Disini lah Davin dan Ara berada. Di kamar Ara. Selepas melewati keheningan selama di mobil tadi, alhasil Davin membuka suaranya saat mereka sampai di kediaman rumah Ara. Lelaki itu berkata jika ia ingin cepat menyelesaikan masalah diantara keduanya.
"Mau ngomong apa?" tanya Ara pelan. Jujur, dirinya sedang di landa ketakutan. Ara takut saat Davin menatapnya tajam lebih dari lima detik. Tanpa suara.
"Nggak mau minta maaf?" tanya Davin dengan mata yang tak bergerak sedikitpun.
Sementara Ara bingung. "Minta maaf? Aku?" Ara menunjuk dirinya sendiri.
Davin menjawab dengan berdeham disertai alisnya yang terangkat bersamaan.
"Kamu mau aku minta maaf?" tanya Ara lebih jelas lagi. Pasalnya ia bingung, sepertinya ia tidak salah dalam hal ini. Tapi kenapa Davin menuntut permintaan maaf darinya?
"Bodoh! Iya lah." Davin menjawab dengan nada pongah.
Ara hampir lupa jika kekasihnya itu adalah pemilik ego tertinggi sealam semesta. Keras kepala, egois, dan semena-mena.
"Iya, maaf." Hanya itu yang bisa Ara ucapkan.
Davin bangkit dari sofa yang di dudukinya. Ia berjalan menuju ranjang yang terdapat Ara disana. Davin merebahkan badannya dengan bantalan tangan kanannya sendiri.
"Percuma. Udah aku batalin semuanya." ujarnya terdengar tenang.
Ara tentu saja syok. "Kamu batalin Dave???"
"Kamu gimana sih? Aku siapin salah, aku batalin salah." Davin berdecak di akhir kalimat.
"Bukan gitu maksud aku! Aku marah bukan karena kamu yang siapin itu semua. Aku marah karena kamu yang nggak ngasih tau aku dulu, Davin!"
"Berisik ah, ini salah, itu salah." Davin menatap sengit Ara yang berdiri di samping dirinya yang sedang rebahan.
"Apa aja yang udah kamu batalin?" tanya Ara mencoba untuk meminimalisir masalah.
"Gedung, WO, catering, sama undangan. Kalo gaun udah di beli. Semoga aja badan kamu nggak melar." Davin melipat satu persatu jemarinya saat menyebutkan perihal apa saja yang sudah ia batalkan.
Ara memegang kepalanya. Ia pusing, sangat. Sudah pasti pihak sana meminta ganti rugi.
"Dave." Mata Ara sudah berkaca-kaca. Lagi-lagi Davin mengambil keputusan sendiri.
"Nggak gitu caranya. Kamu paham nggak sih maksud aku? Aku- aku cuma mau kamu yang lebih terbuka sama aku. Bukan asal ambil tindakan ini itu." Ara mengusap air matanya yang menetes. Emosi, sedih dan kecewa sedang ia rasakan.
"Kamu selalu bilang kalo ada apa-apa sama aku harus bilang ke kamu kan? Kalo aku mau ini itu, mau kemana atau mau ngapain, aku selalu bilang sama kamu. Karena aku udah anggap kamu kaya buku harian aku."
"Aku nggak permasalahin kalo kamu mau yang terbaik buat aku, buat kita, tapi bisa kan kamu pikirin dulu atau seenggaknya konfirmasi dulu sama aku?"
Ara harap kali ini Davin akan paham dengan apa yang ia maksudkan.
Davin dengan santainya bangkit, ia duduk dan menatap Ara yang sudah berlinang air mata.
"Jadi, mau nikah nggak?"
"Mau. Tapi-"
"Stop. Aku cuma butuh jawaban pertama kamu." Davin berdiri. Ia mengambil jaket dan kunci mobilnya. Kemudian ia mendekati Ara lagi.
Kecupan singkat Davin berikan pada Ara. Kemudian ia berjalan menuju pintu. "Aku nggak batalin kok. Bercanda aja tadi."
Senyum miring dari Davin membuat Ara membolakan mata. Jadi? Davin berbohong???
"DAVE!!!" Ara berlari mengejar Davin yang sudah sampai tangga dasar.
"Maksud kamu gimana??" Ara menghalangi jalan Davin dengan merentangkan kedua tangannya.
Kedua tangan Davin membelai pipi Ara. "Bodoh! Kita tetap bakal nikah dua Minggu lagi."
Ara mengedipkan matanya berkali-kali. Ia masih mencerna apa yang terjadi sejak mereka di kamar tadi. Semua perkataan Davin terekam di otaknya.
