TATAPAN sayu senantiasa terpampang nyata dalam kedua netra Dhava. Cowok itu turun dari motor langsung naik ke dalam rumah menuju lantai dua, tempat kamar tidurnya berada. Hawa dingin dari ac menyambut kala tubuh Dhava sepenuhnya masuk dalam ruangan ini. Tahu embusan napas? Hal itu yang dilakukan Dhava saat tubuh tegap cowok itu sepenuhnya ambruk di atas kasur. "Kali ini, gue nyakitin lo lagi, ya, Van?" monolog Dhava pada langit-langit kamar yang hanya bisa dan mendengarkan.
Pintu kamar sepenuhnya terbuka. Menampilkan wujud Kakek beserta dua body guard di samping kanan kirinya. Cowok itu berubah posisi menjadi duduk. Menatap kakek dengan penuh tanya. "Kamu tidak punya tempat tinggal?" tanya Kakek.
Sempat diam sejenak untuk berusaha mencerna suasana apa yang terjadi saat ini. Tidak kunjung paham, menciptakan sebuah pertanyaan kembali dari Dhava atas pertanyaan yang tak ia paham tadi. "Punya. Maksut Kakek apa?"
"Untuk apa ada transaksi apartemen. Kamu beli apartemen tanpa sepengetahuan Kakek. Kamu sembunyikan sesuatu di sana?" Kakek Dhava bukanlah orang yang senang membuang kata untuk basa-basi memulai percakapan Akan langsung tertuju kepada inti pembicaraan pada siapa pun lawan bicaranya.
"Enggak. Cuma mau belajar mandiri." Itu adalah alasan normal. Tidak tahu lagi ia harus berbohong apa. Hanya itu yang terlintas dalam kepala.
"Jika sampai Kakek tahu ada sesuatu di kamu. Tahu, kan, apa yang Kakek lakukan?" Ancaman dari Kakek melambung bebas dalam telinga Dhava. Dan, hal itu membuat kedua telapak tangan Dhava mengepal kuat menahan amarah yang sudah berkecamuk. Merapalkan sumpah serapah kepada dirinya sendiri yang tidak becus menyelesaikan masalah.
Sudah semalaman Dhava menunggu.
Lo datang y ke lomba.
Gue mohon buat lo datang.Dua pesan itu tak kunjung mendapat dua centang biru. Hanya centang satu senantiasa tercetak di layar ponselnya. Melapisi jersey basket dengan jaket boomber tak lupa menyemburkan cairan parfum ke beberapa bagian tubuhnya. Pagi ini Dhava sudah siap untuk melakukan pertandingan di sebuah gedung olah raga untuk mewakili sekolahnya.
Harusnya ia senang sekarang.
Harusnya ia bersemangat.
Dan, harusnya ia akan potimis menang hari ini.
Tapi, tidak. Sebab pesan itu belum kunjung dapat jawaban. Dhava merasa hampa akan hal itu. Entah sudah berapa kali ia melakukan embusan napas pagi ini. Pikirannya sedang tidak baik-baik saja. Vanda. Cewek itu terus berenang di kepala dengan bebas.
Selama perjalanan saja Dhava masih merenungi Vanda sekaligus memegang teguh harapan bila Jenta akan berhasil membujuk Vanda datang ke lomba. Ya, terpaksa Dhava meminta pertolongan pada Jenta sebab cewek itu menonaktifkan semuanya tentang Dhava. Tidak ada celah untuk menghubungi. Hanya Jenta menajadi jalan satu-satunya yang terlintas di kepala.
─màdhavaňdá─
Sorak sorai menyeruak bebas dan kuat ketika Vanda mulai masuk ke gedung olahraga bersama Jenta. Dua perempuan itu menyusup masuk ke gerombolan siswa siswi dengan seragam sekolah sama seperti dirinya. "Duh, Jen, sumpek gue."
"Aelah, temenin gue liat crush."
"Najis."
Jenta ikut bertepuk tangan heboh seperti apa yang dilakukan yang lain. Sementara Vanda duduk di tribun seraya menutup kedua telinga karena berisik. Andai saja Rebecca tidak datang, pasti hari ini Vanda memiliki samangat yang membara seperti Jenta. Ia akan mendukung Dhava. Hanya saja, suasana di antara mereka berubah tidak baik.
Cowok-cowok dengan jersey basket mulai keluar dari ruangan dengan formasi rapi untuk memulai pertandingan pagi ini. Bagian paling depan ada Dhava diikuti teman-teman lainnya. Vanda menangkap itu, entah bagaimana bisa, namun tanpa ia duga matanya langsung menemukan lelaki itu di sana. Auranya susah untuk di tolak, sangat mempesona di mata Vanda. Pasti di mata yang lain, Dhava juga sangat mempesona sekali. Karismatik.
"Huft, mata gue nggak bisa banget di ajak kompromi. Jangan lihatin Dhava terus, dong."
Vanda memilih menunduk. Menyumpal kedua telinga dengan earphone dari dalam tas, menaikkan volume musik. Berusaha mengalihkan perhatiannya.
Di sisi lain. Madhava Catra Airlangga, laki-laki jangkung itu berjuang di lapangan untuk membawa piala dan nama baik sekolahnya. Bersama teman-temannya ia berjuang. Sebagian ruang di kepalanya memikirkan Vanda. Berharap akan kedatangan perempuan itu, kalau pun tidak datang, tidak apa-apa. Dhava memahami itu. Kalau datang, ia berharap perempuan itu adalah orang pertama yang mengucapkan selamat dan turun ke lapangan menemuinya. "Gue sama teman-teman pasti bisa."
Waktu berjalan hingga 10 menit, ring sama sekali belum terbelai oleh bola basket. Dua tim itu masih sibuk berusaha untuk menguasai bola. Telah berhasil menguasai, hendak menggiring bola mendekati ring, ada saja halangan yang hadir. Tidak mudah tersulut akan kecohan lawan menjadi salah satu alasan. Sebab kedua tim di sini sama-sama kuat.
Dhava merebut bola lawan, segera mendrible bola. Hadangan dua orang di depan mengarahkan laki-laki itu untuk mengoper bola ke teman. Dhava berlari mendekati ring, bola kembali melambung pada kuasanya. Pluk!
Skor unggul 2-0 setelah beberapa saat skor belum bertambah dari awal. Kembali bergelut membobol ring lawan. Beberapa saat berlalu, sekolah lawan lebih unggul dengan total skor 16-20 yang mana hal itu sekolah Dhava sedikit di bawah mereka.
Vanda berusaha terus mencari kesibukan agar kedua matanya tak menatap ke lapangan. Namun sulit, akhirnya ia memilih ikut melihat pertandingan meski tatapannya kosong. Entah ia harus ikut senang saat tim sekolahnya berhasil mencetak skor atau tidak senang, lantas ia biasa saja. Pertanda seluruh peserta lomba diperbolehkan istirahat, seluruhnya menepi. Tak lama, Andri dan Beni datang. "Dateng ternyata," cibir Andri kepada Vanda.
"Dipaksa."
"Eh, Ndri. Nih minum." Jenta menyodorkan sebotor air mineral. Melihat hal itu Beni ikut berkomentar. "Andria aja nih? Gue? Pelit banget. Kalau kasih tuh semua, bukan satu aja. Keliatan pilih kasihnya."
"Bacot lo."
"Gue udah ada kali, Jen, di bawah sana. Tapi kalau di kasih, ya, deh. Thanks, ya."
Jenta mengangguk.
"Nanti kalau sekolah kita menang. Lo ucapin selamat ke Dhava. Mau? Nggak maksa sih gue, cuman saran." Andria menepuk pundak Vanda. "Gue ke bawah lagi, ya. Mau titip salam?"
Vanda mengangguk pelan. "Iya, bilangin aja semangat." Andri terkekeh pelan lalu melempar tangan dengan simbol 'oke' untuk Vanda. Kepergiannya terhalang sebentar oleh Jenta dan memberi kalimat 'semangat' untuk Andri. Di sisi lain Beni memberengut kesal, mungkin cemburu.
Jenta tersenyum sendiri di sebelah Vanda. Ntahlah apa penyebabnya. Karena tak lama kepergian Andri, Dhava datang, berdiri di depan Vanda. Mengetahui kedatangan laki-laki itu, Vanda ikut berdiri. "Kenapa?"
Dhava tersenyum tipis. Salah satu tangannya menjulur melingkari pinggang Vanda. Cup.
Serangan maut Dhava barusan membuat seluruh tubuh Vanda beserta isinya melayang tak karuan. Tidak, tidak hanya perempuan itu, siswa siswi di belakang mereka dibuat menggigit bibir kuat-kuat karena melihat kemesraan tersebut. Perkara cowok itu mendaratkan kecupan singkat pada kening Vanda. Lalu tangannya terangkat memberi sapuan halus di pundak dan pipi. Sebelum benar-benar pergi, Dhava menyempatkan memberi pelukan singkat. "Doain gue menang, ya." Setelahnya Dhava pergi, berlari menuruni tribun menyusul yang lain.
TBC. Tinggalkan jejak_
untuk kamu; terima kasih sudah membacaArqastic

KAMU SEDANG MEMBACA
MADHAVA
Teenfikce[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Madhava Catra Airlangga adalah cowok pendiam yang non ekspresif, namun berhasil menyabet kedudukan sebagai kapten basket. Ceritanya ia jatuh cinta diam-diam pada cewek tomboy dan galak. Vandana Dineschara sudah merebut hat...