19

104K 6.5K 60
                                    

H-1 pernikahan Ara. Kali ini ia bisa menghabiskan waktu seharian bersama Jane dan Kayana. Dari pagi hingga sore. Tidak ada acara menginap kali ini. Arthur yang meminta.

"Ra, lanjutin cerita lo semalem." Kayana menagih kelanjutan cerita Ara tentang Oma Davin. Ponsel Ara sudah kembali sejak Davin mengantarkan nya pulang kemarin.

"Lo kalo liat sinetron-sinetron yang neneknya nggak suka, persis! Persis banget!"

"Gue mau pingsan aja rasanya sumpah..." Ara melebihkan ucapannya.

"Masa gue di bandingin sama cewek yang namanya Dina.."

"Dina siapa?" tanya Jane penasaran. Pasalnya Ara tidak menyebut nama Dina dalam ceritanya semalam.

"Nggak tau sih, kata Dave dia itu orang kampung. Paling orang yang deket sama Oma di kampungnya."

"Ya ilah, jauh kali ah kalo di bandingin bidadari kaya elu!" Kayana menoel dagu Ara membuat Ara tertawa.

"Davin gimana tanggapan nya?"

"Kata Davin kemarin, dia jauh deh sama gue. Jauh lebih gue kemana-mana katanya." Ara menyibak rambutnya sombong.

"Seneng lo di puji-puji gitu?"

"Ya seneng lah!"

"Oiya, kemarin lo nggak di marahin gitu pas balik sama Elvan?" tanya Kayana.

"Elvan si bocah sholeh itu?" Kayana mengangguk menjawab Jane.

"Hp gue disita bestie."

"Cup cup cup, pantesan semaleman gue chat nggak aktif." Jane menepuk-nepuk pipi Ara.

"Oiya Jane, gimana rasanya?" tanya Ara menggeser tubuhnya lebih mendekati Jane.

"Rasa apa?" tanya Jane bingung. Kemudian Kayana juga ikut memepet Jane.

"Di unboxing aelah." Kayana menoel lengan Jane dengan senyum tengilnya.

Telinga Jane langsung memerah. "Ya makanya nikah dodol! Ngapain nanya-nanya?!" Ujar Jane tak biasa.

"Bagi tips kek, apa kek, besok gua udah di unboxing ini!" Ara mendorong Jane.

"Ya gitu deh." Jane meminum susu yang sudah Ara siapkan di meja dekat ranjang.

"Pelit banget lo! Gimana rasanya? Sakit apa enak?" Ara menyeret Jane yang hendak kabur.

Jane akhirnya pasrah. Ia mengkode agar Ara dan Kayana lebih mendekat.

"Awalnya sakittt. Sakiiittt banget. Perih dah, kek mau pingsan!" Ara dan Kayana menelan ludah kasar. Mereka meringis ngeri.

"Tapi..." Mata Ara dan Kayana terbuka lebar mendengar kata tapi.

"Pas udah di dalem, terus di gerakin dikit... BEUHHHH!!!" Ara dan Kayan langsung terjungkal saat Jane berteriak.

"Apa apa? Apa tadi hah?" Ara dan Kayana langsung bangkit dan mendekat Jane lagi.

"Kaya melayang bestie. Ajibb banget!! Tapi masih perih sih." Ara menggigit bibir mendengar kata perih.

"Tapi kalo udah biasa, nggak ada tuh sakit. Enak terosss... Ngilu-ngilu sedep." Jane menepuk pundak Ara dua kali.

"Ra, kalo lo udah di unboxing, ceritanya yang enak-enak aja ya. Gue jadi takut nikah anjir." Kayana berpesan.

**

"Ra, sini! Mama sama Papa mau ngomong."

Ara duduk di sebelah Miranda. Galen duduk di sofa sebelah.

"Gimana kemarin sama keluarga Dave?" tanya Miranda mengelus rambut panjang Ara.

Ara yang awalnya sudah lupa pun kembali ingat. Ia melengkungkan bibirnya kebawah. "Omanya Dave nggak suka Ara Ma.."

"Kenapa nggak suka?"

"Tadi waktu Mom Lily ambilin minum buat Ara sama Dave, Oma tanya kenapa nggak Ara aja yang ambil sendiri? Itu sama kaya bilang Ara nggak sopan kan ya Ma?"

Miranda mencubit pipi Ara. "Kamu paham nggak arti pertanyaan itu? Itu artinya kamu harus mandiri, apalagi minuman itu buat Davin juga kan? Kamu harusnya nawarin diri waktu Lily mau buatin minum." Nasehat Miranda.

"Tapi Mom Lily nggak bilang kalo mau buatin minuuummm... Tiba-tiba aja dateng bawa minuman..." Ara merengek tidak terima disalahkan.

"Ya udah iya. Terus apa lagi?"

"Masalah kerja-kerja."

"Kamu mau kerja Ra?" tanya Galen.

"Niatnya Ara mau buka cafe?" ucap Ara ragu-ragu.

"Terus?"

"Ara langsung di amuk sama Oma katanya istri itu dirumah aja. Urus suami, nggak usah kerja-kerja karna uang Davin udah banyak. Gitu..." adu Ara pada Papanya.

"Bener tuh."

"Pa..." Ara merengek saat Papanya tidak membelanya.

"Bener Ara. Kamu harusnya dirumah aja urusin Davin. Kalo kamu sibuk kerja, Davin juga kerja, terus kalian gimana hubungannya? Mau ngandalin waktu malem? Malem tuh kalian bakal capek abis kerja. Nggak ada waktu, Sayang." Nasihat Miranda pelan-pelan.

"Lagian Ara tadi bilang ke Oma kalo Davin ijinin, Ara kerja. Gitu kok. Nggak ada yang salah dong..."

"Terus tadi, masa Ara di banding-bandingin sama orang kenalannya Oma."

"Siapa yang berani bandingin putrinya Papa?" tanya Galen serius. Awalnya ia tidak menganggap serius cerita Ara, namun kali ini ia menjadi sensitif saat mendengar putri satu-satunya di bandingkan dengan orang lain.

"Oma Pa, marahin aja! Masa aku di bandingin sama Dina Dina anak kampung itu."

"Ara!" Miranda menjewer telinga Ara.

"Mama ih!" Ara kesal sendiri.

"Ra, denger ya. Bentar lagi kamu bakal jadi istri orang. Tanggung jawab kamu bakal gede. Nggak cuma urus Davin, tapi kamu juga urus rumah. Jangan bertingkah seolah kamu masih bebas ya? Kamu memang masih jadi putri kesayangan Papa sama Mama, tapi kita bakal kasih semua tanggung jawab kamu ke Davin. Paham Sayang?" Miranda memeluk Ara yang sudah menangis.

Ara mengangguk dalam pelukan Mamanya. "Iya... Tapi Ara masih boleh kan main ke sini? Ara masih bisa kan peluk Mama kaya gini? Kita masih bisa ngobrol-ngobrol gini kan bertiga?" tanya Ara sesenggukan.

Miranda mengelus rambut putrinya. "Iya Sayang. Kamu istri Davin bukan berarti kamu bukan anak kita lagi."

Ara melepas pelukannya, kemudian ia menghampiri Galen dan langsung memeluknya. "Papa..." Ara menangis.

"Ara-nya Papa udah gede ya? Udah mau jadi istri orang. Baik-baik ya nak. Nurut sama Davin, jangan bantah, jangan ngelawan. Kamu udah bukan remaja lagi. Inget, nggak boleh bandel sama Davin. Ya?" Ara mengangguk.

"Hahh,, rasanya baru kemarin Papa ajarin kamu naik sepeda. Besok udah mau nikah aja. Udah mau jadi istri orang. Orang sukses lagi." Galen terkikik dengan airmata yang mengalir.

Miranda juga beranjak untuk ikut dalam pelukan keluarga kecilnya.

"Ara sayaaaaang banget sama Mama sama Papa. Doain Ara ya biar jadi istri yang baik kaya Mama.." Ara menampilkan senyumnya, walaupun air mata belum mengering dari kedua matanya.

"Iya Sayang, pasti kita doain yang terbaik buat princess tercinta kita." Miranda mencium dahi Ara penuh sayang.

"Udah, sana tidur. Besok mau di rias masa matanya sembab."

Ara berdiri ia mengusap matanya yang masih berair. Kemudian ia pergi ke kamarnya untuk tidur.

Besok. Besok dirinya akan mengganti status lajangnya. Besok Ara akan menjadi istri seorang Davin. Davin Ivander Smith. Lelaki yang sudah menjadi kekasihnya enam tahun terakhir. Lelaki keras kepala dan berego tinggi. Jangan salah, selain ego tinggi, uang Davin pun juga akan tinggi jika di tumpuk.
***

vote and komen juseyo

D AND A [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang