"Tenang dulu Ra, jangan nangis gini." Kayana mengusap punggung Ara. Berusaha menenangkan temannya yang tiba-tiba ingin di temani di apartemen.
"Ceritain pelan-pelan. Kalo belum bisa cerita, nggak apa-apa. Tapi nggak boleh nangis gini!"
Ara berusaha mengurangi isakannya. Ia masih berada di pelukan Kayana. Ia butuh menenangkan diri. Dan Ara bukan tipe orang yang suka sendirian.
"Gue mau cerita..." Ara mengendurkan pelukannya. Ia mengusap air mata dan ingusnya.
Kayana terkekeh sebentar melihat wajah Ara yang berantakan. "Oke-oke, gue tau lo paling nggak bisa mendem masalah dari temen lo ini." Kayana kini beralih mengusap pundak Ara.
Ara kemudian menceritakan masalahnya. Dari kejadian di mall sampai pertengkarannya dengan Davin dirumah.
Kayana manggut-manggut, namun jauh di dalam hatinya ia menahan kesal. Ia sudah memiliki niat untuk melabrak Clara terlebih dulu. Kemudian ia akan meninju wajah Davin.
"Gue nggak jahat kan Kay? Gue nggak berubah kan? Gue takut..." Ara kembali menangis mengingat ucapan Davin tadi.
"Ssst... Lo nggak jahat. Lo juga masih Ara yang sama. Jangan masukin omongan Davin ke hati. Lo tau kan kalo dia emosi, pasti apa aja dia keluarin? Nggak peduli itu nyakitin perasaan orang yang diajak omong apa enggak."
Ara mengangguk, "iya tau. Tapi kalo orang lagi emosi dia itu jujur."
"Iya tau... Tapi kan dia ngomong gitu sebelum tau faktanya. Kalo dia ngomong gitu setelah tau faktanya, berarti dia yang jahat, Ra. Davin kan emang baru tau masalah Clara. Lo sendiri kan yang nyuruh kita-kita biar nggak cerita ke dia?"
Ara menghembuskan nafasnya. Ia lelah seharian ini. Di pikir-pikir salahnya juga yang tidak terbuka pada Davin. Wajar jika Davin salah paham. Ia juga merasa kelewatan tadi menggores wajah Clara dengan kuku panjangnya.
Ara si lemah lembut kembali. Ia sekarang merasa sangat bersalah. Takut-takut wajah Clara rusak seperti ucapannya siang tadi. Takut jika perempuan itu tidak bisa lanjut berkarir jika wajahnya rusak.
"Udah, sekarang tidur disini aja. Gue temenin. Masalah Davin, nanti biar gue yang ngomong."
Ara mengangguk dan berjalan menuju kamar.
***Dilain tempat.
Bugg!
"Woi masalah lo apa?!" Malvin meneriaki Davin yang tiba-tiba membogemnya mentah-mentah.
Arthur berdiri menahan dada Davin yang hendak menerjang Malvin lagi. Namun naas, dirinya lah yang kena bogeman sekarang.
"Fuck!" Arthur mengumpati Davin.
Tanpa pikir panjang, Arthur membalas meninju perut Davin. Telak, Davin terjatuh. Ia terkapar di lantai. Memang tidak separah itu, hanya saja ia lelah, kesal dan--- kecewa.
Arthur mengulurkan tangannya. "Lo bodoh!"
Kemudian tiga lelaki itu duduk dengan Davin di tengah. Mereka sama-sama diam dengan kepala terangkat, bersandar pasrah di sandaran sofa rumah Arthur.
"Davin, abis ini siap-siap bogeman dari gue." Itu suara Jane yang datang dengan membawa secangkir minuman dingin.
Davin menegakkan badannya. Ia menatap Jane, dan tiba-tiba satu tamparan melayang ke wajahnya.
"Itu karena lo udah buat Ara nangis."
Plakk!!
"Dan yang itu karena gue kesel sama lo."
Davin memegangi kedua pipinya. Ia menatap Jane dengan mata menyala merah. "What--"
"Diem atau gue suntik mati?!" Arthur membungkam mulut Davin yang hendak mengumpati istrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
D AND A [END]
RomanceKisah sebuah pasangan kekasih yang memutuskan untuk menikah dan membina rumah tangga mereka. Sikap sang lelaki yang bossy dan si perempuan yang penurut. Sangat cocok bukan? *** "Koper aku dimana?" "Disana." Davin menyingkir rambut Ara yang masih ba...