"Gemes banget sih!" Davin menggigit pipi Ara saking tidak tahannya melihat tingkah menggemaskan cewek di depannya itu.
"Sakit ish!"
"Kayanya ada yang udah baikan nih." Miranda datang melewati pasangan yang masih berdiri di dekat tangga itu.
"Sini duduk, Mama mau ngomong."
Davin dan Ara mendekat tanpa banyak tanya. Senyum di wajah Davin pun terpatri. Begitupun dengan senyum malu-malu Ara.
"Jadi gimana? Ara udah setuju kan?" Miranda mendorong segelas coklat dingin yang berada di meja pada Davin.
"Emang sejak kapan Ara nolak Dave?" Davin pun dengan senang hati meminumnya. Minuman kesukaannya.
"Terus? Kenapa semalem bubar gitu aja?"
"Ara tuh." Kaki Davin menyenggol paha Ara yang duduk di sebelahnya.
"Ih, Ara kan kaget. Masa iya tiba-tiba pada ngomongin pernikahan yang Ara sendiri aja nggak tau."
"Sebenernya aku dulu udah ngasih tau kamu loh, kita bakal nikah kalau kamu udah lulus. Kata-kata itu nggak asing kan?"
Ara meng-iyakan pertanyaan Davin. Memang bukan hanya sekali dua kali Davin mengucapkan kalimat itu.
"Tapi nggak secepat ini juga. Aku masih mau- bebas?" Ara melirih di akhir kalimat.
Merotasi kan bola mata menjadi respon Davin. "Mau aku batalin beneran?"
Dengan cepat Ara menggeleng. Bukan begitu juga maksud Ara. Lagian sudah terlambat, tidak mungkin pernikahan di batalkan sedangkan persiapan sudah 75%
**
"Lo yang nyuruh kita kumpul, lo sendiri yang ngaret. Dasar human!" Kayana langsung memicing melihat Jane yang baru datang padahal cewek itu lah yang mengajak mereka bertiga berkumpul.
"Ya kan tempat ini jauh dari rumah gue bego! Lo berdua mah tinggal jalan kaki juga nyampe." Jane pun meminum vanilla latte yang sudah tersedia di meja. Ia sudah berpesan pada Ara agar memesankan minuman untuknya dulu.
"Langsung aja deh, gue rada sibuk ini." Ara mengipasi wajahnya dengan tangan.
Kayana siap mencibir perlakuan Ara yang sok sibuk. "Setau gue lo pengangguran ya Ra."
"Emang kalo mau sibuk harus kerja dulu?"
"Udah deh, gue mau ngasih kalian sesuatu." Jane memotong obrolan keduanya.
"Widih, jadi bergetar hati gue denger mau di kasih kaya gini." Kayana menggosok kedua telapak tangannya. Matanya berbinar menunggu barang yang akan Jane kasih.
Jane pun mengangkat dua paper bag yang semula ia taruh bawah. "Tadaa.... Buat kalian." Jane menyerahkan kepada Ara dan Kayana.
Sebelum membuka bag tersebut, Jane memotong nya lagi. "Eits, ada lagi bestie."
Kemudian cewek itu merogoh tas yang ia pakai. Ia mengeluarkan dua kartu undangan dari dalam tas nya.
"WHAT THE HELL JANE????!" Kayana langsung mengumpat melihat kartu undangan pernikahan yang jelas-jelas tertulis nama ARTHUR DAVIDSON & JANE CHARLOTTE
"Lo mau kawin Jane??"
Jane mengangguk semangat menjawab pertanyaan Kayana. Cewek itu sangat heboh hingga mereka menjadi perhatian banyak pengunjung.
"Serius? Sumpah? Ra! Kok lo biasa aja sih??" Kayana mengguncang tubuh Ara yang masih membaca undangan dengan seksama.
"Iya Ra, kok lo nggak heboh?" tanya Jane.
"Kita beda seminggu Jane." jawab Ara lesu.
Kayana dan Jane di buat bingung dengan ucapan Ara. "Maksud lo Ra?"
"GUE JUGA MAU NIKAH, JANE BLACKPINK!" Ara berseru senang sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
"APA???!!!" teriak Jane dan Kayana bersamaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
D AND A [END]
RomanceKisah sebuah pasangan kekasih yang memutuskan untuk menikah dan membina rumah tangga mereka. Sikap sang lelaki yang bossy dan si perempuan yang penurut. Sangat cocok bukan? *** "Koper aku dimana?" "Disana." Davin menyingkir rambut Ara yang masih ba...