'madhava; 27'

61 4 0
                                    

MERAH jambu memancarkan wujudnya di atas langit, menaungi seorang cewek berkaos putih dengan celana training jogger membalut kedua tungkai kakainya. Bola basket sejak tadi tidak lepas dari kuasanya. Nyaris tiga jam sejak pukul setengah empat, Vanda hanya berada di lapangan basket apartemen. Sampai langit merubah warnanya, Vanda belum beranjak pergi.

"Kenapa nggak ajak?"

Vanda menoleh cepat. "Hm." Hanya gumaman terdengar dari Vanda, bukannya apa. Vanda hanya bingung harus menjawab bagaimana akan pertanyaan Dhava. Cowok itu sudah berdiri di belakangnya, entah mulai kapan.

Dhava sendiri sudah berdiri sekitar lima belas menit dari radius jauh. Memperhatikan beberapa kepiawaian Vanda mengusai bola basket dan membuat ring bobol beberapa kali dengan tembakan.

Hawa  dari suasana canggung menyelimuti kedua insan itu. Berusaha membuat keadaan seperti semula, Dhava melangkah mendekat dan mengambil alih bola basket di tangan Vanda. Menembak bola lalu berhasil menerobos lingkaran ring. "Yuk!" ajak Dhava, tersenyum tipis menatap muka datar Vanda. Bukan datar, lebih ke arah bingung harus bagaimana merespon.

Berjalan mendekat, berdiri di samping Dhava. "Gue tantang, siapa dulu lima kali masukin basket, dia buat permintaan. Wajib dilakuin, setuju?" Tidak ada jawaban.

"Kenapa?" tanya Dhava, jari telunjuk cowok itu mengetuk dua kali hidung mancung Vanda dua kali. "Problem?"

"Banyak!" jawab Vanda asal. Menepis tangan Dhava di dekatnya kemudian berlari pelan menjauh. "Dhav?" panggilnya. Beberapa langakah di depannya, Vanda malihat Dhava mengangkat dua alisnya naik. Tidak menjawab panggilan Vanda dengan suara. Menjawabnya dengan ekspresi wajah untuk meminta dilanjutkan apa tujuan ia memanggil.

"Diem di situ."

"Oke."

Bruk!

"Awshh."

"Maaf, sengaja."

Benda bulat melambung bebas mengantam dada cowok itu. Lemparan bola yang menghantam dadanya tidak dapat dikatakan lemparan pelan. Tenaga yang digunakan lumayan untuk ukuran cewek, bahkan Dhava kini terduduk di lantai lapangan. Tangan kanan di depan dada sementara tangan kiri lurus di belakang tubuh untuk menyangga tubuhnya.

Mengambil kesempatan di sela kesibukan Dhava merasakan sakit. Vanda mendekati bola yang teronggak di lantai. Ia berlari mendekati ring. Melakukan shooting sebanyak 7 kali berturut-turut. Dhava yang melihat itu, cukup menghela napas panjang. Mengalah adalah pilihannya saat ini. "Curang lo!"

"Emang tadi lo suruh main sportif? Nggak, kan?"

"Cewek selalu bener."

"Cewek juga manusia, tempatnya salah. Lo aja yang cupu ngalahin gue."

Sekali gerakan. Dhava bangkit berdiri. Melangkah memotong cepat radius antara mereka. Bediri di depan Vanda. "Jadi?"

"Nggak ada permintaan. Tapi pertanyaan. Diizinin?"

"Ya."

Dhava menjawab tegas seraya menciptakan simbol silang dengan kedua lengan di depan dada. Vanda berjalan mundur lalu melempar bola ke arah Dhava, mendapatkan secara tepat dan cepat bola lemparan cewek itu. "Gue ngerasa aneh."

"Ada apa?"

"Are you kidding me?"

"Gak."

"Lalu?"

"Apa?"

Cewek itu menunduk, membuat maju sedikit tungkai kaki kanannya. Menatap sepatu dengan kombinasi warna hitam dan putih itu. "Lo aneh," katanya pelan. Mendongak menatap Dhava kemudian. Yang mendapat tatapan diam, hanya menciptakan lipatan halus pada kulit keningnya. Mencoba menerka arah tujuan pernyataan Vanda. Dhava tak kunjung dapat pencerahan hingga sulit paham.

"Langsung ke inti."

"Seandainya kita putus. Lo gimana?"

"Yang pasti gak bahagia."

"Apa? Sedih? Atau biasa aja."

"Lo bisa nilai."

"Nggak bisa."

"Kenal gue lebih dalam."

Ah, sial! Itu pertanyaan bodoh. Vanda melupakan satu hal penting antara mereka berdua. Ntahlah apa nama hububungan mereka berdua. Yang pasti, Dhava tidak memberi stempel kepemilikan untuk Vanda. Hanya menyatakan perasaan tanpa ada kepastian ikatan.  "Lupain."

Bertahan untuk terluka. Tetapi Vanda tetap memilih berdiri tegak dalam lingkaran mereka berdua, lingkaran setan. Meski gue tahu apa pun pilihannya, tetap menyakitkan.  "Van, andai setiap hari gue minta maaf sama lo, boleh?"

"Sumber daya maaf gue terbarukan, kok. Kapan pun lo bisa dapet."

"Segampang itu?"

Vanda berjalan meninggalkan Dhava. Menjawab pertanyaan Dhava tanpa menatap sang empu. "Pencipta gue selalu terima kesalahan hambanya sebesar apa pun. Masa gue yang cuma cipataannya nggak? Cuma, jadi manusia juga harus sadar diri aja. Ketika ada banyak stok maaf, akan seenaknya buat kesalahan. Namanya tolol."

"Ada masalah?"

"Hm?"

"Tiba-tiba bahas putus. Ada masalah?"

"Nggak akan ada kata putus. Nggak ada ikatan di sini. Kita cuma sama-sama bareng aja, kan?" Dhava termangu. "Tujuan lo di sini cuma mau jaga gue? Seharusnya enggak. Lo nggak ada salah," kata Vanda.

"Penting?"

Vanda menoleh. "Hah?"

"Bukannya sejauh ini lo nggak masalah?" Helaan pendek napas ia lakukan.Gue cuma nggak percaya diri untuk itu. Gue takut. Gue  masih punya misi buat selesaiin semuanya.

Kembali melangkah. Kali ini langkah kakinya lebih cepat. Dhava berusaha menyusul langkah itu untuk menahannya. Dhava melingkarkan kedua lengan di pundak dan melingkari leher cewek itu. Tangannya sempat menyibak beberapa anak rambut dekat daun telinga. "Lo cuma mau deket, tanpa terikat?" tanya Vanda. Berusaha melepas Dhava, tapi tidak bisa.

"Please. Gini dulu."

"Terikat atau nggak, menurut gue nggak penting. Gue cuma butuh lo tetap di sini. Lalu lo akan tahu selanjutnya ..," ucap Dhava. Terdengar sangat dekat karena cowok itu kini menumpukan dagu di pundaknya. Cup. Mencium pelipis Vanda sekilas.

       ─màdhavaňdá─

"Yey, lo keren banget." Rebecca memberi applouse kepada Cakra. Cewek itu membawa tangannya naik dan di sambut oleh Cakra. Keduanya pertepuk tangan senang karena Cakra berhasil mengarahkan pengapit dari mesin penjepit boneka tepat sasaran. Sebuah boneka koala nyaman berada di dalam pelukan Rebecca.

"Senang?"

Anggukan antusias Rebecca lakukan. "Banget." Cewek itu berganti memeluk Cakra. Menepuk beberapa kali punggung Cakra. "Keren banget.. mumpung gue lagi senang, lo mau apa dari gue? Gue turutin deh. Traktir daging kesukaan lo? Atau.. gue temenin balapan malam besok?"

"Salah semua. Nggak ada yang gue mau. Maunya gue temenin lo check up besok, boleh? Harus boleh." Cakra  menggenggam tangan Rebecca yang menganggur. Mengangkat kedua alis guna meminta persetujuan. "Yah, gue udah minta sama Dhava. Yang lain aja. Please.."



TBC. Tinggalkan jejak_

untuk kamu; terima kasih sudah membaca

Arqastic

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang