'madhava; 47'

65 6 0
                                    

DHAVA pikir, usai Rebecca sepenuhnya angkat kaki dari kehidupannya. Akan ada kemungkinan kembali hubungan antaranya dan Vanda ke dalam lingkup baik seperti dulu. Pada akhirnya? Usai di makam, tidak ada lagi hilal kebaikan menyambut keduanya. Dhava juga tidak mengambil langkah mendekat begitu pun dengan Vanda. Dua manusia itu sama-sama diam tanpa mengambil langkah. Meski hubungan mereka tidak memiliki nama, tetap saja hubungan ini benar-benar terasa ada. Kelanjutan kisah mereka resmi terbengkalai di tengah jalan.

Seluruh tubuh Dhava merasa lelah. Sepanjang waktu di sekolah ia sesekali memijat pelipis, memijat lengan atas atau bagian belakang leher. Ketika waktu istirahat tiba pun, cowok itu memilih diam di kelas dan menenggelamkan kepala dalam kedua lipatan tangan di atas meja.

Ingat apartemen? Tempat itu tak lagi jadi milik Dhava. Kakek resmi menjualnya dan kembali seperti dulu. Dhava tinggal di rumah bersama Kakek. Semua juga terasa kembali seperti dulu. Semuanya; tidak ada Vanda di hidupnya. Tidak ada acara pergi malam-malam untuk mengantar tugas ke rumah vanda dari pada harus berdiam diri di kamar dengan isi kepala melalang buana ke hal-hal lain. Tidak ada acara belajar bersama lagi bersama Vanda, ia kembali berlajar sendiri di kamar bersama kesepiannya.

Beberapa hari ini. Dhava lebih banyak tidur ketimbang belajarnya. Ia lelah dengan pikiran yang mana selalu berjalan ke hal-hal yang semestinya tak perlu ia pikir. Maka, tidur adalah salah satu alasan yang membuat Dhava hilang sekejap dari muka bumi, dari hiruk pikuk menyeramkan bumi. Hingga pada hari ini Dhava resmi menyandang status tidak enak badan karena terlalu banyak tidur. Badannya lemas.

"Lo oke? Ke kantin, Dhav?"

Suara itu terdengar. Sangat pelan seolah berbisik di telinga Dhava. Perlahan membuka mata. Dhava terdiam beberapa saat karena mendapati wujud Vanda di depannya. "Buat satu permintaan, Dhav."

"Maksutnya?" tanya Dhava pelan seraya perlahan mengubah posisinya untuk duduk lebih tegap di samping Vanda. Dhava masih terjebak dalam keindahan senyum Vanda itu. Ia juga mengernyit heran melihat pencaran cahaya ada di belakang Vanda. Hari ini, Vanda terasa sangat berbeda.

"Buat satu permintaan untuk gue kabulkan."

"Gue gak paham maksut lo apa, Van."

"Gue serius. Ayo.."

Mencoba berpikir. Ia menatap ke sepenjuru kelas. Sepi. Lalu ia menatap ke luar jendela pun terasa aneh. Sekolahan berubah sangat sepi. Siang ini juga terasa begitu cerah di matanya. Jauh seperti biasanya seolah cahaya matahari jauh lebih terang saat ini.

Dhava memejamkan mata. "Hug me?"

"Of course."

Menunduk dan mengangguk pelan. Vanda duduk dibangku kosong milik Adrian. Vanda mengulurkan lengan, melingkupi tubuh Dhava yang terbabat oleh kedukaan dengan seluruh kehangatan yang ia miliki. Aliran air mata tak sanggup dibendung hingga menimbulkan suara yang Dhava tahu bersumber dari mana itu. Dalam tunduknya ia pun mengalirkan air mata kesedihan juga. Vanda masih terus akan memeluk Dhava, membiarkan wajah Dhava tenggelam dalam pundaknya.

"Kalau dulu lo yang peluk saat gue sedih, sekarang gue berganti peran untuk memeluk lo."

Dhava mengangguk dalam pelukan.

Merasa nyaman, cowok itu menggerakkan tangan untuk semakin mengeratkan pelukan pada Vanda. Ia ingin memeluk cewek itu sangat erat, rekat, tak terlepaskan sampai kapan pun. Tetapi ..., "Egh, Van." Dhava terbangun dari tidurnya. Cowok itu duduk dan mengengokkan kepalanya ke kanan hingga kiri untuk mencari wujud Vandana Dineschara. Itu hanya mimpi.

Embusan napas panjang Dhava lakukan. Ia menyangka kepala menunduk degan kedua lengan tangan. Matanya terpejam lagi. "Gue mau peluk lo di kehidupan yang nyata, Vanda. Tolong tuhan ...."

"Tolong buat ini menajadi nyata."





       ─màdhavaňdá─





"I can show you the world." Dari arah meja televisi, Kafka berjalan cepat lalu memeluk Vanda dari belakang. Meletakkan dagunya di pundak cewek itu dan berbisik. Bersamaan dengan itu, sebuah alunan musik memeuhi ruangan secara perlahan dan semakin kuat. Vanda menoleh dan menjauhkan tubuhnya dari Kafka. Bukan risih. Vanda langsung tersenyum miring. "Shining, shimmering, splendid," lanjut Vanda.

Kafka tertawa. Ia menarik kedua tangan Vanda. "Tell me, princess, now when did you last let your heart decide?" Kafka mengikuti lirik dalam lagu itu. Meski suaranya tak sebagus yang ada dalam musik. Vanda menyukai suara cowok itu. Tenang dan lambat di dengar, hingga tidak terlalu buruk untuk dibiarkan masuk dalam kedua telinganya.

"A whole new world,
A new fantastic point of view,
No one to tell us no,
or where to go,
Or say we're only dreaming."

Lagu a whole new world dari zayn malik dan zhavia ward mengalun indah dalam ruangan dan isi kepala Vanda juga Kafka. Membawa kedua anak manusia itu melayang dalam kebahagiaan. Sejenak melupakan masalah di sekitar dengan menari bersama lantunan musik. Kafka menarik Vanda untuk berdansa. Entahlah, sebenarnya Kafka bukan laki-laki yang mengggemari hal semacam ini. Akan tetapi, hari ini ia hanya ingin menerbitkan senyum indah dalam pahatan wajah Vanda. Ingin Vanda segera melupakan yang lalu-lalu untuk melangkah pada dunia baru.

Lalu, lagu dari the weeknd menjadi antrian musik setelah a whole new world. Setelah sedikit bernuansa romantis, saatnya mereka berdua berganti pada nuansa lebih kuat tidak lagi bermenye-menye. Kafka menatap Vanda, mengangkat kedua alisnya cepat  saat salah satu lagu the weekend terputar.

Vanda yang memahami maksut cowok itu lantas tersenyum lebar dan mengangguk. "Let's go," bisiknya.

"I said, ooh, I'm blinded by the lights," ucap Vanda berganti menarik serta menggenggam tangan Kafka.

"No, I can't sleep until I feel your touch," lanjut Kafka diikuti senyuman lebar.

Alunan musik makin dibuat keras. Menguatkan chemistry antara dua manusia itu dalam ruangan ini. Hanya ada cahaya remang-remang tak kuat, akan tetapi tak membuat keduanya berhenti larut dalam tarian berselimut kesenangan itu.

"I said, ooh, I'm drowning in the night."

"Oh, when I'm like this, you're the one I trust."

Semua belum benar-benar selesai. Ada kehidupan baru yang menunggu Vandana Dineschara nantinya. Kafka salah manusia yang tidak ingin menatap adanya kesedihan dalam wajah Vanda. Sungguh tidak ingin. Menari bersama alunan musik menjadi ide cowok itu bersama Vanda. Hal itu pun berhasil membuat Vanda melupakan sejenak masalah yang ada. "Thank you, Kafka."


TBC. Tinggalkan jejak_
untuk kamu; terima kasih sudah membaca










Arqastic

MADHAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang