'madhava; 24'

67 7 0
                                    

PEKATNYA langit malam dan sunyi menjadi teman malam Vanda kini. Bisa saja Vanda mengambil tindakan atau mempertanyakan secara jelas siapa sosok perempuan itu. Akan tetapi, Vanda tetap akan diam saja dan membiarkan Dhava yang mengucapkan sendiri dan menjelaskan sendiri siapa dia. Bukannya Vanda tidak peduli, selama tidak membahayakan hidupnya, ia berusaha tidak mengambil pusing masalah semacam itu. Jika memang Dhava serius, tidak akan ada acara menghilang atau selingkuh.

Ia pikir sih begitu.

Jika di pikir benar-benar. Sekarang Dhava menghilang entah kemana, mengesampingkan Vanda lantas mengutamakan cewek lain. Bukankah itu selingkuh?

Decakan kesal ia lontarkan. Vandana Dineschara melupakan satu hal. Benar sekali bila Dhava menyatakan rasa kepadanya, namun tidak dengan kejelasan hubungan ini. Entahlah Dhava menganggapnya bagaimana. Cukup melihat segala sikapnya siapa pun bisa menyatakan Vanda dan Dhava sedang berada dalam satu ikatan, pacar.

Padahal tidak.

Bentakan petir menggema menggetarkan hati. Pejaman mata sejenak dilakukan Vanda. Cewek itu menghela napas panjang usai melamun panjang. Kembali membawa fokus mata kepada kertas-kertas pelajaran. Merasa tidak ada pekerjaan. Vanda memilih mengerjakan tugas-tugas dengan deadline panjang. Suara gemuruh kembali merasuki telinga. Hal itu bersamaan dengan suara decitan, Vanda menoleh.

Dan saat daun pintu sempurna tersibak, muncul wujud pemuda jangkung. Tubuhnya setengah basah sebab malam gerimis beserta angin kencang membungkus langit kota bandung. "Dhav," ucapnya.

"Van." Cowok itu ikut memanggil.

Langkah kaki mendekat memutus jarak. Melenyapkan radius antara mereka sampai ketika benar-benar dihadapan. Mata tajam Dhava menelisik kedua netra Vanda. Dhava menutup mata sebentar. Terbukanya mata Dhava, tatapan berubah sendu.

"Van," panggilnya lagi. Sekarang, nada panggilan itu merendah yang mana malah terdengar lirih.

Vanda duduk di kursi pantry terkejut. Pelukan erat tanpa aba-aba membungkus badan. Kulit dingin dari wajah Dhava ia rasakan membelai pundak dan leher. Bibir Dhava memberi kecupan lama pada pundak Vanda. Lama sekali sampai akhirnya Dhava memilih merebahkan kepalanya ceruk leher hangat milik Vanda. Tidak ada kalimat tanya meluncur dari sang pemilik badan yang Dhava dekap.

Tidak ada pertanyaan, lantas Dhava semakin membuat lama durasi pelukan malam ini. Entah apa yang terjadi, lagi lagi Vanda tidak ingin bertanya.

Hanya membalas pelukan dilakukan cewek berambut di cepol tersebut. "Lo ngapain?" Suara tanya dari Dhava membuka percakapan, tapi posisi masih sama.

"Ngerjain tugas."

"Kenapa?"

"Nggak ada kerjaan."

"Maaf ...."

"Untuk?"

"Apapun." Sebenarnya kata 'maaf' Dhava ada alasan yang mendasari. Alasan ia meminta maaf karena sebab ia pergi meninggalkan Vanda. Cewek itu merasa kesepian tanpa seseorang di sini. Ia jahat, meninggalkan Vanda lalu memilih bersama lainnya. Semua manusia memang bajingan. Ada yang pernah bajingan, sedang bajingan, dan akan bajingan.

Madhava Catra Airlangga kini sedang bajingan.


       ─màdhavaňdá─

Suara denting ponsel di loker meja menyadarkan Vanda untuk segera mengangkat kepala yang semula ia bawa tiduran di atas meja. Pelan-pelan tangannya meraih benda pipih itu dan menunduk untuk melihat pesan yang masuk. Dan sebuah pesan itu datang mendesaki beberapa notifikasi lain.


Aku tunggu, sesuai janji kamu.


Vanda mulai merutuki kebodohannya yang mau-mau saja menerima kemauan Rebecca kemarin untuk meminta ia mengajari perempuan itu bermain basket. Ya, bagaimana lagi? Mau tidak mau ia harus turun sekarang, menemui perempuan itu ke lapangan belakang sekolah yang jauh dari jangkauan orang-orang.

Vanda mulai berdiri dan berjalan ke depan papan tulis. "Pak, saya izin ke kamar mandi."

"Segera kembali."

Dhava memperhatikan itu dari bangkunya, sama sekali tidak meletakkan kecurigaan pada perempuan itu. Dua hari ini pun mereka tidak saling menyapa di sekolah. Percaya tidak percaya, mereka hanya menjalani hubungan malam hari ketika tidak lagi di sekolah, sore saja Dhava masih sibuk dengan Rebecca.

Rebecca melambaikan tangan semangat saat melihat Vanda sudah berjalan kemari dengan sebuah bola basket di tangan. "Apa alasan lo mau belajar basket? Karena Dhava?" tanya Vanda to the point saat sudah berada di depan Rebecca. Diangguki oleh Rebecca semangat.

"Udah deh ayo, lama kamu."

Permulaan Vanda mengajari Rebecca bagaimana cara memegang bola basket, posisi kaki, juga beberapa teknik dasar. Rebecca juga cukup bagus menerima dan mengikuti instruksinya. Meskipun masih belum bisa pas menerobos ring, namun beberapa kali ia berhasil. "Capek," keluhnya.

"Istirahat?" tanya Vanda. "Muka lo merah."

"Gue harus semangat. Supaya nggak cuman lihat Dhava main basket, tapi bisa main bareng. Yuk." Vanda mengikutnya saja. Kemudian ia meminta Rebecca sedikit jauh dari ring, lalu berlari untuk melempar bola itu tepat masuk ke ring basket. Rebecca melakukannya tiga kali. Akan tetapi, tahu-tahu saja perempuan itu sempoyongan dan terduduk di lantai lapangan. Tangannya memegang kepala, lantas Vanda segera berlari menghampiri. Bermaksut mengecek kondisi Rebecca.

"BECCA!"

Seruan suara lantang menghentikan Vanda dan membalikkan badannya. Dhava berlari melewatinya tanpa menoleh sama sekali. Berlari menghampiri Rebecca. Mengecek keadaan cewek itu. Vanda sama sekali tidak tahu kenapa cewek itu. Yang ia tahu adalah Dhava menggendong Rebecca seraya menatapnya tajam. "Kalau sampai kenapa-kenapa, gue nggak akan maafin lo."

"Tapi-"

"Tapi apa?!" Dhava membentak lantang. Reflek Vanda memejamkan mata terkejut. "Rebecca nggak boleh kecapekkan. Lo ngertiin dikit dong, Van. Lo sengaja, kan?!" Dhava masih meninggikan suaranya. Sumpah demi apapun, Vanda sama sekali tak ada niatan lain kecuali berlatih basket. Soal Rebecca yang tidak boleh terlalu lelah saja Vanda juga tidak tahu, tapi Dhava menyalahkannya habis-habisan.

Usai kejadian itu. Dhava harus terjebak dalan ruangan serba putih dan pinky. Kamar tidur Rebecca di rumahnya sejak pulang sekolah hingga malam.



TBC. Tinggalkan jejak_
untuk kamu; terima kasih sudah membaca





Arqastic

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang