'madhava; 19'

72 6 0
                                    


NYARIS seluruh penghuni sekolah sudah meninggalkan tempat, mungkin hanya anak-anak ekskul dan beberapa guru. Dhava belum beranjak dari sekolah mungkin saking cintanya, sedangkan jika tidak menunggu cowok itu berlatih basket, maka Vanda sudah lelap di atas kasur. Ia sudah meluangkan banyak waktu untuk sekolah, terlalu melelahkan. Setelah hanya duduk layaknya patung, Vanda beranjak dan menemui Dhava di tengah lapangan.

Melihat Dhava berjongkok dengan fokus pada tali sepatu agar saling menggenggam satu sama lain setelah sempat terlepas. Vanda mengambil alih bola malang di tengah lapangan. Membidik bola ke arah ring. Jaraknya jauh, tetapi Vanda mampu menaklukkan jarak dan mempertemukan bola dengan lingkaran ring. "Udah belum sih?"

"Udah."

"Ayo."

"Ya ...."

Dhava mendekati Vanda. Menerjang tubuh cewek itu dengan pelukan. Dekapan erat Vanda rasakan dengan tubuh Dhava. Tidak ada penolakan, Vanda hanya diam dan diam-diam pula ia manikmati pelukan itu. Pelukan yang kini menjadi kesenangan dan selalu menagih. Embusan angin sore datang beserta daun berguguran dari pohon besar, seolah mereka ingin menyaksikan dan menjadi saksi bisu kemanisan Dhava dan Vanda. Pinjam tubuhmu, Van. Untuk ada dalam dekapku, untuk kujaga hingga akhir waktu.


       ─màdhavaňdá─


Mobil sport itu melaju kencang di jalan tol saat sang surya akan menenggelamkan wujud terindahnya. Dermaga menjadi tujuan utama Dhava dan Vanda. Menikmati keindahan magic hour bersama pasangan adalah kagiatan yang memiliki makna keistimewaan sendiri bagi beberapa orang. Kapal-kapal besar mulai merapikan diri berjejer rapi di pinggi lautan.

Jauh dari radarnya, mereka melihat para nelayan yang jauh mulai manarik kapal untuk diparkir di daratan pantai. Dengan sekantung ikan yang akan mereka jual lalu membawa uang untuk keluarga di rumah. Lalu Dhava menarik Vanda untuk duduk bersamanya di atas kap mobil depan.

"Magic hour," gumam Vanda. "Apa lo juga bakal jadi magic hour, Dhav?"

"Gimana?"

"Memberi kenangan indah untuk segera berpisah, bukan singgah. Seperti senja. Memberi keindahan untuk yang menatap, tapi bukan untuk waktu lama, untuk tanda akan berpamitan." Vanda melempar kata puitis untuk cowok itu, Dhava merenung mendengarnya. Menatap dalam diam keindahan di depan sana.

"Puitis banget kalau ngomong." Tangan kirinya ia bawa naik merangkul Vanda. "Bukannya, pertemuan pasti ada perpisahan. People come and go. Kalau pun nanti kita nggak jodoh. Gue nggak marah sama tuhan. Kesempatan untuk kenal lo yang gue syukuri."

"Tapi, gue yang marah sama tuhan. Kenapa pertemuan selalu ada perpisahan. Seperti mama papa. Mama papa bertemu lalu memutuskan menikah, punya anak, tapi harus pisah karena masalah yang entah apa itu. Lalu gue yang belum lama merasakan kasih sayang mama, kita harus pisah. Begitu pula sama papa. Tuhan ambil papa gue. Entah siapa yang akan singgah lama sama gue setelah papa pergi, mungkin nggak ada."

Dhava merasa tersingkirkan. "Posisi gue?Untuk apa hubungan ini kalau bukan untuk waktu lama. Gue stay sama lo, selalu." Dhava berpikir omongan Vanda tidak menganggap dirinya ada dan hadir di sini untuk waktu lama. Mungkinlah Dhava orang yang di kirim tuhan setelah beberapa orang di hidup Vanda pergi. "Gue mau selamanya ... sama lo," bisiknya.

"Sejujurnya, gue masih ragu sama hubungan ini. Ya, meskipun udah jelas gue punya rasa sama lo. Tapi tujuan kedepannya yang masih jadi pertanyaan buat gue." Keduanya kini berjalan di sebuah jembatan di tepi pantai yang mengarah ke tengah. Hujan, iya hujan. Dan keduanya tidak ada niat untuk menepi agar menghindar dari rintik hujan.

Dhava mengikuti Vanda yang tengah duduk di tepi jembatan. "Apa yang lo mau dari hubungan ini?"

Vanda menggedikkan bahunya. "Gue masih ambigu gimana gue nerusin hubungan ini, bahkan untuk planning masa depan gue sendiri aja gue nggak tahu. Gue Cuma mau ada di deket lo, itu aja kayaknya yang tercetus di otak."

"Bagus."

Mengenal Vanda lebih dalam, persepsinya tentang perempuan ini kian berubah sedikit demi sedikit. Vanda yang Dhava kira perempuan jutek dan super gengsi. Nyatanya, dua sifat itu akan musnah jika berjalan semakin dekat mengenalinya. "Di otak gue, juga Cuma lo."

Hujan yang semakin deras membuat Dhava menyipitkan mata karena air yang menerobos mata. "Neduh," perintahnya.

"Ngapain? Nggak usah."

Dhava mengernyit.

"Kenapa? Takut?"

"Nggak. Lo nantang?"

"Maybe." Vanda berdiri merubah posisi, menendang genangan air yang menggenang di permukaan jembatan ke arah Dhava. Cowok itu berusaha mengejar Vanda, tetapi cewek itu lolos. Berlari di tepi pantai  saat hujan begini adalah salah satu momen indah dalam hidup keduanya. Melepas tawa sekeras-kerasnya di bawah air hujan. Dengan harapan agar luka dalam tubuh dan pikiran bisa ikut luruh berjatuhan dengan air hujan. "Promise."

"Apa?"

"Promise, gue akan selalu sama lo."

Vanda menyugar rambutnya yang basah ke belakang. "Lo lempar janji ke gue, bakal gue tepis. Semua laki-laki kalau udah kasih janji, artinya nggak sanggup kasih bukti."

"Nggak boleh?" tanya Dhava. Lelaki jangkung itu sudah berdiri di depan Vanda dengan kedua tangan melingkari bahu perempuan itu, menatap Vanda semakin dalam. Wajahnya ia buat maju untuk memberi sentuhan  antara hidungnya dan Vanda. "Ya," balas Vanda.

Dhava memeluk Vanda di bawah guyuran air hujan. Sedang dalam hubungan yang sepenuhnya belum baik-baik saja, tapi keduanya memilih memendam dan menikmati hubungan ini seperti terlihat baik-baik saja. Padahal mereka tahu, sebuah kepedihan akan hadir sesegera mungkin.




TBC. Tinggalkan jejak_
untuk kamu; terima kasih sudah membaca






Arqastic

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang