KEMANA, Cak? Kemana Dhava?
Dhava lagi sibuk, ya? Sibuk apa?
Aku kangen sama Dhava.
Kok ponsel dia nggak aktif?
Coba cari Dhava. Aku khawatir.Ya, sejenis lima pertanyaan itu selalu Cakra dapatkan ketika bersama dengan Rebecca. Kepala dan hati cewek itu belum lepas sepenuhnya dari Dhava. Maka kini ia tinggal membuat seluruh dunia Rebecca teralih untuknya setelah benar-benar menyingkirkan Dhava. Sampai-sampai perasaan muak menghampiri Cakra ketika lagi-lagi Rebecca mengulang pertanyaan atau mengatakan perkataan yang sama lagi. Dan lagi.
Hampir dua hari Cakra pulang pergi hanya untuk kemari. Menemani Rebecca di kamar atau menikmati taman rumah sakit sore hari. Mengantar Rebecca kemoterapi. Mengingatkan Rebecca untuk tak lupa menelan obat serta membawa tumpukan nasi menuju dalam perutnya agar cepat sehat. Semenjak hari pertama Rebecca di rumah sakit, tak sehari pun terlewat untuk Cakra kemari.
Cakra cukup senang sekarang. Setiap detik dapat menemukan wajah Rebecca di depannya. Sangat tulus cowok itu menemani hingga merawat Rebecca. Akan memastikan Rebecca aman bersamanya. Sementara malam ini, langit malam hanya terus menerus menyajikan rintik-rintik hujan sejak tadi, tak menandakan akan adanya hujan lebat atau sejenisnya. Rebecca sibuk berkutik dengan ponselnya, begitu juga dengan Cakra. "Laper nggak?"
Rebecca menoleh lalu menggeleng. Benar-benar bosan, Cakra memilih ikut duduk di atas brankar bersama perempuan yang tangannya masih terpasang rapi infus. Laki-laki dengan kaos biasa itu menggapai tangan Rebecca dan mengambil alih ponsel untuk ia letakkan di atas nakas. "Jadi sebelumnya cuma Dhava yang tau kalau lo sakit? Kenapa harus sembunyikan hal itu, Becca? Senggak percaya itu kah lo sama gue? Gue sayang sama lo."
"Bukan gitu. Cuma aku nggak mau kamu khawatir, lebih baik kamu nggak tau. Dhava tahu semua ini juga nggak sengaja." Dan akibat Rebecca yang menyembunyikan hal itu dari telinga Cakra, membuat perlakuan baik dari Dhava untuk Becca terjerat salah paham dalam opini Cakra. Jika bukan karena Rebecca menyukai Dhava pun, tidak akan ada kata permintaan tolong untuk menjaga Rebecca dari orang tua cewek itu untuk Dhava. Sehingga tidak akan ada salah paham yang terjadi.
"Lo tau? Gue melukai orang lain hanya untuk buka pintu hati lo, Becca. Seegois dan sejahat itu gue sama orang lain untuk dapetin lo. Gue sungguh cinta, Dhava nggak pernah punya perasaan seperti punya gue untuk lo. Dhava punya pelabuhannya sendiri. Dan lo, bukan tujuannya, tapi lo tujuan gue." Cakra membawa Rebecca dalam pelukannya secara hati-hati.
"Tapi gue sayang sama dia, Cakra. I really love her, not you," kata Rebecca dalam pelukan sahabatnya itu. "Gue? Gue gimana? Orang yang lo cinta belum tentu bisa kasih lo cinta terbaik. Tapi yang cinta sama lo, dia yang lebih bisa kasih cinta terbaik. And it's me, not him."
Wajah Rebecca mendongak cepat ke atas akibat jari jemari Cakra menarik kuat rambutnya. Tentunya Rebecca terkejut dan meringis sakit pada detik itu juga. "Do you love her? Cinta sama dia? Lo bener-bener gila, Becca. Dia cowok brengsek."
"Kamu kak-"
"Dia bawa lo setinggi langit, ketika lo kembali, dia hancurkan hati lo. Apa pantas cewek seperti lo memperjuangkan dia?" Cakra menyela cepat ucapan Rebecca yang belum sepenuhnya usai. Nada bicara yang bergetar milik Cakra terlampaui meluapkan amarahnya.
"Cakra," panggil Rebecca dengan bentakan. "Kamu kakaknya. Kenapa kamu jelekin dia?"
"Dia nggak baik untuk lo!"

KAMU SEDANG MEMBACA
MADHAVA
Fiksi Remaja[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Madhava Catra Airlangga adalah cowok pendiam yang non ekspresif, namun berhasil menyabet kedudukan sebagai kapten basket. Ceritanya ia jatuh cinta diam-diam pada cewek tomboy dan galak. Vandana Dineschara sudah merebut hat...