'madhava; 18'

88 6 0
                                    

SEMOGA tidak hanya saat ini. Namun, seterusnya hubungan ini membaik. Dhava melangkah keluar dari kamar mandi. Lelaki jangkung berkaos putih dan jeans hitam duduk di kasur Vanda. Menatap cewek itu seraya tersenyum. Tidak ada celana laki-laki bahkan celana Vanda terlalu mustahil untuk cowok itu kenakan, alhasil tetap makai pakaian tadi.

Perban di kepala belakang Dhava tersemat rapi. Meski begitu, Vanda masih merasa khawatir. "Nggak pusing gitu kepala lo?" tanya Vanda di balas gelengan oleh Dhava juga senyum tipis.

Sial. Malam ini ia harus tidur dengan posisi miring ke kiri perkara luka di belakang kepala sebelah kanan masih sangat rawan. Padahal jarum pendek di jam dinding telah hinggap di angka 11, tetapi tidak membuat dua manusia itu berbaring dan menyelami alam bawah sadar. Dhava duduk bersandar di dinding seraya menarik pundak Vanda. Cewek itu mundur dan mendekat untuk lebih nyaman merasakan rangkulan Dhava. "Maaf," katanya.

"Untuk?"

"Maaf aja."

Vanda menyandarkan punggung dan kepala. "Makasih."

"Untuk?"

"Atas keputusan lo tentang gue."

"Iya."

Tidak ada lagi percakapan. Perlahan kepala Vanda terbawa suasana hingga memilih untuk tidak lagi bersandar di dinding, melainkan di pundak cowok itu. Dhava pun begitu. Tangannya naik membelai kepala Vanda juga ikut menumpukan pipi di puncak kepala Vanda. "Sehat selalu, Van. Bahagia selalu."

"Lo juga."

"Sama-sama."

"Iyー" Dyerrr. Bentakan semesta menggelegar kuat di telinga juga membuat senam jantung pada saat itu. Seolah petir tengah memanggil hujan untuk datang membasahi bumi malam ini. Beberapa detik selanjutnya, yang terdenger ialah suara hujan deras. Semakin deras dan mampu meredam suara sekitar, entah itu suara detik jam dinding sampai kendaraan di jalan raya malam-malam begini. Spontan, Dhava menutup telinga Vanda ketika merasakan tubuh cewek itu terkejut mendengar teriakan semesta.

"Eh, kemana?"

Selang beberapa waktu, Vanda buru-buru beranjak dari duduk. Tertahan oleh kalimat tanya dari Dhava. "Ambil ember. Dapur, ruang tengah, deket kamar mandi, sama kamar gue suka bocor," jelasnya. Dhava yang memilih bangkit dari duduknya.

"Lo kasih tahu aja di mananya. Biar gue." Dhava pergi dari radarnya Vanda yang memilih berdiri di depan kamar untuk melihat Dhava memasang ember di beberapa spot bocor di rumah. Terakhir memasangnya di kamar Vanda. Tepat di atas kasur cewek itu. Perasaan iba muncul dalam diri Dhava.

"Tidur di kamar sebelah aja," ajak Vanda. Keduanya tidur di kamar sebelah. Ingat mengenai lukanya, Dhava tidur dengan posisi miring, tepat menghadap Vanda. Keduanya masih belum sepenuhnya terpejam. Saling menatap dalam diam hingga Dhava menyibak surai hitam Vanda ke belakang. Perlahan, tangan Vanda naik ke pinggang Dhava lalu dilanjut dengan lengan Dhava menyelinap ke bawah kapala Vanda. "Vanda," panggil Dhava lirih.

"Mau lihatー" tes tes. Dhava mendongak cepat. Tetesan air dari atas plafon rumah membuat ia menunda ucapannya malam itu. "Yah ...," gerutu Vanda menepuk pinggang Dhava. "Bocor lagi."


       ─màdhavaňdá─

Sedang ada renovasi basement yang biasa menjadi tempat parkir. Terpaksa harus parkir di depan apartemen. Hujan mengguyur kota bandung sore ini. Dari dalam mobil, Dhava membentangkan jaket di atas kepala Vanda. Berlari bersama membelah hujan untuk segera memasuki lobby apartemen.

Dhava mengibaskan jaket tak lupa mengecek kondisi Vanda. Cewek itu tersenyum tipis melihat ekspresi Dhava seolah mengamati keadaannya. Memastikan keadaan Vanda tidak basah, padahal jika berdiri di depan kaca pasti cowok itu tahu. Tubuhnyalah yang paling basah ketimbang Dhava. Hanya saja Dhava tidak peduli  akan hal itu.

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang