'madhava; 40'

72 5 0
                                    

TIANG tinggi di samping brankar menyalurkan cairan darah menuju tubuh cewek cantik yang kini wajahnya pucat di sana. Matanya masih terpejam sejak tadi. Mata kosong Cakra terus memandang lurus wujud Rebecca di depannya. Ungkapan mama Rebecca yang membuat tatapan kosong milik Cakra ada sampai kini. Kamu belum tahu, Cakra? Dokter menyatakan Rebecca mengalami leukimia. Kanker darah. Jadi, check up yang ia kira hanya untuk kesehatan itu bukan. Tatkala Rebecca beberapa kali masuk rumah sakit ia tahu itu karena Rebecca hanya tifus dan dehidrasi, nyatanya tidak. Semua orang tidak ada yang memberi tahu kenyataan ini pada Cakra.

Usai insiden sekolah. Rebecca langsung dilarikan ke rumah sakit. Sampai siang ini Cakra di sini, menemani Rebecca setiap detik dalam istirahatnya. Cakra menyayangi betul perempuan di atas brankar ini.

Menyisakan dua manusia dalam ruangan yang hanya terisi oleh suara televisi usai insiden pagi ini. Insiden yang rasanya sulit untuk dilenyapkan dalam memori kepala. Dhava sesekali menyentuh perban di kepala belakang diikuti ekspresi Vanda ikutan meringis seolah merasakan sakit juga. Di atas meja nampak secarik kertas dengan lampiran atas nama sekolah mereka.

Secara resmi sekolah mencabut nama Vanda dari daftar murid di sekolah dengan surat tersebut. Hari ini masalah dan hubungannya dengan sekolah telah benar-benar usai. Mustahil Vanda merasa biasa saja. Jelas ia tidak baik-baik saja saat ini. Tidak ada hal yang bisa membuat semuanya kembali selain menerima dengan lapang dada. Vanda hidup sendirian. Tanpa mama, tanpa papa, tanda saudara-saudara. Membuat ia tidak memiliki penggantung hidup. Jalan sesuai alur meski alur dari tuhan untuknya menyakitkan. Sangat menyakitkan.

"Maaf.."

"Dhav, ini nggak lagi lebaran."

"Gue bisa buat lo balik ke sekolah."

"Nggak akan bisa. Kalau pun bisa, gue nggak akan mau. Nama gue udah benar-benar jelek di sekolah. Lo yang nggak buat salah sama gue pun ikutan kena imbas." Vanda mengalihkan matanya ke televisi. "Makasih untuk semuanya, Dhav. Gue mencoba menerima semua ini. Meski nggak gampang buat gue."

"Bayi ini nggak salah untuk gue bunuh. Lebih baik menanggung tanggung jawab sebagai ibu seumur hidup, dari pada gue harus dihantui rasa bersalah seumur hidup karena bunuh bayi ini." Gue berusaha ikhlas atas semua ini, mungkin termasuk untuk melepas lo di ambang ketidakyakinan..

"Pulang saja, Dhav, jika ini bukan rumahmu. Segala sesuatu jika dipaksa. Bukan bahagia ending dalam ceritanya."

Itu kalimat terakhir dari Vanda sebelum dentingan ponsel mengalihkan percakapan serius dua orang tersebut. Panggilan dari seseorang yang membuat Dhava saat ini berjalan di lorong rumah sakit sebagai perintah menemui si penelpon.

Bentuk tubuh jangkung sosok Cakra Dhava temukan berdiri di depan pintu sebuah kamar inap. Dhava berjalan mendekat. Netranya menjumpai sorot tajam dari netra Cakra. "Lo.. egois, Dhav. Lo nggak ada bedanya sama gue. Bertahun-tahun lo bohong."

"Bangsat!"

Bugh

Brak

Serangan mendadak kembali diterima oleh Dhava. Tubuh cowok itu merosok kasar hingga menghantam kursi tunggu berbahan besi itu. Dhava tidak bangkit dari posisinya. Hanya mengatur napas tanpa menatap Cakra. Matanya menatap ubin putih rumah sakit.

Senja melelenyap tersisa lataran luas warna hitam di langit. Lorong rumah sakit lenyap akan huru-hara riuh aktivitas manusia. Membuat pertikaian antara Dhava dengan Cakra tak ada yang mengetahuinya. Jika kalian bertanya mengapa tak ada balasan dari Dhava, karena dalam masalah ini ia juga bersalah lantaran ikut menyembunyikan masalah ini.

Titik pusat segala permasalahan.

"Gue minta maaf."

"Maaf lo, terlambat." Cakra berjongkok di depan Dhava. Menatap tajam. "Semua berantakan.. karena lo. Termasuk masa depan cewek lo yang nggak lagi baik. So, apa gue salah di sini?"

Cakra berdiri seraya tertawa jahat. "Gue nggak salah."

"Gue korban."

Berusaha berdiri. Sekujur tubuh Dhava terasa remuk. Seharian ini seluruh tubuhnya mendapat serangan keras dari orang yang sama, namun di tempat berbeda. "Gue punya alasan atas semua ini."

"Sebenarnya apa perasaan lo ke Becca?"

"Just friend. Gue nggak pernah anggap dia lebih dari itu. Sampai kapan pun. Cuma Becca ambil persepsi beda dari perlakuan gue. Bahkan, untuk saat ini lo ambil Becca dari gue, silahkan.."

Dorongan kasar lagi di dapatkan oleh Dhava dari kakaknya sendiri. Lagi lagi hantaman di terima tubuh cowok tersebut. Kini menghantam dinding rumah sakit. Luka pagi tadi masih menjejaki wajahnya. Bercak darah pun belum menghilang dari sana. Tidak ada kain kasa atau pembersih yang sempat membelai luka-lukanya. Dibiarkan begitu saja.

Cowok berkaos hitam dan celana cargo hitam kembali menyuarakan suaranya. "Lo urus cewek lo. Gue urus Becca. Tanpa ada campur tangan sedikit aja. Mulai detik ini."

"Sampe lo berani sentuh Becca. Gue pastikan cewek lo bahaya sama gue. Coba dari awal lo jujur, gue bisa jadi support system lebih tulus dari lo untuk Becca. Dan mungkin ... hubungan lo sama cewek lo akan baik-baik aja." Cakra memutus jarak antaranya dan Dhava. Berbisik serak di telinga manusia yang notabene adiknya. "Jangan pernah bawa muka lo ke hadapan Becca. Kita jalani hidup kita masing-masing."

"Masalah ini selesai.." bisiknya.

        ─màdhavaňdá─

Rintik hujan memeluk postur tubuh tinggi seorang pemuda di pinggir jalan. Hampir 8 tahun lebih, halte di seberang jalan masihlah berdiri dengan kokoh di sana. Sebuah tempat yang mungkin tak akan lenyap dalam memory card ingatan Dhava. Trailer singkat pertemuan pertama Madhava Catra Airlangga dengan Vandana Dineschara kembali berkelebat di kepala.

"Gue rindu."

Ponsel hitam di genggaman menjadi garis pandang mata Dhava. Rintik hujan membelai permukaan layar benda pipih nan canggih itu. Tidak ada kepanikan dari Dhava. Bahkan jikalau benda pipih itu rusak, ia sungguh tak peduli. Seusai menjauh dari rumah sakit ia langsung melaju ke pemakaman meskipun sudah sangat larut malam.

Tombol off pada ponsel sudah ia lakukan. Tidak akan dapat ada manusia yang bisa menghubungi ponselnya. Menanyakan ia sedang apa, menanyakan posisinya, atau menanyakan apakah ia baik-baik saja sekarang? Seluruh kepedulian manusia di bumi tak ada tertuju padanya, sedikit pun tak ada. Hanya ada ia sendiri di bumi.

Kakek? Entah bagaimana beliau.

Vanda? Entah, pasti cewek itu tak peduli dengannya. Rasa benci lebih besar dari pada peduli itu sendiri.

Bukan tanpa alasan ia menghilang. Mungkin saja karena harus melenyapkan diri dari hadapan manusia-manusia. Memancing ketenangan yang sulit didapat dari lautan bumi penuh luka. Permukaan tanah membecek perkara air hujan. Dhava menapaki jalan setapak lalu sampai pada dua gundukan tanah beserta dua nisan di atasnya. Tertulis nama almarhum ayah di nisan kanan serta nama almarhumah ibunya di nisan kiri. Hampir setengah tahun tak mengunjungi rumah terakhir kedua orang tuanya. Dhava makin merindukan mereka.

Posisi duduk bersila kemudian kepala Dhava merosok di atas gundukan tanah makam ibunya. Perlahan suara isak tangis mulai membalap suara gemuruh hujan. Punggungnya bergerak naik turun mengiringi tangis. "Ma, Ava kangen. Banget."

"Ava kangen disuapin mama."

"Dibangunin mama tiap pagi."

"Temenin Ava main basket sama papa."

"Nonton film berempat sama abang."

"Kangen lihat senyum mama waktu aku sama abang lagi akur. Saat senyum dan raga mama hilang, aku nggak pernah akur sama abang, Ma. Sampai saat ini."

"Aku butuh papa mama di sini. Please.."

Dhava semakin tenggelam dalam isakan. "Menjadi manusia emang seberat ini, ya, Ma?"




TBC. Tinggalkan jejak_
untuk kamu; terima kasih sudah membaca

Arqastic

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang