"ASSALAMUALAIKUM."
Luapan bunyi dari pita suara sosok laki-laki jenjang yang telah rapi dengan pakaian sekolah saat mentari mulai tersenyum dan timbul di atas langit terdengar. Hingga menimbulkan lipatan kulit pada dahi seorang perempuan yang tengah duduk seraya menempatkan fokus pada tangan nan senantiasa menautkan tali sepatunya. Vanda tak langsung berdiri, melainkan repot dahulu untuk menerka siapa pagi-pagi menghadap depan pintu rumahnya ini.
Tok tok tok
Kembali merasuk suara ketukan pintu menghantam gendang telinga Vanda. Usai benar-benar menautkan tali sepatu, Vanda memboyong kaki untuk diajak melangkah ke ruang utama dekat kamarnya. Lantas memutar 90° benda besi yang berfungsi mengunci papan kayu itu. Telah terbuka sepenuhnya pintu seketika berdirilah raut badan Dhava di hadapan Vanda. Putaran bola mata sebagai tanda malas akan singgahnya laki-laki itu kemari dilakukan. "Ngapain?"
Siapa pun kala mengamati bagaimana raut wajah Vanda detik ini, jutek adalah jawabannya paling pas. Vanda sebenarnya bukan orang seperti itu, namun ia akan menjadi seperti itu ketika bersama seseorang yang tak tepat baginya atau yang mengusiknya. Contohnya saja orang di depan mata ini. "Masih pagi, jangan jutek-jutek nanti dipatok ayam."
"Apaan sih, tijel."
"Tijel?"
"Tidak jelas," jawab Vanda dengan nada suara tinggi. Percaya jika Dhava memang tampan dan mungkin masuk list cewek-cewek sekolah perihal fisik atau otak, namun perihal pengetahuan kamus gaul, Dhava harus remedial dengan nilai merah bahkan bisa saja nol besar. Madhava Catra Airlangga tidak mengerti bahasa gaul anak milenial masa kini, mungkin jika mendengarnya ia pernah tapi tak peduli akan arti atau pentingnya mengetahui hal itu. Hidup terlalu monoton.
"Kenapa harus di singkat-singkat, Van?"
"Ya mana gue tahu sih." Vanda melipat kedua lengan tangan di depan tubuh. "Ada apa pagi-pagi?"
"Jemput lo."
"Buat apa?"
"Buat pdkt." Dhava menjawab itu dengan wajah polos nan tak berdosanya. Ya, tidak salah juga Dhava menjawab begitu karena memang pada kenyataannya itu adalah tujuan Dhava. Hanya saja, terasa aneh kalimat itu di telinga Vanda. "Tapi gue nggak mau."
Dhava masih setia menjulang diam di depan pintu, melihat Vanda masuk lalu selang beberapa detik kembali. Cewek itu mengulurkan tangan kepada Dhava cepat yang mana menciptakan sebuah dorongan pada tubuh Dhava hingga sang empu terpaksa melakukan beberapa langkah ke belakang. Vanda beserta tas telah tersemat pada punggung sedang mengunci pintu. "Katanya nggak mau berangkat sama gue, kok bawa tas, kunci pintu juga."
"Ya menurut lo gue ke sekolah nggak kunci pintu? Nggak bawa tas? Gue mau berangkat pakai angkot kali. Nggak usah kepedean jadi orang." Vanda menunjukkan gerakan ingin melayangkan bogeman tangan ke Dhava, namun cukup terhenti di udara tanpa menyentuh.
"Kalau ada yang mudah, kenapa yang susah?"
"Kalau bisa menolak kenapa harus nerima?
"Kalau bisa tinggal naik, kenapa jalan?"
"Ck, kalau bisa mati, kenapa lo harus hidup sih?!"
"Takdir tuhan."
"Up to you."
Sadar atau tidak, yang pasti kini dua anak manusia itu berjalan beriringan menapaki trotoar pinggir jalan. Vanda terus berjalan untuk mencari angkot, tapi tak kunjung ditemukan. Sedang Dhava, meninggalkan motornya di pelantaran rumah Vanda dan terus berjalan mengikuti Vanda. "Ngintil mulu kayak anak bebek!"
"Kalau lo nggak mau naik motor sama gue, biar gue yang naik angkot berdua sama lo." Dhava berjalan di samping Vanda. Berusaha mengajaknya berbincang tetap tak dapat balasan seimbang. Hanya diam atau sesekali Vanda melirik jutek dengan kedua bola mata brown indah miliknya. Dhava suka memperhatikan Vanda, satu cita-cita sederhananya ialah dapat berkontak mata selama yang ia mau dengan gadis itu. Melihat Vanda, seolah ada aura menenangkan yang lansung memeluk raga Dhava dengan hangat.

KAMU SEDANG MEMBACA
MADHAVA
Novela Juvenil[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Madhava Catra Airlangga adalah cowok pendiam yang non ekspresif, namun berhasil menyabet kedudukan sebagai kapten basket. Ceritanya ia jatuh cinta diam-diam pada cewek tomboy dan galak. Vandana Dineschara sudah merebut hat...