GEMURUH amarah mendidih dalam kepala Cakra kecil. Satu isi rumah dibuat bingung harus melakukan apa karena sejak siang, Cakra merengek terus meminta menelpon papa dan mama untuk segera pulang. Mereka sedang menghadiri acara di luar kota mulai pagi dan kemungkinan besar akan pulang larut malam. Namun, segala erangannya kepada asisten rumah tangga membuat semua kalut. Di sisi lain, Dhava berada di pelukan salah satu asisten rumah tangga. Tidak tahu harus bagaimana. Bahkan di luar hujan dengan beberapa kali suara petir menggelegar hebat.
"Mbak, Abang gimana?"
"Den Dhava di sini aja sama mbak ya? Den Cakra biar di tenangin dulu.. jangan takut, Den. Ada mbak."
Dentingan suara telepon dari dekat almari memenuhi ruangan. Salah satu asisten rumah tangga paling tua di antara kelimanya mengangkat telepon. Terdengar serius berbicara dengan sosok di balik telepon rumah itu. "Astagfirullah. Innalillahi.." serunya dengan wajah ketakutan. Tangannya yang mulai mengeriput bergetar. Beliau duduk di lantai dengan menatap Dhava kecil juga Cakra bergantian.
Dhava melepas lengan perempuan yang melingkari pundaknya. Berlari ke arah wanita paruh baya itu dengan segala tanda tanya. "Bi, kenapa?" tanyanya pelan. Dhava duduk di depannya dengan wajah bingung tanpa arti.
Cakra terdiam melihat keduanya. Tidak ada jawaban selain suara tangis Bibi pecah sepenjuru ruangan. Ia memeluk Dhava erat dengan air mata terus berderai tanpa ada yang bisa menghentikan untuk saat seperti itu. Bersamaan dengan itu, suara petir kembali terdengar yang mana semakin membuat suasana mencekam dan sedih terasa dilingkup mereka. Kala televisi rumah menyala. Chanel televisi yang biasa menyiarkan berita muncul menjadi urutan pertama saat menyala.
Sepasang suami istri tewas dalam kecelakaan di tol pasteur.
Judul dari berita malam ini memecah keramaian di dalam ruangan. Seketika menjadi sunyi cukup lama sebelum kembali membual tangi-tangis kesedihan dari kerabat korban. Yang membuat mereka percaya siapa sosok dibalik tragedi kecelakaan itu ialah telepon dari polisi melantunkan jelas nama orang tua dari Cakra dan Dhava telah tewas di tempat kecelakaan, di tol pasteur saat akan kembali ke kota bandung untuk perjalanan pulang.
Gas pada kendaraan yang terlalu ditancap di atas rata-rata menjadi penyebab utama kecelakaan terjadi. Mobil pengendara menabrak pembatas jalan diikuti tabrakan dari belakang oleh mobil lainnya.
"Gue terlalu egois ya, Dhav?"
"Gue nggak bisa jadi yang terbaik untuk Becca."
"Gue nggak becus jadi abang lo."
"Gue ngerusak hidup Vanda."
"Gue rusak hidup lo."
"Karena gue ... mama papa harus pergi duluan."
"Karena gue juga, semua masalah ada. Gue harus apa supaya kesalahan gue bisa dimaafin?" tanya Cakra dari balik kaca karena pengunjung di lapas tak diperbolehkan tatap muka langsung oleh tahanan. Cakra menatap Dhava penuh rasa bersalahannya.
"Sekarang lo tahu kan apa alasan gue selalu dekat sama Becca, Bang? Gue bukan suka sama dia, gue terlanjur janji tanpa tahu risiko kedepannya."
Dhava berdiri dari duduknya. Masuk ke dalam sebuah ruangan cukup lama sebelum kembali ke luar bersama salah satu petugas. Petugas itu mempersilahkan Dhava masuk. Membuat kedekatan antara Cakra dan Dhava tak ada pembatas kaca seperti tadi. Cukup lama Cakra menatap, sebelum mendekat dan memeluk adik semata wayangnya. Petugas memberi izin untuk Cakra dan Dhava bisa bertatap muka secara langsung.
"Bilang sama gue, Dhav. Bilang kalau lo belum maafin gue atas semua ini. Bilang ya ...."
"Bang."
"Bilang aja, Dhav. Nggak ada manusia yang dengan mudah lupain kesalahan yang kayak gue perbuat. Cepet, Dhav." Pelukan Cakra mengerat dengan suara lirih mendominasi antara mereka.
"Gue mau marah kayak apa juga, semua udah kajadian. Sekarang lo jangan ngemis maaf dari gue, lo belajar untuk jadi lebih baik. Tata hidup lo untuk ke depannya."
Cakra mengendurkan pelukan. Menatap Dhava lalu menyatukan kening mereka. Jari jemarinya mencengkram pundak Dhava. "Janji sama gue.."
"Janji sama gue, Dhav, untuk nggak buat kakek kecewa seperti gue ke dia. Lo jangan jadi kayak gue. Jaga kakek." Tepukan di pundak dilakukan Cakra untuk Dhava. Ini adalah kali pertama mereka memiliki jarak sedekat ini dengan nada bicara pelan penuh perasaan. Bukan seperti sebelumnya, baik jarak dekat maupun jauh akan tetap menggunakan nada tinggi disertai amarah memuncak dimasing-masingnya.
"Dan jaga Vanda ...."
Tapi Vanda nggak mau lagi gue jaga, Bang. Dhava mengangguk saja dan memeluk Cakra. Tangisan tersedu Cakra lakukan di dalam pelukan itu. Ia terlalu jahat kepada dunianya sendiri dan berdampak kepada dunia orang lain. Tak mau melepas pelukan itu, dinding lapas sore ini menjadi saksi bisu Madhava Catra Airlangga dengan Cakrata Adena Airlangga berdamai atas segala permasalahan dan kesakitan.
─màdhavaňdá─
Setiap bulan Dhava akan selalu menyempatkan diri menemui wujud Cakra di dalam lapas. Bebincang ringan dan makan bersama seraya menatap aktivitas pengunjung lain yang juga menemui kerabat masing-masing. Semua manusia kembali pada aktivitas awal; Cakra menyelesaikan masa tahanannya, Dhava kembali fokus belajar di sekolah, Vanda pun begitu meski di tempat jauh berbeda dengan Dhava. Sampai kini tak ada lagi komunikasi antara mereka. Tapi Dhava tetap diam-diam menjadi sosok manusia penguntit hidup Vanda. Mencari tahu segala hal tentangnya. Ya meski semua kembali pada jalannya masing-masing. Perasaan ganjil antara Dhava dan Vanda jelas-jelas mereka berdua rasakan, perasaan untuk saling kembali itu ada. Tapi tidak dilakukan.
Setiap malam, Cakra ditemani pena hitam duduk di bawah pohon. Di atas kertas ia merangkai banyak aksara yang tersusun rapi untuk seseorang. Lalu ketika Dhava datang, ia memberikannya untuk Dhava. Kemudian Dhava pun melakukan hal yang seperti diminta oleh Cakra. Pergi diam-diam ke rumah Vanda dan meletakkan surat itu di kotak pos depan tanpa ada siapa pun yang tahu kecuali ia, Cakra, dan tuhan.
"Nanti .. ke makam mama papa ya kalau lo udah keluar."
Cakra melahap sushi yang mana sengaja Dhava bawa untuk Cakra siang ini. Cowok itu mengangguk. "Kangen gue, lama banget gak kesana. Bahkan ya, kalau di inget. Gak sampe tiga kali gue jenguk mama papa. Gue mau tebus kesalahan itu."
"Iya."
"Sampein salam ya, Dhav."
"Iya." Dhava menghela napas lalu mengangguk. "Sama ... ke makam anak lo juga, Bang."
Tbc. Tinggalkan jejak_
untuk kamu; terima kasih sudah membaca
Arqastic
![](https://img.wattpad.com/cover/294507359-288-k958494.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MADHAVA
Novela Juvenil[ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Madhava Catra Airlangga adalah cowok pendiam yang non ekspresif, namun berhasil menyabet kedudukan sebagai kapten basket. Ceritanya ia jatuh cinta diam-diam pada cewek tomboy dan galak. Vandana Dineschara sudah merebut hat...