'madhava; 45'

66 6 0
                                    

PERGERAKAN mundur reflek dilakukan cowok itu tatkala sebuah pisau disodorkan oleh Rebecca kepadanya. "Dhavaaa, pleaseee. Aku maunya sama kamu! Bukan Cakra. I love you so much, Dhava. Aku mohon!"

"Nggak semua yang lo mau harus bisa, Becca."

"I dont care. Fuck all and i want you, alwasy, forever. Kamu ... nggak tahu kan, Dhav? Gimana selama ini aku ngejar kamu, aku rela buang waktu sama Cakra supaya bisa lebih lama sama kamu. Apa pun aku maunya sama kamu.. kamu paham nggak sih aku ngomong gini, Dhav?" Rebecca menangis histeris di depan Dhava. Dinding putih rumah sakit beserta kesunyian malam menjadi saksi bisu komunikasi dalam kesakitan dua insan tersebut. "Aku harus apa supaya kamu tetap di sini sama aku? Bukan sama perempuan lain. Kasih tahu aku gimana supaya hati kamu di sini, bukan ditempat lain. Tell me now!"

"Aku udah pernah bilang soal ini ke lo. Ada manusia yang lebih tulus mencintai lo, dibanding dia mencintai dirinya sendiri. Dan itu bukan gue. Lo harus belajar lihat ke samping kanan, kiri, belakang. Ada orang-orang tulus di sana, lo lihat itu. Stop sakitin diri lo sendiri dengan berharap ke hal nggak pasti." Dhava mencoba merebut pisau dari Rebecca. Sekitaran lengan Rebecca memerah akibat goresan dari benda tajam di genggamannya. "Jangan jadi cewek kayak gini ...."

Kegesitan Rebecca manarik tangan untuk menjauhkan pisau dari aksi Dhava yang akan merebut pisaunya lebih cepat. "Cewek kayak gini gimana maksut kamu? Cewek tolol? Cewek bego? Atau cewek murahan?" Nada bicaranya memelan dan lirih. Mengambil segenggam oksigen untuk dihirup, ia kembali membawa naik suaranya. "Aku gini juga karena kamu!" bentaknya.

"Kalau nggak ada kata sama-sama sama kamu di kehidupan ini. Mungkin kata-kata kematian bersama kamu lebih cocok sekarang. Hehe, iya, kan?" Tawa ringan yang dilakukan Rebecca nampak mengerikan di kedua bola mata Dhava. Penampilannya makin tak beraturan. Pakaian rumah sakit yang dikenakan sudah lusuh wujudnya, bercak darah ntah dari mana membentuk absrak di sebagian pakaian. Warna matanya tak lagi putih cerah dengan pancar ceria. Tidak ada lagi Rebecca itu malam ini, yang ada Rebecca penuh kekejaman dan keegoisan.

Sungguh berbanding terbalik.

"Rebecca!"

"Kamu harus mati sama aku, Dhav! Harus."

Rebecca melangkah cepat ingin menghantam tubuh Dhava dengan pisau dan pelukan terakhir dalam hidup keduanya. Karena.. mereka akan mati bersama malam ini di tangan Rebecca Syinevaz.

Just!

"Akh!" Dhava berteriak parau seraya berdesis saat pisau itu menjerumus ke dalam perutnya. "Awsh."

Tungkai cowok itu sengaja ia panjangkan dan menendang pelan kaki Rebecca. Membuat jalan cewek itu tak seimbang dan jatuh ke depan Dhava. Harusnya Dhava bisa menghindar, akan tetapi Rebecca memeluk tubuhnya serta tidak lupa menusuk pisau itu kemanapun asalkan ke tubuh Dhava. Jika ia tidak berinisiatif menjegal Rebecca, pisau itu bisa menusuk tepat di dadanya. Berharap Madhava Catra Airlangga, mati di tangannya ....

Pyarr

Pisau itu melambung bebas ke atas meja kaca setelah diambil alih oleh Dhava dari dalam perutnya. Melempar pisau itu ke sembarang arah. Dan, yang terjadi selanjutnya ialah Dhava menghantam lantai dengan ribuan rasa sakit menyelimuti tubuh. "Yeah. Tinggal aku yang harus mati menyusul kamu, kan, Dhav?" kata Rebecca manis. Rebecca berposisi di atas Dhava. Memeluk cowok itu serta memainkan darah yang tumpah di atas lantai.

"Aku bisa bunuh kamu! Lebih baik kamu mati di tanganku kalau kamu nggak bisa jadi milikku. Dari pada harus lihat kamu hidup, tapi orang lain yang milikin kamu."

"Fuck!" Dhava menepis Rebecca dari atas tubuhnya. Ia mencoba duduk meski desisan rasa sakit terus keluar dari bibir. "Kelakuan lo yang kayak gini, nggak buat apa yang lo mau tergapai. Yang ada.. semua orang dihidup lo akan pergi, Ca. Lo udah gila!" bentak Dhava seraya mencengkram dagu Rebecca hingga membekas di permukaan kulit akibat kuku cowok itu.

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang