'madhava; 32'

54 5 0
                                    

BABAK penentuan. Para pendukung semakin menaikkan full semangat menyoraki dan menyemangati sekolah masing-masing. Tanpa di duga, salah seorang lawan hendak menyabet kuasa bola dari kuasa Andrian, kentara sekali sengaja hendak menangkis kaki Andrian. Akan tetapi, Dhava cepat sekali menyadari hal itu hingga cepat menabrak lawan itu sampai tersungkur.

"What the fuck!" Laki-laki dengan nomor punggung 08 itu mendorong Dhava kasar. "Main curang lo ceritanya?"

"You really have no shame. Tempat ini ada cctv, gue lihat sendiri lo mau curang, shit. Perlu bukti, hah?!" Dhava sedikit terlimpung kala mendapat dorongan. "Hell yeah."

"Fucking jerk!"

"Ngatain diri sendiri?"

"Tai."
Memilih diam karena memang yang dikatakan itu benar. Pertandingan kembali seperti semula. Bola kali ini dikuasai oleh lawan. Ketika beberapa detik lagi bisa saja bola itu membobol ring miliknya timnya. Dhava mensejajarkan tubuhnya didepan lawan, mencoba menghalangi. Sekaligus mengangkat tinggi telapak tangan untuk menepis bola.

Bola terus berganti-ganti kuasa di lapangan. Angka pada papan skor menunjukkan kesetaraan 68-68.

Pelatih basket yang sungguh menaruh harapan besar pada cowok bernama Madhava catra airlangga itu menautkan kedua tangannya berharap kemenangan berpihak untuk mereka. Dhava di sana berhasil merebut bola. Larinya cowok itu sambil melakukan dribble diikuti pemain lain di belakang. Hilal-hilal Dhava hendak melakukan loncat shooting, pemain lain tentunya iku melakukan hal yang sama guna manepis bola masuk ke dalam ring.

Dhava malah merendahkan tubuhnya. Secepatnya ia mundur dan menembak kuat dari jarak jauh bola ke dalam ring. Triknya mengecoh lawan langsung menggaduhkan suasana gedung pada saat ini. Skor 70-68 ia dapatkan. Dhava langsung memboyong tubuhnya luruh ke lantai lapangan. Lelah, tapi juga senang. Kemenangan di tangan timnya hari ini.

"Huuuuu, good boy."

Dhava berdiri dari posisinya. Guru pelatih juga teman-temannya memeluk memberi selamat. Dhava di angkat tinggi oleh mereka. Suara pendukung dan teman-temannya merasuki kedua telinga. Tapi, yang ia tunggu adalah suara pelafalan kalimat 'selamat' dari Vanda. "Thanks. Lo semua juga hebat."

Dhava membebaskan diri dari kerumunan. Cowok itu berjalan ke pinggir lapangan. Netranya menangkap kehadiran seseorang yang sama sekali tak lagi terlintas dalam lautan pikirannya. Hanya Vanda yang memenuhi kepalanya dan terus berenang di sana. Tadi ia melihat Jenta memberi selamat pada Andri, akan tetapi Vanda? Kemana perempuan itu? Kini yang hinggap pada kedua matanya adalah sosok Rebecca.

Perempuan itu berlari seraya memeluknya. Memberi selamat. Rebecca sangat memeluk erat Dhava. Ia tahu Dhava tidak lagi ingin bersamanya, namun Rebecca akan bersikeras mendekat seperti magnet.

Dhava tak henti menarik bola matanya kesana kemari untuk mencari Vanda. Ia juga berusaha melepas pelukan dari Rebecca, tapi perempuan itu semakin mengeratkan pelukan. Hingga suara derap langkah seperti setengah berlari terdengar, Dhava menoleh. Sebuah tombak tajam menusuk dadanya laki-laki itu pada detik itu juga. Vanda terdiam sebentar melihat Dhava berpelukan dengan cewek.

Bersamaan dengan perasaan begitu sesak, ia berlari menjauh dari radar cowok itu. Menjauh sejauh mungkin, keluar dari gedung olah raga. Cuaca hari ini hujan, memasa bodohkan hal itu, Vanda tetap menerobos hujan. Lelaki ber-jersey basket itu mengejar dari belakang. Sama-sama menerobos hujan lebat beserta suara petir beberapa kali menyapa. Vanda tidak mau Dhava mampu menggapainya. Benci sebenci-bencinya itu kembali menyeruak.

Dhava berhasil menarik Vanda tepat sebelum cewek itu menyebrang jalanan yang ramai. Pada detik selanjutnya, hal tak terduga terjadi.

bruakkk

Kayu dari atas pohon luruh menghantam sebagian pundak Vanda. Sementara Dhava, leher belakang laki-laki itu yang menjadi korban. Tak hanya satu, kayu besar yang lain dari pohon juga patah mengantam salah satu kendaraan di jalan raya. Dhava masih bisa menopaang tubuhnya, dikondiri seperti ini Dhava masih sempatnya tesenyum ke arah Vanda. Menjadikan cewek itu iba dan menyebalkan diwaktu bersamaan.

"D-dhav, leher lo. Darah ... nya."

Sebagian lehernya penuh darah. Tangan gemetar Dhava menyentuh darah itu. "Lo harus tetap di sini sama gue." Dhava bergetar mengatakan hal itu. Tanpa ia sadari juga, sekitar leher dan pundaknya terlalu penuh darah. Kulit pada bagian pundak juga terluka lebar menyemburkan darah.

Orang-orang menghampiri. Sebagian mengurusi kecelakaan di jalan raya itu, sebagian membantu dua remaja yang juga menjadi korban. Dhava menggendong Vanda ala bridal style ke dalam mobil. Dhava melihat air mata Vanda meluap dari kedua matanya. "Lo kuat..."

"Sakit.

"Jangan tidur, Dhav."
Dhava duduk di kursi belakang. Salah satu orang di sana membawa dua remaja itu untuk segera ke rumah sakit. Dhava berada dalam dekapan Vanda erat. Vanda mencengkram jersey yang di kenakan Dhava sebab ia takut melihat kondisi cowok itu.

"Dhav, bertahan."

"Apa kalau gue bertahan, lo masih di sini?" Dhava bertanya, akan tetapi tidak diperlihatkan wajahnya dan sedang tidak baik-baik saja. Dhava takut Vanda pergi dari radarnya, jauh dan tak lagi terlihat. Vanda semakin bingung. Rasa sakit Dhava di wajahnya tak sepadan dengan yang kini dirasakan oleh hatinya. Ia ingin Vanda dalam ratusan opsi apapun. Tetap Vanda.




TBC. Tinggalkan jejak_
untuk kamu; terima kasih sudah membaca

Arqastic

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang