orang di sekitar. Berjarak sekitar dua kelas antara tangga lantai dua dengan kelas Vanda. Adrian, Dhava, juga beberapa teman lainnya di sana menoleh ke sumber suara. "Maaf, maaf. Gue nggak sengaja," kata Vanda pada lelaki itu. Buru-burunya musti di tunda sebentar untuk membantu Vanda membawa buku. Membuat Vanda lagi-lagu mengucap maaf dan terima kasih.
Dhava? Iya, cowok itu melihatnya. Tidak lama dan memilih berlalu bangkit dari tempat duduk. Masuk ke dalam kelas tanpa ada kalimat terlontar. Adrian mengernyit. "Nape lu?"
─màdhavaňdá─
Sofa panjang di ruang tv menjadi tempat pelabuhan Kafka. Cowok itu merebahkan tubuhnya di atas sofa. Kaki lurus lalu kedua tangan terlipat di belakang kepala. Merasa nyaman dengan posisi itu, kedua mata Kafka spontan ikut terpejam dilanda oleh kantuk.
Vanda datang dari dapur. Membawa air putih dalam gelas sesuai permintaan Kafka. Sepulang sekolah, tidak ada keperluan yang harus Kafka rampungkan, maka ia memilih membawa laju mobilnya menuju sekolah Vanda. Menjemput cewek itu dan pergi ke rumah Vanda. Tidak melakukan apa-apa, asalkan bersmaa Vanda, Kafka suka itu. "Ngomong-ngomong, siapa cowok yang waktu itu?"
"Siapa?" balas Vanda dengan pertanyaan selesai mengganti saluran televisi berisi berita. Itu membosankan.
"Yang hajar gue, tuh. Kurang ajar banget nggak sih? Untuk Kafka nih orangnya sabar, penyayang, tidak mudah tersulut emosi." Kafka tertawa di akhir ucapan. Sejak tadi masih dengan posisi sama, bahkan berbicara dengan mata tertutup rapat enggan membuka. "Pacar?"
"Dih, bukan."
"Terus?"
"Nggak tahu. Orang gila."
"Gue serius, Vanda. Ada masalah?"
"Enggak."
"Vandana Dinescahara. Lo kayak sama siapa aja sih?"
"Nggak percayaan. Gue juga nggak tahu kenapa tiba-tiba tuh orang begitu, marah-marah sampe pukul lo. Sumpah!"
"Nggak tanya lo?"
"Nggak. Gue ngehindar, dia juga nggak ngomong apa-apa lagi sama gue. Biarin, selesai sekalian."
"Selesai? Berarti ada yang lagi di mulai? Eh, gue tau, lo lagi proses pdkt gitu, kan, sama dia? Ngaku, deh. Masih kecil udah mulai pacar-pacaran, ya? Inget! Lo aja dulu berdarah dikit doang masih nangis-nangis di depan gerbang sekolah gue, sambil ngomong 'nggak, nggak mau. Cuma mau di obatain sama Kafka!' Gitu, kan? Gue jadi lo sih malu banget." Kafka tertawa terbahak mengingat kajadian sekitar 10 tahun lalu.
"Sialan lo! Itu dulu." Vanda melempar remote tv. Jeritan terdengar merasuk bebas ke dalam indra pendengaran Vanda kala Kafka kesakitan. Tahu apa hal yang terjadi? Remote hasil lemparan terjun bebas ke area terlarang Kafka. "Yah, sorry, nggak sengaja Kafka. Sumpah, deh!" katanya merasa menyesal, tetapi juga ada tawa di sela-sela permintaan maaf itu. Melihat raut wajah kesakitan Kafka yang tidak nampak melas tetapi konyol.
"Bangke lo."
Kafka dengan tangan terus berada di sela-sela kedua kaki berjalan mendekati Vanda. Jalan cowok itu tertatih hingga bukannya berhasil mendekati Vanda dan memberi pelajaran. Cowok itu malah terjatuh, lebih tepatnya tergelincir oleh sebuah buku tulis bersampul krem dan plastik tengah tergeletak begitu saja di lantai.
Kekehan Vanda berubah menjadi gelora tawa dalam sekejap. "Akhhhh, kampret," umpat Kafka. Cowok itu kengambil buku tersebut dan melemparnya di atas meja diikuti dirinya untuk memilih duduk kembali. Batal mengejar Vanda yang kini duduk melantai di depan tv juga masih memproduksi tawa menyebalkan tersebut.
Garis pandang Kafka terjebak dalam sebuah tulisan di depan buku tulis tersebut. Bibirnya membawa nama itu. "Dhava?" gumamnya. Mendengar itu, perlahan suara tawa Vanda mulai lenyap dan menghilang. Kafka memandang Vanda. "Tuh cowok habis dari sini? Atau lo minjem bukunya?" tanya Kafka. Vanda teringat suatu hal, buku Dhava belum sepenuhnya ia kembalikan pada pemiliknya. Ada yang tertinggal bahkan ia sama sekali tak menyadari hal itu. Kayaknya gue cemburu, Van.
TBC. Tinggalkan jejak_
untuk kamu; terima kasih sudah membaca
Arqastic

KAMU SEDANG MEMBACA
MADHAVA
Novela Juvenil[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Madhava Catra Airlangga adalah cowok pendiam yang non ekspresif, namun berhasil menyabet kedudukan sebagai kapten basket. Ceritanya ia jatuh cinta diam-diam pada cewek tomboy dan galak. Vandana Dineschara sudah merebut hat...