'madhava; 46'

59 6 0
                                    

TUNGKAI kaki Dhava beradu cepat dengan lantai rumah sakit. Cowok itu berlari di koridor sunyi. Sama sekali tak dapat mendefinisikan bagaimana perasaannya saat ini kala seorang wanita membawa nomor Dhava dalam sebuah sambungan telepon. Pertama kali ia mendengar tangis pecah di sana. Beliau melempar kabar duka kepada Dhava mengenai kematian Rebecca malam itu.

Di persimpangan koridor malam itu, dua pemuda jenjang bersamaan akan masuk dalam ruangan rawat. Cakrata Mega Airlangga mendorong tubuh Dhava ketika cowok itu juga akan melakukan hal yang sama dengannya. "Pembunuh," bentaknya kepada Dhava.

Berusaha menyeimbangkan tubuhnya. Dhava terdiam di depan pintu ruangan. Menatap dari radius jauh seseorang terselimuti kain putih di atas brankar. Semua masih terasa mimpi dan menyakitkan. Terakhir kali Dhava bersama Rebecca, keadaan mereka berdua tidak baik-baik saja. Tanpa ia kira sore itu sebagai waktu terakhir bersamanya

Lantai tanah pagi ini menjadi pijakan terakhir setelah semalam menapaki lantai dingin rumah sakit semalaman. Beserta pakaian seba hitamnya Vanda berdiri di samping Dhava dengan jari jemari lelaki itu terus di bawa untuk mengenggam jari jemari Vanda.

Sepenuhnya manusia-manusia dengan ucapan turut berduka cita mulai lenyap dan pergi satu persatu dari area pemakaman Rebecca hari ini. Lamat-lamat Vanda merasakan pergerakan dari Dhava untuk mengeyampingkan tubuh Vanda menghadapnya. Masih dengan wajah datar, namun menyimpan duka mendalam. Cowok itu mengulurkan perlahan tangan mendekati area tubuh Vanda.

Mulai memahami makna pergerakan Dhava. Vanda lebih dulu membawa cowok itu dalam pelukan. Dhava melakukan pelukan erat tanpa celah. Menanamkan dagu pada pundak Vanda dan mencari titik kenyamanan di sana. "Nangis aja. Cowok juga manusia. Saat mereka nangis, itu bukan sebagai titik kelemahan. Kan, manusia tempatnya kesalahan dan kelemahan." Jika biasanya Dhava yang akan memberi sapuan halus di punggung Vanda. Dan, pada situasi kali ini mereka bertukar peran. Vanda berdiri tegap memberi pelukan yang Dhava butuhkan.

Tak jauh dari radius mereka berdiri. Kedua mata Cakra mengamati dua insan tersebut. "Nikmati bahagia kalian sekarang, sebelum hancur.."

          ─màdhavaňdá─

Mungkin kapasitas air matanya telah habis di makan rasa sakit lainnya sejak bertahun-tahun lalu. Hingga
saat kematian orang tercintanya, tak ada air mata yang mengalir deras seperti tahun-tahun sebelumnya. Tak ada lagi. Mungkin telah benar-benar habis.

Fana merah jambu menggemparkan langit kota bandung hingga sepenuhnya lenyap berubah hitam legam, Cakra masih sangat setia duduk di samping gundukan tanah. Membayangkan terus menerus kenangan mengenai kebahagiaannya dengan Rebecca. Kenangan sesaat, tetapi melekat kuat.

"Kenapa kita nggak mati bareng, Bec?"

Ucapan turut berduka cita tak hentinya terdengar di telinga mama serta papa Rebecca hari ini. Begitu pun Vanda tak lupa memberi ucapan serupa seperti orang lainnya. Menepikan rasa tak baik-baik saja setiap melihat mamanya. Bagaimana dulu ia ditendang karena mencegah mama keluar dari rumah karena takut. Takut hanya berdua dengan papa di rumah yang sedang sakit-sakitan.

"Vanda pulang dulu, Tante."

Sebutan 'tante' yang menyembur dari mulut remaja perempuan itu membuat hati wanita di depan Vanda mencelos. Venia menatap anak perempuannya dengan perasaan tak baik-baik saja. "Vanda..," panggil Venia pelan. Membawa kedua tangannya pada lengan Vanda.

"Mama minta maaf."

"Vanda ikhlas. Tante sudah punya kebahagiaannya sendiri di sini. Vanda.. baik-baik aja. Semoga tante juga," kata Vanda. Ya tuhan. Perasaan Venia sungguh buruk. Flashback di mana ia memaksa darah dagingnya sendiri untuk tak memanggilnya dengan sebutan 'mama' dengan alasan apa pun itu kembali berputar dalam rekaman kepalanya.

Saat ini Vanda benar-benar menuruti permintaan itu. Penyesalan memang selalu datang di akhir, Venia merasakan itu semua. "Vanda, mau tinggal di sini sama Mama?" tanya Venia lembut.




TBC. Tinggalkan jejak_
untuk kamu; terima kasih sudah membaca

Arqastic

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang