Sudah seminggu sejak kepulangan Ara dari New York. Hari kelima bagi Davin yang tidak bisa pulang bersama Ara saat itu.
"Kamu kapan lulusnya sih?" tanya Davin yang sedang menyetir, mengantar jemput Ara ke kampus sekarang menjadi tugasnya. Davin diberi waktu dua bulan untuk bersenang-senang sebelum memegang kendali anak perusahaan ayahnya.
"Bulan depan sidang. Doain aja lulus ya." Ara memainkan jari Davin yang berada di genggamannya.
"Nggak lulus aku putusin." Ancam Davin yang hanya bercanda. Tidak mungkin Ara-nya tidak lulus.
Ara yang percaya pun nampak sedih. Ia takut, takut jika Davin benar-benar memutuskan hubungan dengannya.
"Just kidding, babe." Davin mencium puncak kepala Ara yang menyender di lengannya saat menyadari perubahan raut wajah sang kekasih.
"Pasti lulus. Percaya sama aku." Ara mengangguk. Ia percaya pada Davin.
Sampai di tujuan, "turun gih." Davin menyuruh tanpa ada manis-manisnya di mata Ara.
Inisiatif, Ara mengecup pipi Davin sebagai tanda terimakasih sudah di antar sampai tujuan. Senyum Davin pun terbit, ia memegang kepala Ara dan mengelusnya.
"Pulang nanti kabarin. Aku mau ngumpul sama temen."
"Iya. See you."
**
"Nanti malem Davin ngadain party ya?"
Ara mengernyit bingung dengan pertanyaan Jane. Iya kah? Tapi kenapa Davin tidak memberitahu nya?
"Iya kali."
"Kok gitu jawaban lo? Nggak tau nih pasti." Tebak Kayana tepat sasaran. Ia sendiri bingung dengan hubungan Davin dan Ara. Acara seperti itu masa Ara yang notabenenya kekasih Davin tidak tau?
Ara menunduk lesu. Ini bukan kali pertama ia tidak mengetahui apa yang Davin rencanakan. Malah kedua sahabatnya yang memberi tahunya.
"Arthur bilang nanti malem kita di suruh kerumah Davin. Party kelulusan paling." Jane menyampaikan pesan dari sang kekasih.
"Cuma ber-enam dong berarti?"
"Iya, Arabella." Kayana menguyel-uyel pipi tembam Ara.
Sepulang dari kampus, seperti janjinya tadi Davin menjemput Ara. Sebenarnya Ara penasaran dan ingin bertanya kepada Davin. Namun ia sedikit ragu-- juga ngambek.
"Just tell me, what's wrong?" Davin sendiri peka dengan raut wajah Ara yang masam. Pun dengan Ara yang duduk anteng, tidak menggelayut padanya seperti biasa.
"Nggak apa-apa." Jawab Ara lesu. Ia ingin Davin yang memberitahunya sendiri. Tidak ia dulu yang bertanya.
"Ra? Kamu tau aku nggak suka kalo kamu nyembunyiin sesuatu dari aku." tegas Davin yang memang tidak memiliki stok kesabaran.
"Tell me then!"
Davin dibuat makin bingung. "To the point, okay? Aku ada salah?" Intonasi Davin melembut di akhir kalimat.
"Tonight?" Ara sedikit memberi bocoran. Ah, ingin rasanya Ara meneriakkan kalimat yang bersarang di hatinya tepat di depan Davin, namun ia tak memiliki keberanian lebih.
Davin berpikir. Malam ini? Ah, party.
"Ah iya, aku ngadain party. Aku juga udah undang temen kamu." Davin tersenyum seperti tidak ada yang salah.
Berbeda dengan pemikiran Ara. Ara merasa dirinya tidak begitu penting bagi Davin. Sehingga ia tau paling akhir dari yang bersangkutan.
"Kamu nggak bilang sama aku, Dave." Ara menyenderkan kepalanya ke kaca sampingnya. Ia melihat pinggir jalan yang ramai akan warung.
"Maaf, aku lupa."
"Selalu lupa. Se-enggak penting itu aku?" tanya Ara tanpa merubah posisi.
"Fuck your mind! Bisa berpikir yang lebih negatif lagi?" Davin pun tersulut emosi mendengar kesimpulan yang Ara buat.
"Adanya aku nggak kamu anggap?"
Sukses, ucapan Ara sukses membuat Davin emosi.
"Fuck you Ara! I hate your fucking bullshit!" teriak Davin.
Ara diam, hingga mobil yang ditumpanginya berhenti di depan rumah megah milik orangtuanya. Secepatnya Ara keluar dan memasuki gerbang.
Selama ini ia selalu mengerti alasan Davin yang lupa memberitahu nya. Tapi kali ini Ara tidak bisa menahan lagi, terlebih ia harus menjadi orang terakhir yang tau.
Tidak ingin mengulur waktu, Davin mengikuti Ara hingga kedalam rumah.
"Arabella stop!" Teriak Davin dari halaman depan.
Ara yang sudah sampai teras tidak mengindahkan peringatan Davin. Ia terus berjalan, masuk ke rumahnya. Disana ia melihat Mamanya sedang menghidangkan kue di meja depan televisi. Entah untuk siapa.
"Sudah pulang, sayang?" tanya Miranda kepada anak semata wayangnya.
Dengan sopan Ara mencium tangan Miranda dan mencium sekilas pipi Mamanya. Kemudian ia bergegas menaiki tangga menuju kamarnya.
Miranda di buat bingung dengan anaknya yang terlihat sangat buru-buru. Kebingungannya terjawab dengan masuknya Davin yang juga sedang terburu-buru.
"Mama." Davin menyalami Miranda.
"Berantem nih pasti." Tebak Miranda sambil terkekeh.
"Lagi main Ma, biasa." Davin melirik ke tangga meminta izin menyusul sang kekasih ke kamar. Melihat anggukan dari Miranda, Davin bergegas menyusul Ara.
Tanpa mengetuk ataupun salam, Davin langsung masuk. Ia melihat Ara yang keluar dari kamar mandi dengan wajah yang terlihat segar. Sepertinya habis mencuci muka.
"Get out!"
Davin mengabaikan penuturan Ara yang menyuruhnya keluar. "Kita selesaiin, okay?" Davin mendekat.
"Apa? Mau jelasin kalo kamu lupa? Kalau gitu, kamu selalu lupa tentang keberadaan aku."
Davin berusaha sekuat tenaga untuk menurunkan emosinya. Ia menelan semua umpatannya kali ini. Ia tidak ingin masalahnya bertambah rumit.
"Okay, kalo itu yang kamu simpulin. I am sorry. But, trust me! Aku nggak pernah sekalipun bermaksud buat lupain ataupun nggak anggep keberadaan kamu."
"Hei, I swear!" bentak Davin kelepasan saat melihat Ara membuang muka padanya.
"Jawab Ara! Aku paling benci kalo kamu diem kaya gini!" Davin semakin mendekati Ara. Ia berjongkok di depan Ara yang duduk di pinggir ranjang.
Ara membuang nafas pasrah. Kemudian ia menatap Davin yang berada di bawahnya. Ara menerbitkan senyum tulusnya. "Janji jangan ulangi lagi?"
Tanpa ragu Davin mengangguk. Menautkan kelingkingnya ke kelingking kecil milik Ara. Kemudian ia bangkit, mendorong sang kekasih hingga telentang.
Di tindihnya badan mungil itu. Kemudian ia tempelkan bibirnya pada bibir merah Cherry milik Ara. Sedikit lumatan pada awalnya hingga sampai pada lumatan kasar.
Davin mengakhiri ciumannya dengan memberi kecupan pada hidung Ara.
Itu lah Ara, yang selalu percaya dengan Davin. Selalu memaafkan kesalahan Davin.
KAMU SEDANG MEMBACA
D AND A [END]
RomanceKisah sebuah pasangan kekasih yang memutuskan untuk menikah dan membina rumah tangga mereka. Sikap sang lelaki yang bossy dan si perempuan yang penurut. Sangat cocok bukan? *** "Koper aku dimana?" "Disana." Davin menyingkir rambut Ara yang masih ba...