'madhava; 25'

80 7 0
                                    

LANGIT sepenuhnya mendorong matahari dalam lautan fana merah jambu. Kegelapan menyapa penghuni semesta dengan ramah. Malam minggu tidak akan disia-siakan oleh beberapa orang untuk mengunjungi kekasih. Berjalan-jalan, makan di restoran, atau sekedar deep talk di teras rumah. Seluruh tubuh laki-laki kecuali kepalanya itu mengenakan pakaian serba hitam. Hanya kaos tersembul sedikit di dada dengan warna putih, berbeda dari warna pakaian lain. Cowok itu berjalan menyusuri rumah mewah.

Menemukan pintu coklat dengan garis pink memanjang, Cakra sudah tahu itu kamar siapa. Lantas memberi dorongan pada handle pintu hingga terdorong perlahan. Setengah terbuka, Cakra melangkah masuk. Menemukan seorang perempuan di atas kasur dengan satu cup yoghurt di tangan.

"Hai," sapanya.

"Jalan, yuk? Ku ajak ke tempat bagus, pasti suka."

Double bad, Cakra ikut merebahkan batang tubuhnya di atas spring bed. "Hai!" sapa Rebecca balik. "Mau?" tawaran ia mendapat anggukan dari sang empu. Cewek itu membawa terbang sendok plastik cup yogurt tidak ke dalam mulutnya, melainkan mulut Cakra. Senang hati Cakra menerima tawaran itu.

"Gimana?"

"Apa?"

"Jalan. Ada tempat spesial buat lo. Yuk!"

"Enggak dulu, deh. Nggak enak badan. Kapan-kapan aja, ya? Lagian, Dhava barusan juga dari sini."

"Ngapain?"

"Jaga aku."

"Maksutnya?"

"Tetiba nggak enak badan di sekolah. Dhava antar aku pulang, jaga aku juga. Nggak lama dari kamu, Dhava pulang."

"Kenapa nggak kabarin gue?"

"Heum, harus, ya?"

"Iya!" jawab Cakra tegas. Gue jauh lebih peduli apa pun terkecuali jika itu tentang lo, ketimbang Dhava. Cakra duduk dari posisi sebelumnya tiduran. Duduk menatap foto-foto Rebecca di dinding. 80% foto tentang Rebecca, 19% foto bersama Dhava, dan sisa 1% hanya ada dua foto dengan Cakra. Melihat seseorang yang kita cinta selalu menceritakan dan mengedepankan orang yang dicintainya is another level of pain.

"Gue juga bisa, Re, jaga lo. Lebih dari Dhava jaga lo. Gue yakin itu," monolog Cakra pelan. Itu kalimat terakhir Cakra sebelum keluar dari kamar Rebecca. Mencari tempat mencurahkan emosi yang tepat, mungkin. Cowok itu memilih pergi. Yang ada dalam kepala Cakra hanya sebuah dorongan untuk menghabisi Dhava.

Melenyapkan laju motornya di depan swalayan. Cakra sibuk mengecek dompet untuk mengambil alat pembayaran. Ketika ia turun dari motor, tanpa sengaja menabrak seseorang di belakangnya. Menoleh cepat, Cakra sempat terdiam sejenak mengetahui siapa. Dhava pun menatap Cakra saat keduanya sama-sama tanpa sengaja bertabrakan.

Cakra yang sibuk menatap depan tanpa tahu di belakang. Sementara Dhava sibuk menelisik kantong belanjaan tanpa sadar ada manusia di depannya. Tidak ingin ada keributan, Dhava memilih menutup rapat suara dan hendak berlangsung lenyap dari hadapan Cakra. Pilihannya terhenti tatkala Cakra menahan lengannya mundur lalu mendorong. "Maksut lo apa? Lo tuli ya? Udah gue bilang Rebecca punya gue, masih aja bertingkah. Mau sok jagoan?"

"Maksut lo?"

"Lo dari rumah Rebecca? So, nggak cuma gue di sini yang egois lo juga. Selain itu, lo sebagai cowok terlalu banci. Nggak bisa andal pegang janji. Bener, kan?" Cakra menunjuk Dhava dengan telunjuk di hadapan wajah lalu beralih membawa turun telunjuknya setara dengan dada Dhava. Kembali memberi dorongan.

"Lo tarik Rebecca dari tempat gue sekolah. Semenjak dia satu sekolah sama gue, semuanya runyam. Mana perjuangan yang lo maksut? Lo mau Rebecca, kan? Ambil, tapi jangan dengan cara licik dan bajingan lo. Cukup Vanda yang terakhir." Cakra menyalahkan Dhava, tetapi Dhava juga punya bahan untuk menyalahkan Cakra dan membuat cowok itu sadar.

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang