TIDAK ada pilihan lain selain menerima, ketimbang harus mengulur panjang perdebatan dengan Dhava. Vanda bisa saja menjawab sepanjang dan selama mungkin, namun kali ini Vanda tidak akan melakukan hal sia-sia. Dengan memilih naik ke boncengan motor Dhava untuk kembali ke apartemen bersama-sama. Sebab beberapa hari ini tidak ada kata pulang bersama. Hanya ada berangkat bersama lalu untuk urusan pulang, urusan masing-masing.
"Arahnya beda. Lo mau kemana?"
"Ke rumah bentar. Ambil buku."
"Untuk?"
"Belajar bareng."
Hari ini menjadi kali pertama Vanda melihat sekaligus datang ke rumah Dhava. Cowok itu sama sekali tidak pernah mengajaknya kemari atau memberi tawaran. Vanda pula tak pernah menagih pada Dhava untuk membawanya kemari. Rumah bernuansa abu putih berdiri kokoh dengan desain cukup mewah. "Tunggu."
Dhava masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Vanda berdiri di samping motor hitam cowok itu. Melihat Dhava baru selangkah akan masuk pintu, kakinya melangkah mundur. Tak lama, diikuti seorang cewek keluar dari dalam. Memeluk Dhava dengan erat sekaligus ucapan 'kamu dari mana aja? Aku tungguin' Vanda dengarkan dari cewek itu. Dia adalah Rebecca.
Vanda terdiam sejenak sebelum melangkah maju mendekat. Belum sempat memulai percakapan, Rebecca lebih dulu melempar pertanyaan. "Kamu? Nagapain? Lho, pulang sama Dhava?"
Gelengan cepat Vanda lakukan. "Bukan. Bukan gitu. Gue cuma nebeng aja kok. Sekalian pinjam buku ke Dhava. Setelahnya gue pulang." Entah telintas dari mana kalimat itu. Namun, setelah mengatakan hal itu, tak sedikit pun Vanda dapati tatapan kesal atau tajam pertanda tak suka dari Dhava.
"Permisi, gue mau ke atas."
Ya, hanya itu kalimat selanjutnya dari Dhava kepada Rebecca yang berdiri di tengah pintu. Kemudian Vanda tersenyum singkat ke arah cewek dengan bandana biru muda tersemat di kepalanya. Vandana Dineschara menunduk menatap sepatu dengan perasaan tidak baik-baik saja. Terkaan tentang Rebecca dan Dhava masihlah berkecimpung dalam kepala. Tidak ada yang bisa memberinya jawaban pasti kecuali dari mulut Dhava sendiri.
Tak lama. Datang Dhava dari dalam rumah. Menyodorkan buku kepada Vanda yang mana hal itu membuat Vanda sempat terkejut. Mengapa Dhava benar-benar melakukan hal ini? Saling menatap sebentar sebelum Vanda pamit kepada dua insan tersebut. "Makasih banyak. Gue pamit duluan."
Lenyapnya wujud Vanda terlahap oleh gerbang besar rumahnya menciptakan perasaan sesak dalam dada Dhava. Bukan hanya Vanda yang merasakan hal itu.
Catat, Dhava juga. Namun, Dhava masih bingung untuk tindakan selanjutnya. Maaf ....
─màdhavaňdá─
Kalau dikata aneh hubungan ini? Vanda sangat setuju. Selesai kejadian di rumah Dhava kemarin, sama sekali belum ada konfirmasi dari pihak bersangkutan. Vanda pun begitu, memilih diam saja. Membuka percakapan baik secara langsung atau via online dari media sosial, sama sekali tidak ada.
Hari ini Vanda beserta kelompoknya melakukan presentasi di depan kelas. Sesekali Vanda mencuri tatap milik Dhava, akan tetapi tak mendapatkannya. Lelaki itu hanya menunduk menatap buku, sesekali menatap depan bukan untuk melihat Vanda. Melainkan layar proyektor yang digunakan presentasi.
"Sekian dan terima kasih presentasi dari kelompok kami. Silahkan bertanya, tapi jangan sulit-sulit. Sedikit kata dari saya : 'Rasulullah shallallhu 'alaihi wa sallam bersabda : Barang siapa menyulitkan orang lain maka Allah akan mempersulitnya pada hari Kiamat. Hadist riwayat Al bukhori.' Terima kasih sekali lagi." Cowok gempal itu menutup presentasi dengan absurd-nya mampu mengundang banyak suara tawa dari teman-teman kelasnya.
Diam tak ada satu pun bertanya. Hingga perrtanyaan dari guru menjadi suara pertama yang terdengar usai hening beberapa saat. "Nggak ada yang tanya ini? Coba deh saya tunjuk. Dhava? Coba lempar pertanyaan kamu untuk kelompok lima."
Dhava menoleh. "Tidak ada, Bu. Semua sudah jelas."
Raut wajah Dhava begitu dingin.
Sebab tak ada yang bertanya. Presentasi diakhiri dan berjalan pada kelompok berikutnya. Duduk kembali di bangkunya, Vanda menjatuhkan kepala di atas meja. Hari ini mood-nya sedang dalam situasi tidak jelas.
Dalam perjalanan menuju kelas usai singgah di kantin. Vanda berjalan menaiki tangga bersama Jenta. Bersamaan dengan itu, dari sisi lain tangga muncul Rebecca bersama, siapa lagi jika bukan Dhava. Cewek itu melirik Vanda sekilas. Tak hanya itu, sangat sengaja ia menabrak pundak Vanda hingga cewek itu nyaris terhuyung.
"Rebecca," peringat Dhava.
"Apa? Nggak sengaja." Jelas-jelas Rebecca beralibi.
"Gue aja yang jalannya nggak bener. Sorry," kata Vanda memutus ucapan Rebecca. Kembali berjalan cepat menaiki tangga kembali ke kelas. Sedangkan Jenta menatap Dhava dengan marah sebentar sebelum kembali meraih sama langkah Vanda.
"Hubungan lo aneh sama Dhava."
"Gue tau."
"Terus? Cewek yang tadi sebenernya siapa?"
"Nggak tahu."
"Kok nggak tahu, sih, Vanda."
"Ya, emang gue nggak tahu."
See, Jenta saja merasa bagaimana hubungan kedua manusia itu tak berjalan semestinya. Apalagi dengan Vanda. Tidak ada kata pergi atau protes yang berasal dari mulut Vanda. Hanya diam membatu tanpa memiliki keinginan kuat melakukan sesuatu.
Dalam ruangan sunyi penuh kegelapan tak ada secercak cahaya sedikit pun. Bahkan, kekuatan untuk menyalakan lampu saja Vanda tidak ada. Wujudnya masih terbalut segaram sekolah. Tatanan rambutnya tak lagi dalam posisi rapi. Hanya merebahkan tubuhnya miring seraya menghadap jendela lebar di hadapan. Fana merah jambu mulai hilang dan lenyap usai suara adzan maghrib terdengar di telinga.
Masih saja belum ada pergerakan yang dilakukan. "Dari awal gue nggak punya perasaan sama lo. Tapi, setiap kali inget kata-kata menyenangkan dari mulut lo, perlakuan lo ke gue, selalu sakit. Apalagi sekarang lo berubah. Gue nggak tahu harus apa, lo pun seolah nggak ada keinginan untuk jelasin tentang hidup lo dan Rebecca." Vanda bermonolog dalam lara.
"Lo biarin gue bingung sendirian." Merubah posisinya terlentang menatap langit-langit kamar. Vanda mengulurkan tangan memberi sapuan halus pada perutnya. Menyikap sedikit seragam sekolah, cewek itu dapat merasakan gejolak aneh di sana. Perutnya makin tumbuh membesar seiring berjalannya waktu. Dan, ketakutan itu pun mulai mengikutinya juga.
Telapak tangan Vanda yang masih di atas permukaan perut mulai mengepal kuat. Dada cewek itu terasa sesak penuh sakit. "Sama lo banyak sakitnya, nggak sama lo malah jauh lebih sakit."
TBC. Tinggalkan jejak_
untuk kamu; terima kasih sudah membacaArqastic
KAMU SEDANG MEMBACA
MADHAVA
Ficção Adolescente[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Madhava Catra Airlangga adalah cowok pendiam yang non ekspresif, namun berhasil menyabet kedudukan sebagai kapten basket. Ceritanya ia jatuh cinta diam-diam pada cewek tomboy dan galak. Vandana Dineschara sudah merebut hat...