'madhava; 33'

64 6 0
                                    


SELESAI mendapat penanganan dari dokter, Vanda diberi izin untuk masuk ke dalam IGD dengan kondisi tangan usai diobati hingga kini terbalut perban putih panjang hingga siku. Berjalan sedikit tertatih mendekati bilik di mana Dhava usia ditangani. Cewek itu menyibak tirai biru muda khas rumah sakit.

Dhava di sana. Cukup membuat Vanda terkesiap sebab Dhava tak memakai atasan a.k.a telanjang dada karena sebagian pundak kirinya terbalut perban putih untuk menutup luka. Terdiam sejenak sampai Dhava berusaha meraih lengan Vanda. Meminta cewek itu untuk berdiri di sampingnya.

"Van, gue sayang sama lo."

"Iya," sahut Vanda pelan.

"Gue mencintai lo. Selalu."

"Iya."

"Iya aja?"

"Iya."

"Too?" Dhava mengangkat dua alisnya.

"Nggak tahu."

Sial. Setiap kali melihat Dhava dengan wajah tanpa ekpresi sekaligus di buat melas dengan senyum tipis akan membuat Vanda tidak bisa membiarkan Dhava terus begitu. Namun, kali ini Vanda hanya diam berdiri tidak berbuat apa-apa.

Detik selanjutnya, suara tirai tersibak mengalihkan atensi Vanda maupun Dhava saat itu. Menampakkan Rebecca dengan infus di tangan dan selang oksigen di hidung memaksa membuka tirai. Diikuti tiga orang di belakang. Ada hal yang membuat Vanda terkejut bukan main. Seorang wanita dan laki-laki yang Vanda tahu ada di sana.

Wanita bernotanene mamanya beserta Cakra.

Terdiam cukup lama sampai dorongan dari Rebecca untuk Vanda menyadarkan cewek itu. "Keluar!" bentak Rebecca. Vanda keluar dengan menyempatkan diri membawa garis pandangnya pada wanita dan pemuda itu yang entah mengapa bisa berada di sini. Apa hubungan mereka dengan Rebeccca? Makin banyak tanda tanya besar di kepala Vandana Dineschara mengenai semua ini.

Cewek itu keluar.

"Gimana? Ada apa? Kenapa seolah gue orang paling bodoh yang nggak tahu apa-apa di sini, sih?!" Vanda bermonolog dalam lingkup kebingungannya.

Keluar dari Instalagi Gawat Daurat, Vanda duduk di sebuah kursi tunggu. Menumpukan kedua tangan di lutut seraya membawa kedua kelopak matanya tertutup. Mencoba menerka apa yang terjadi meski ia tahu tak ada jawaban yang ditemukan jika hanya dengan menerka tanpa kejelasan.

"Ngapain lo di sini?" Pertanyaan dari Cakra sebatas deheman dari Vanda yang ia dapatkan.

"Lo dari ruangan Becca? Mau apa lo?"

"Apaan sih lo?."

"Bitch. Ngapain bego? Sama siapa?" 

"Gue anter Dhava ke rumah sakit!"

"Lo cari masalah. Tolol. Pikir dong, Van. Pikir kalau lo mau bertindak!" bentak Cakra. Tangannya mencengkram lengan atas Vanda secara kasar tanpa belas kasihan.

"Apa bedanya sama lo? Apa lo udah mikir atas tindakan lo ke gue. Sam-"

"Sudah. 100% udah gue pikir tindakan gue ke lo, karena tujuan gue bukan karena cinta," balasnya cepat. Cakra menarik lengan Vanda, membisikkan sesuatu. "Just revenge."

"Apa maksud lo?" Vanda mencoba menarik tangannya, tapi tenaganya tidak sebanding. Makin ia berusaha melepas, makin juga Cakra menarik plus mencengkram lengan. "Nggak tahu kan lo? Dengan senang hati, gue kasih tau ke lo. Kalau gue dan Dhava, adik kakak."

Jantungnya semakin berdebar. Kepalanya pusing. Kenyataan yang tidak terduga tertangkap oleh kedua indra pendengarannya malam ini. Pasokan udara di radarnya surut seketika. "Dhava?"

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang