'madhava; 43'

58 5 0
                                    

JENTA. Jelas masih ingat dengan perempuan itu, kan? Sahabat Vanda. Cewek itu sempat menemui Vanda usai kejadian beberapa hari lalu. Cewek itu mencoba menerima kenyataan yang menimpa Vanda, meski awalnya rasa tak percaya akan hal itu melingkupi diri. Sejak saat itu, wujud Vanda tak akan pernah lagi terlihat di sekolah ini. Tanpa dijelaskan, kalian tahu penyebabnya. Tidak hanya itu, Rebecca juga memutuskan keluar dari sekolah atas permintaan papanya. Tidak ada satu semester cewek itu sekolah.

Wujud Jenta duduk sendiri di bangku yang biasa ia duduki berdua dengan Vanda. Bangku sebelah cewek itu kosong sampai entah kapan atau ada tidaknya manusia akan mengisi tempat itu. Kedua indra penglihatan Dhava sesekali baik sebentar atau cukup lama ia bawa terpusat pada bangku kosong itu. Miss you... in here.

Pemuda itu merindukan si pemilik bangku yang telah pergi dari singhasananya. Tidak lagi ada perempuan yang senang mencuri pandangnya ketika guru menjelaskan ia akan diam-diam melirik. Saat berbeda kelompok tugas di sekolah, maka Dhava juga akan diam-diam melirik Vanda. Saat pagi datang ke sekolah, wujud yang paling ingin ia temui jelas Vanda. Kala istirat tidak ada lagi seseorang yang akan ia pesankan makan atau belikan roti saat dia malas pergi ke kantin. Benar-benar merindukan itu semua.

Sepulang sekolah juga tidak ada siapa-siapa di jok motornya. Ketika keluar dari sekolah, Dhava mendapat pesan dari Cakra lewat ponsel.

Di tempat berbeda, laki-laki dengan hoodie hitam dan kepala yang tertutup oleh tudung hodie miliknya sendiri itu menarik paksa perempuan yang sudah memohon untuk tidak terlalu kasar. "Aw, Cakra. Sakit." Iya, laki-laki itu adalah Cakra dan perempuan yang kini sedang Cakra tarik dengan paksa dalah Rebecca. Cowok itu membawa Rebecca masuk ke dalam sebuah basement apartment tempat tinggalnya.

"Gue mau ngomong."

"Nggak usah kasar! Ngomong aja."

"Lo lebih suka cowok baik atau jahat?"

"Baiklah."

"Cowok yang setia atau nggak setia?"

"Setia."

"Cowok yang masih single atau taken?"

"Jelas single." Rebecca terpojok di dinding dengan kerutan di dahi tercetak jelas karena bingung dengan sikap Cakra. "Kamu kenapa?"

"Dan Dhava bukan termasuk tipe cowok yang kamu pilih atas jawaban kamu tadi?" ucap Cakra dengan tegas. Kini pembicaraannya berubah menjadi aku-kamu entah dengan alasan apa. "Nggak. Dhava itu baik, nggak jahat. Dhava setia kok, dia mau tunggu aku setelah lama pergi ke singapura. Dhava juga masih single, nggak usah ngarang, Cakra." Rebecca berusaha menepis segala asumsi buruk tentang Dhava yang ditorehkan oleh Cakra padanya.

"Ya, karena lo belum tahu betul gimana Dhava sekarang."

"Lama kepergian lo, banyak hal yang berubah sebenarnya. Semua yang lo lihat sekarang berbeda, Becca, nggak sama. Yang masih tetap dan nggak berubah itu perasaan gue untuk lo. Dhava udah menemukan cintanya, sementara lo? Lo mengabaikan cinta yang udah siap buat lo bahagia dan sibuk ngejar seseorang yang orang itu sendiri juga sibuk ngejar cinta lain."

Rebecca mengerang antara bingung karena segala ucapan Cakra tentang Dhava dan juga kesal karena Cakra masih bersikeras tentang perasaan yang dimiliki untuk dirinya. Sampai kapanpun Rebecca tidak mau memiliki hubungan lebih dengan Cakra.

Suara derap langkah sepatu yang menuruni tangga membuat dua manusia itu menoleh ke belakang. Sosok tinggi dengan seragam sekolah terbalut jaket denim hitam berjalan mendekat sampai anak tangga terakhir ia berhenti. "Bener kata Cakra, gue nggak sebaik yang lo kira, Becca. Setelah lo pergi, semua berubah. Yang tulus di sini Cakra, Re, bukan gue. Dari awal kita kenal, lo Cuma gue anggap sebagai sahabat, nggak lebih.

Gue harus jujur. Gue udah punya pasangan, bukan sekedar pacaran, tapi gue udah menikah sama dia. Gue menikah karena gue harus tanggung jawab atas kesalahan. Siapa perempuan itu, lo tahu. Dan, satu hal yang perlu lo tahu. Gue sangat mencintai dia dan.."

Rebecca berteriak saat itu, "Dan apa?! Enggak. Kamu bohong. Kamu bohong, Dhava. Kamu cintanya sama aku! Nggak lainnya!"

"Dan anak gue."

"Stop ya, Bec. Jangan sama gue lagi. Maaf..."

Dhava kembali menaiki anak tangga. Pergi dari hadapan dua manusia di depan tangga kini. Rebecca menepis tangan Cakra dan menaiki tangga untuk menggapai kembali wujud Dhava. Pergerakannya tertahan karena tarikan tangan Cakra. Tubuh Rebecca terhuyung ke belakang menghantam tubuh Cakra.

"Jangan."

"Lepas, Cak! Aku mau ke Dhava. Kalian semua bohong," sergah Rebecca. Berusaha melepas kaitan jari-jamari Cakra di lengannya.

"Nggak ada yang bercanda di sini, Becca."

"Mau apa lo sekarang? Gue sayang sama lo. Kapan sih lo lihat gue ada sebagai orang yang cinta sama lo, bukan sekedar sahabat, Ca." Cakra semakin tidak ada ampun bila Rebecca terus memberontak ingin mengejar Dhava. Cowok itu mencengkram dua lengan Rebecca hingga merintih kesakitan. Tanpa di duga, kaki Rebecca melayang menendang tulang kering Cakra dengan tanaga tak terbilang biasa saja.

"Apaan sih kamu, Cak? Aku gak pernah peduli sama perasaan sialan kamu itu. Karena kamu suka aku, Dhava jadi menghindar. Iya, kan? Bukan karena memang Dhava punya hubungan spesial sama cewek itu." Rebecca memasabodohkan Cakra yang tengah kesakitan. "Stop suka sama aku, karena sampai kapan pun aku nggak akan pernah mau tahu!"

Deg!

Debar jantung Cakra berhenti sangat sebentar karena efek ucapan Rebecca barusan. Cowok itu tak percaya bila perempuan kecintaannya akan mengatakan hal itu. Mengingat dan apalagi Cakra adalah manusia dengan sumbu pendek. Mudah terbakar hingga meluapkan emosi. "Becca, salah ya perasaan gue?"

"Salah!" bentak Rebecca.

Cairan bening tercipta perlahan di sela-sela mata Cakra. Tuhan rasanya tak lagi peduli dengan manusia itu. Manusia-manusia saja tak ada yang peduli, apalagi dengan tuhan? Apakah tuhan marah? Cakra melepas cengkraman tangannya di Rebecca. Kemudian Rebecca berlari menaiki tangga. Bukannya menggapai wujud Dhava yang telah lama hilang. Cewek itu terjatuh di pertengahan anak tangga. Rebecca mendadak pusing serta mengucurkan darah dari hidungnya. Rintihan sakit menguar dari mulutnya. "Awsh.. s-sakit. Tolong..."

Tak ada reaksi. Cakra menatap Rebecca dari tangga bawah. Air matanya menetes perlahan. Matanya memerah serta  kedua telapak tangan terkepal begitu kuat. Kuat sekali. Ada amarah membara di dalam kepalan tangan tersebut. "Gue harus peduli atau gak?"




TBC. Tinggalkan jejak_
untuk kamu; terima kasih sudah membaca

Arqastic

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang