'madhava; 42'

59 4 0
                                    


ADRIAN kembali ke kamar usai meletakkan nampan ke dapur lalu kembali lagi ke kamar membawa nampan serupa. Namun berisikan makanan berbeda dari sebelumnya. Masih dengan posisi sama. Dhava duduk di kursi belajar beserta tatapan kosongnya. Tak ada hal yang dilakukan Dhava. Hanya diam. Kalau saja tidak diseret oleh Adrian menuju kamar mandi, mungkin saja Dhava tak membilas tubuhnya dan bergantai seragam sekolah sejak tiga hari lalu. "Makan sana lo. Udah berbaik hati gua ambilin makan. Sebel-sebelnya gue sama lo, gue masih peduli."

"Lo masih nggak akan ke sekolah?"

Tidak ada jawaban. Dhava hanya melakukan 3M; menggeleng, mengangguk, mangangkat bahu acuh. Kalau bukan sahabat sejak Sekolah Menengah Pertamanya dulu. Dapat dipastikan telapak tangannya menampol kepala Dhava dari belakang. "Dhav, makan. Cepet isi tenaga lo sono, nyelesaiin masalah juga butuh tenaga."

Adrian menepuk pundak Dhava lalu mengernyit heran merasakan aliran panas dari permukaan kulit leher cowok tersebut. Merasakan ada yang tidak baik-baik saja di tubuh pemuda ini. Telapak tangannya menggerayai wajah dan leher Dhava. Meraup permukaan wajah Dhava dengan gemas. "Lo demam, Nyet? Aelah, si batman demam. Istirahat lo. Sumpah ye, Dhav. Lo di rumah gue sekarang, lo nurut gue. Makan, biar gue minta tolong bibi ambilin obat. Tiduran aja, jangan kamana-mana. Mau gue bawain, Vanda ke sini?"

"Yan."

Setelah diam tak menggubris. Dhava membuka suara serta suara peringatan untuk Adrian jangan melakukan hal gila; salah satunya membawa Vanda ke hadapannya. Menolehkan kepala dengan menerjang kedua bola mata Adrian mempertemukan netra tajamnya. Cengegesan sekaligus menggaruk kepalanya ia menatap Dhava. "Iye, iye. Yaudah. Gue berangkat. Lo... makan, Dhav."

"Thanks."

"Nggak ganggu kok, Yan." Bukan lagi Dhava berada di hadapan Adrian, buka juga gerbang sekolah berada di hadapan Adrian. Namun, sebuah pintu tua tersibak menampilkan wujud Vandana Dineshcara ada di depan mata Adrian. Katakan saja jika Adrian absen dari sekolah untuk menemui Vanda.

Kata siapa Adrian hanya bercanda soal ingin mendatangkan Vanda ke hadapan Dhava? Ia serius. Ingin keadaan kembali seperti dulu antara Vanda, Dhava, dan semuanya. "Duduk. Jadi gimana?" Vanda telah kembali dari dapur membawa minuman. Duduk di samping Adrian yang tengah melepas tas dan meletakkannya di samping.

"Gimana lo sama Dhava?" Adrian meluncur pada inti pembicaraan tanpa basa-basi.

"Nggak tahu."

"Nggak coba hubungi?"

"Udah. Dua hari cuma centang satu, nggak aktif. Dan, kemaren gue lihat udah di baca, cuma nggak ada balasan. Gue juga coba buat nggak berharap sama dia, meskipun susah. Gue mau coba itu. Toh, soal berita kehamilan gue itu benar adanya. Cuman bukan Dhava yang salah. Bukan dia juga orangnya."

Adrian sempat melempar raut wajah terkejut. "Serius? Bukan Dhava?! Sumpah ya, gue kira dia orangnya. Bahkan, waktu gue pukulin Dhava. Dia diem aja, Van. Sialan."

"Lo pukulin Dhava?"

"Iya. Maaf ...."

Vanda hanya menatap Adrian dengan wajah tak dapat di jelaskan. "Dan, apa lo tahu Dhava di mana?" Pertanyaan Adrian seketika membuat Vanda menggeleng karena memang tidak tahu hal itu. Untuk mengetahui keberadaan Dhava saja dia berusaha menahan semua itu, mencoba tidak peduli meski rasa peduli selalu mendorong dia melakukan pergerakan mencari tahu.

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang